Mohon tunggu...
Irfan Fauzi
Irfan Fauzi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Warga Bekasi yang cinta nusantara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mari Bersyukur, Bukan Mengukur

23 Desember 2017   20:57 Diperbarui: 23 Desember 2017   21:06 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TUHAN pasti dalam setiap detail kehidupan kita, memberikan limpahan rahmat dan karunianya. Sehat, rezeki, kehidupan, kasih sayang, benci, sedih, bahagia, keberuntungan dan kemalangan, merupakan bagian dari rahmat dan karunianya. Namun sayangnya kita kadang lupa untuk bersyukur. Baik itu hal baik dan hal buruk tetap harus kita syukuri. Hal baik kita harus sadari adalah cara Tuhan mengkomunikasikan tentang kerendahan hati. Sedang hal buruk adalah cara Tuhan mengkomunikasikan tentang keteguhan hati.

Lupa syukur dapat membuat pandangan kita berkabut. Penilaian kita tak jernih. Serta hati kita tidak peka. Hal-hal baik yang ada di sekeliling hidup kita tidak akan terlihat baik atau indah. Namun anehnya hal-hal buruk jauh didepan mata malah terlihat baik dan indah. Padahal hal baik disekitar kita itu sudah susah payah di PERJUANGKAN dan DIBANGUN. Nilai dari perjalanan panjang seperti terabaikan begitu saja. Hilang dengan cepat oleh kabut fatamorgana kebaikan nan jauh dilubuk angan.

Lupa syukur dimulai dari melihat kekurangan yang ada, kepemilikan yang ada, keluhan yang ada, apatis yang ada, serta bisa juga karena upaya menegakan gengsi diri yang ada saat ini. Pencapaian kecil dari suatu rencana dianggap kegagalan dari kerja yang tidak maksimal. Padahal pencapaian kecil adalah urutan anak tangga dari keberhasilan itu sendiri. Banyak peristiwa dalam kehidupan yang berakhir ke penyesalan karena lupa bersyukur atas capaian kecil ini. Semua harus serba maksimal dan instant.

Lupa syukur juga banyak mengakhiri sebuah hubungan yang mutual antar manusia. Paradoksal dari kebutuhan eksistensi diri dan rasa syukur diri. Seolah-olah diri ambigu dalam menentukan sikap. Memilih bersyukur atau hanya melihat kekurangan saja. Pada saat itulah kita akan membanding-bandingkan apa yang kita punya dengan apa yang kita tidak punya. Atau apa yang lebih di sana dengan apa yang kurang disini. Misalnya bisa kita lihat dalam keseharian kita, Hubungan bisnis bisa rusak karena soal kekurangan keuntungan. Hubungan sahabat bisa bertengkar karena hanya melihat kekurangan yang ada didalam diri sahabat. Hubungan pasangan bisa terpisah hanya karena melihat kekurangan antar pasangan saja. Semua itu terjadi karena kita lupa menginventarisir kelebihan-kelebihan serta capaian kecil dalam hidup kita.

Lupa syukur itu adalah pilihan. Pilihan atas keberpihakan kita terhadap kenikmatan menapaki perjalanan hidup. Langkah demi langkah kehidupan kita tapaki dengan perlahan. Tak perlu terburu-buru. Pahit dan manis kehidupan akan terasa nikmat bila diresapi perlahan. Dengan perlahan kita akan  mampu mengecap rasa dengan kesan. Rasa yang berkesan dapat meninggalkan jejak nikmat yang akan bertahan lama untuk kita syukuri.

Mari sahabat mulai dari sekarang kita jangan LUPA BERSYUKUR. Bukan MENGUKUR. Bersyukur akan mendorong kita menikmati hidup. Mengukur akan mendorong kita selalu resah dan gelisah dalam hidup.

Selamat menikmati #SubuhMeresap

------------------

Sudut Bekasi 251117-0515

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun