Sebagai bangsa yang dikaruniai keragaman suku, budaya dan bahasa kita wajib bersyukur kepada Allah SWT. Karena kebinekaan bangsa ini semata-mata dikaruniakan Allah dengan tujuan agar kita saling mengenal satu sama lain.
Dalam keanekaragaman tersebut, kita sejak merdeka telah mendasarkan kehidupan kebangsaan kita pada Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia (UUD RI) 1945 telah memberikan jaminan konstitusional kepada setiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan dan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya itu.
Namun demikian, jaminan konstitusional dan legal sebagaimana tersedia dalam perundang-undangan Indonesia belum cukup mampu memproteksi kebebasan dasar tersebut. Berbagai pelanggaran kebebasan justru dipicu oleh negara yang terus memproduksi perundang-undangan yang restriktif terhadap warga negara yang memeluk agama/ keyakinan, yang dianggap berbeda dari mainstream. Demikian juga minimnya pengetahuan publik atas kebebasan sipil warga negara, yang kemudian memicu praktik intoleransi dan tindakan kriminal terhadap warga negara lainnya. Dua persoalan inilah yang menjadi tantangan serius pemenuhan jaminan kebebasan sipil, khususnya kebebasan beragama / berkeyakinan di Indonesia.
Tantangan dan Problema
Itulah hal ironis yang terjadi pada kehidupan beragama kita. Satu sisi tidak sedikit pakar dan peneliti asing yang memuji peran umat Islam Indonesia yang menyumbangkan kontribusi besar terhadap tumbuhnya demokratisasi di tanah air. Sebagaimana diungkap oleh Zachary Abuya dalam bukunya Political Islam and Violence in Indonesia (2007), “Islam in Indonesia has always been defined by tolerance, moderation, and pluralism. In Indonesia Islam helped create the foundations of civil society that made the transition to democracy possible whereas in the Middle East Islam has been seen as anathema to democratization” bahkan lebih lanjut Abuya melanjutkan dengan mengutip Robert Hefner bahwa “Hefner dengan sangat fasih berargumen bahwa Islam di Indonesia dipandang sebagai kekuatan proses transisi demokrasi ”(Hefner has eloquently argued, Islam was the force that facilitated Indonesia’s transition to democracy)”. Akan tetapi di sisi lain, mengapa keragaman ini justru sering memicu terjadinya konflik tidak saja antar suku dan golongan bahkan yang lebih sengit lagi antar golongan itu sendiri. Konflik yang acapkali terjadi mulai dari sekala ringan di tingkat kampung hingga sekala luas hingga mendapatkan perhatian khalayak di tingkat nasional dan internasional.
Sebagai ilustrasi, menurut data faktual, konflik intern antara kelompok mayoritas umat Islam non-Ahmadiyah dengan kelompok minoritas yang mengaku berfaham Ahmadiyah merupakan “ancaman laten” keutuhan umat Islam. Demikian juga konflik antara yang berfaham Ahlus-sunnah atau Sunni dengan minoritas Syiah seperti yang pernah terjadi di kabupaten Sampang Madura, ternyata konflik horizontal ini bibitnya sudah lama ada, lalu muncul dan “meledak” walau dipicu oleh hal-hal sepele.
Problema konflik horizontal ini menjadi lebih parah karena kebijakan Pemerintah Daerah baik kabupaten/kotamadya atau propinsi yang tekadang bersifat tidak melerai tetapi cenderung “mematikan” salah satu pihak. Banyak contoh pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang sering terjadi di negeri kita ini dari mulai korban intoleransi, represi negara, pembiaran negara, dan tindakan kriminal warga negara/kelompok masyarakat, tindakan kriminal terhadap individu aliran keagamaan/keyakinan lain, dsb. Kebebasan beragama/berkeyakinan kembali gagal mendapatkan pengakuan utuh dari konstitusi akibat bias tafsir konstitusional yang tetap dipelihara oleh elit politik negara. Pada saat yang bersamaan, negara justru memproduksi kebijakan yang melegalkan tindakan penyeragaman dengan dalih penodaan dan penistaan agama
Dampak negatif dari pola pelarangan sebuah paham keagamaan yaitu akan cenderung membuat aliran atau faham itu tumbuh secara “underground”, liar dan bersifat acak. Dalam jangka panjang tentu akan lebih sulit mengawasi dan mendeteksi aliran-aliran yang dilarang tersebut. Akibat lanjutnya, akan menimbulkan “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meletup dan mengakibatkan gejolak sosial yang lebih sulit dikendalikan.
Berbeda ketika aliran tersebut diwadahi dan dilindungi, dibentuk forum dialog atau forum persaudaraan dengan program pertemuan rutin membahas masalah kemasyarakatan atau membentuk lembaga ekonomi yang bisa menjadi wadah berupa usaha bersama untuk saling membantu satu sama lain. Sehingga, perbedaan keyakinan dan faham bisa disublimasi dengan kegiatan yang bersifat saling memberdayakan. Ketegangan antar faham bisa diminimalisir dengan forum semacam itu.
Jamaah Mai’yah Sebagai Solusi