Oleh : Irfan Ansori*
Sebelumnya, silahkan anggap tulisan ini sangat subjektif atau objektif. Saya hanya merasa terganggu saat melakukan sembahyang. Saya ingin sekali menuliskan hal ini. Ini penting. Ini menyangkut kepemimpinan nasional kita. Saya memang sudah mendeklarasikan diri menjadi pendukung dari capres tertentu, nada tulisan ini mungkin agak mendukung ke arah pasangan tersebut. Akan tetapi, lebih dari itu tulisan ini pun bisa menjadi bermanfaat jika memang pasangan yang lain memang dalam pilpres mendatang. Untuk itu, saya yakin bahwa tulisan ini saya buat dengan sejujur-jujurnya, seadil-adilnya. Ini tentang penilaian dalam debat capres semalam (15/6). Antara Jokowi dan Prabowo.
Seperti biasa keduanya terlihat santai. Jokowi menggunakan Jas Hitam seperti biasa dengan selipan contekan-contekan tentang hal yang harus dikatakannya nanti. Ya, alibinya memang Jokowi dianggap bukan orator, pekerja lapangan, Itu. Prabowo memakai baju putih dengan lambang garuda merah di saku atas kiri. Keduanya tampak bersahabat. Jokowi terlihat lebih dahulu mendatangi Prabowo untuk bersalaman. Sepertinya ini memang disengaja, diseting. Mengingat pada pengudian nomor urut, Jokowi tidak menyalami Prabowo. Dia bahkan tampak kaku, tegang.
Moderator mempersilahkan kedua capres untuk menyampaikan visi-misi. Jokowi duluan. Dia menyampaikan gagasan yang sudah dikonsep. Dia membawa dua lembar contekan. Tetap saja terlihat bahwa dia memang tidak menguasai permasalahan perekonomian. Dia terlihat ngawur dengan jawaban memakai kartu Indonesia sehat (KIS). Wong yang ditanyakan adalah visi-misi bukan program kerja. Jokowi nampak tidak memahami itu. Berbeda dengan Prabowo. Dia tampil gagah tanpa contekan. Dia memaparkan visi-misi secara deduktif. Terlihat bahwa apa yang diucapkannya merupakan sikap yang ditonjolkannya selama beberapa tahun terakhir. Apakah seorang negarawan pencontek? Jika memang tidak menguasai, apakah harus sok-sok berlaga konseptual dengan membawa contekan? Apakah sikap negarawan lebih baik memilih jujur untuk mengatakan tidak menguasai?
Sesi kedua, moderator memberikan seputar pertanyaan yang menyangkut kepada visi-misi keduanya. Kepada Prabowo moderator menyampaikan pertanyaan seputar visi-misi yang telah disebutkan, untuk mempertajam. Diantaranya, cara untuk mengaplikasikan ekonomi kerakyatan. Sekali lagi, Prabowo dengan gagahnya menguasai panggung menjelaskan secara makro gagasan perekonomian miliknya. Giliran Jokowi. Dia diberikan pertanyaan seputar ekonomi berdikari. Lagi-lagi, dia harus menunjukan KIS serta KIP. Diiringi dengan beberapa contekan dia menjelaskan konsep besar yang sebenarnya dimiliki Sukarno (ekonomi berdikari) dengan pendekatan pendidikan dan kesehatan. Dia tidak berbicara tentang anggaran dan manajemen fiskal. Pendidikan dan kesehatan itu merupakan jangka panjang pembangunan kualitas ekonomi. Tema itu akan dibahas dalam season lain. Sekarang pembahasannya adalah untuk pembangunan ekonomi lima tahun anda bung, apa yang harus dilakukan? Seharusnya jawaban tersebut lebih membahas anggaran seharunya. Jokowi memang tidak paham dengan pertanyaan. Sekali lagi, apakah seorang negarawan harus berlaga sok paham dengan pertanyaan, padahal sama sekali tidak nyambung? Apakah seorang negarawan membiarkan dirinya memberikan jawaban yang bisa saja menyesatkan?
Sesi ketiga, moderator memberikan pertanyaan yang sama kepada kedua pasangan, yakni tentang kemiskinan dan pertumbuhan penduduk. Prabowo memperoleh giliran pertama. Dia menjelaskan secara konseptual gagasan tentang kemiskinan. Dia mengaggap bahwa itu merupakan konsekwensi dari kebocoran fiskal di APBN kita, sekitar 1000 trilyun. Itu yang harus diselesaikan dengan sendirinya kemiskinan akan teratasi. Begitupula dengan pertumbuhan penduduk. Itu seharusnya menjadi potensi yang harus dimanfaatkan untuk mengembangkan ekonomi produktif. Giliran Jokowi menyampaikan. Kali ini lebih baik (baca: nyambung dengan pertanyaan) meski tetap saja mengeluarkan contekan dan kartu-kartu. Jokowi ingin memperbaiki sistem seperti pemberdayaan BKKBN dengan konsep dua anak. Namun, Jokowi nampaknya sengaja berulang-ulang—namun terpaksa dan tidak pas—untuk menggunakan kata “dua”. Jawaban yang dipaksakan bukan untuk gagasan baru melainkan kampanye. Tidak ada gagasan baru yang coba ditawarkan selain pemaksimalan BKKBN agar dia bisa punya kesempatan untuk menyebut kata “dua”. Layakkah seorang negarawan memberi jawaban yang hanya ditujukan untuk mendukung kepentingan dirinya (baca : kampanye)? Tidakkah dia memilih gagasan yang lebih baik?
Sesi keempat, moderator mempersilahkan kedua capres untuk saling bertanya. Disinilah kebusukan Jokowi mulai terlihat, terbongkar. Dia yang selama ini dicitrakan rendah hati dan berhati nurani runtuh. Dia dengan piciknya menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak Prabowo, yakni dengan melalui singkatan-singkatan. Dia sengaja memberi pertanyaan pendek (baca : hanya beberapa kata, misalkan bagaimana tanggapan bapak soal DAP, DAK serta TPID?) Ini dilakukan supaya Prabowo tidak bisa mengekplorasi gagasannya lebih jauh. Dia memang berhasil menggunakan kelicikannya. Prabowo sekali tidak bisa mengerti singkatan TPID, kemudian terpaksa harus menjawab secara singkat.
Berbeda dengan Prabowo. Dia mencoba menjelaskan pertanyaan dengan jelas supaya jokowi paham dengan materi yang ditanyakan. Jokowi semakin bisa mengekspolrasi gagasannya sesuai waktu yang telah disediakan. Contoh : kita ketahui bahwa .... lalu ....... Pertanyaannya, bagaimana sikap saudara. Bagaimana cara saudara mencapai itu? terlihat Prabowo dengan segala jiwa kenegaraannya sengaja menjelaskan pertanyaan dengan sangat jelas. Dia ingin Jokowi mengeksplorasi gagasan-gagasanya tentang ekonomi. Dia pasti tidak nyambung jika diberi pertanyaan secara singkat. Akhirnya, Jokowi memang berhasil memanfaatkan waktu untuk menjawabnya, meskipun tidak nyambung tetap ada. Prabowo tidak membalas pertanyaan singkat menjebak Jokowi dengan pertanyaan yang singkat pula. Sebuah tindakan yang tidak arif rasanya jika Prabowo membalas apa yang dilakukan Jokowi.
Bisa dikatakan, inilah forum perdebatan. Pertanyaan atau jawaban diusahakan bisa “menjatuhkan” lawan bicara kita. Strategi diantaranya adalah hal yang dilakukan oleh Jokowi di atas. Namun, apakah esensi dalam debat capres semalam hanya untuk “menjatuhkan”? lalu gembira jika lawan tidak mengerti apa pertanyaan singkatan yang diajukan? Saya rasa tidak. Perdebatan antara negarawan bagaimana keduanya saling rendah hati dan menggali potensi yang berada pada masing-masing lawan, bukan untuk menjatuhkan. Lihatlah Prabowo. Dia sangat jelas mempertanyakan sesuatu agar Jokowi bisa mengerti sehingga potensi gagasan-gagasan yang belum diungkapkannya keluar.
Sesi kelima, ini adalah sesi menarik bagi kedua kubu. Satu adegan dimana Prabowo menyalami dan “mengakui” salah satu argumen dari Jokowi. Tapi, apakah benar argumen Jokowi itu mencerminkan seorang negarawan? Nanti dulu. Pertanyaan yang diajukan Jokowi adalah tentang industri ekonomi kreatif, kemudian Prabowo menjawab dengan pandangan ekonomi kreatifnya. Nah, disini liciknya Jokowi. Ketika moderator menyuruh Jokowi menanggapi pernyataan Prabowo, dia justru menambahkan argumentasi dari Prabowo. Padahal seharusnya, dia tetap menggali jawab dari Prabowo agar lebih konkrit dan praktis. Dia justru mengeskploitasi jawaban Prabowo dengan teks yang memang sudah dia hafal sebelumnya tentang ekonomi kreatif. Tapi, Prabowo memang seorang negarawan. Dia tak gengsi untuk mengakui argumentasi dari Jokowi memang bagus, meskipun sebenarnya itu bukan forum Jokowi untuk menyampaikan jawaban dari pertanyaan yang diajukannya sendiri. Secara otomatis dia memang menghafal itu dari rumah.
Lanjut kepada Prabowo. Diantara pertanyaannya adalah tentang kontrak karya dan kesiapan Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Seperti biasa, Prabowo menjelaskan pertanyaan dengan jelas agar jokowi bisa memahami dan mengeluarkan gagasan yang terpendam. Jokowi menjawab meskipun kurang memuaskan Prabowo. Tapi apa yang ditanggapi oleh Prabowo sangat bijak. Dia mengajak Jokowi untuk menggambarkan visinya lebih jelas, diataranya terkait dengan jawaban MEA tadi Prabowo mengatakan “Mungkin harus lebih jelas mengenai kesiapan Indonesia menghadapi MEA. Saya yakin gagasan ini masih tersimpan dalam pikiran bapak, saya ingin mendengar penjelas pak Jokowi tentang infrastruktur untuk mendukung MEA tersebut seperti apa?” Ini jelas. Prabowo ingin Jokowi lebih mengkongkritkan visinya. Mendukung lawan debat agar semakin jelas apa yang diungkapkan.
Begitu pula dengan pertanyaan kedua. Jawaban Jokowi sangat-sangat tidak nyambung dengan kontrak karya yang diajukan Prabowo sehingga pada saat giliran menanggapi Prabowo mengatakan, “begini pak Jokowi, kita kan sudah memiliki banyak kontrak yang masih berpuluh-puluh tahun lagi berkahir, apa yang harus kita lakukan? Renegosasi atau seperti apa?” saya yakin kalau Prabowo ingin melakukan apa yang dilakukan Jokowi saat menanggapi pertanyaan tentang ekonomi kreatif, Prabowo sangat paham dengan kontrak karya dan harus diakui gagasan Prabowo tentang renegosiasi kontrak ini harus kita dukung. Tapi Prabowo tidak memilih itu karena itu bukan saatnya dia membicarakan visinya. Itu adalah saat Jokowi harus diperkuat visinya dengan pertanyaan-pertanyaan pancingan yang membuat Jokowi mengeluarkan gagasan lain. Pantaskan seorang licik seperti Jokowi menjadi pemimpin? Hmm...
Season terakhir, Prabowo menyampaikan gagasannya selama tiga menit dengan mantap, tanpa teks. Sedangkan Jokowi lagi-lagi harus mengeluarkan contekan jawaban yang sudah dipersiapkan dari rumah. Setelah contekan habis, Jokowi sangat bingung dengan apa yang akan dia katakan, sehingga sempat terdiam beberapa kali dan kaku. Pada akhirnya dia menutup dengan kata “pilih nomor dua”. Sayang sekali, padahal itu adalah pemaparan visi-misi terakhir. Pandangan yang bisa lebih meyakinkan masyarakat. Naifnya, saat konfrensi pers digelar Jokowi dengan entengnya mengatakan “waktunya sedikit jadi tidak bisa menjelaskan secara keseluruhan”. Hmm. Sungguh-sungguh terlalu. Bilang saja, “contekan saya sudah habis jadi saya gak tau mau ngomong apa selain kampanye”
Lalu, press confrence Prabowo sebagai seorang negarawan tidak kemudian menjatuhkan Jokowi. Dia menganggap debat kali ini perbedaanya sangat tajam namun bersahabat. Prabowo tidak menjelaskan keadaan Jokowi yang ditanya tidak nyambung, gugup, nyontek dan curang. Dia tetap menghormati Jokowi. Dia lebih memilih tidak berkomentar banyak tentang lawan.
Eh,eh,eh. Jokowi ketika ditanya oleh wartawan. Dia menawab bahwa sengaja memang memasang singkatan-singkatan untuk menjatuhkan Prabowo “masa capres tidak tahu TPID, kamu juga tahu kan?” Tanyanya kepada wartawan. Kemudian dengan bangga dia mengatakan bahwa Prabowo setuju dengan argumentasinya tentang ekonomi kreatif berarti Prabowo mendukung dia. Hmm itu kemenangan bagi dia. Sungguh-sungguh sangat tidak mencerminkan calon pemimpin besar.
Akan tetapi, sekali lagi saya ulangi. Saya adalah pendukung Prabowo-Hatta. Boleh jadi memang artikel ini untuk kampanye Prabowo-Hatta. Silahkan saja anda menilai. Namun jika memang pendukung Jokowi-JK yang membaca, saya harap anda objektif. Inilah kelemahan Jokowi dan sangat kentara pada waktu semalam. Dia sama sekali bukan seorang negarawan yang bijak. Dia terus-menerus mencoba menjatuhkan Prabowo baik dalam kampanye maupun masa debat kemarin.
Mungkin juga anda bertanya bahwa tidak mungkin untuk menilai kenegarawanan seseorang dalam satu malam. Tapi ingat! Laku dan ucap menimbulkan sensitivitas. Rakyat akan semakin sensitif dengan hal-hal yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Performa dipanggung tadi cukup menjadi representasi kepribadian serta kenegarawanan dari seorang capres tertentu. Saya harap, Jokowi tetap di Jakarta. Belum saatnya dia harus memimpin negara besar seperti Indonesia. Barangkali jika lima tahun ke depan dia mencalonkan lagi, akan lebih terlihat sikap kenegarawanan darinya. Mungkin itu.
*Pendukung Prabowo-Hatta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H