Mohon tunggu...
Irfan Fadila
Irfan Fadila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mencoba menjadi pewaris peradaban

Mahasiswa Ilmu Politik yang gaterlalu politik. Menyukai sepak bola, musik rock, dan pantai

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desentralisasi di Indonesia: Antara Demokratisasi dan Manuver Politik

19 Desember 2024   14:27 Diperbarui: 19 Desember 2024   14:27 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sejak era reformasi mengalami banyak perubahan khususnya lingkup politik yang lekat akan upaya-upaya tranformasi ke arah demokratisasi. Perubahan seperti pelaksanaan pemilu pada proses sirkulasi kekuasaan eksekutif, sebagai pelibatan rakyat untuk berpartisipasi langsung, yang dulunya urusan tersebut menjadi kewenangan MPR tentu dapat dilihat sebagai langkah demokratisasi Indonesia di era reformasi. Tidak berhenti di tingkat pusat, perubahan politik di era reformasi ini mulai membuka ruang-ruang partisipasi politik hingga ke tingkat lokal setelah diimplementasikannya praktik kebijakan politik desentralisasi..

Politik desentralisasi bisa dibilang merupakan sebuah langkah pembenahan pembangunan politik di Indonesia setelah mengalami kehidupan politik yang terkesan otoriter dan terpusat. Melalui diterapkannya praktik desentralisasi potensi efektifitas dan efisiensi pemerintahan baik itu secara administratif ataupun fiskal bisa terwujud khususnya aspek pelayanan publik yang lebih aksesibel dan  lebih dekat karena kewenangan yang diberi sudah mencapai tingkat lingkup pemerintahan lokal. 

Pada dasarnya desentralisasi, di samping sebagai langkah demokratisasi sebuah negara, memiliki tujuan untuk efisiensi pelayanan publik di tingkat daerah mengingat kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak gugusan pulau sehingga akan menjadi masalah apabila tidak dilakukan desentralisasi.

Merujuk pada Hulme dan Turner dikatakan “...decentralization within the state involves a transfer of authority to perform some service to the public from an individual or agency in central government to some other individual or agency which is ‘closer’ to the public to be served.” (Turner & Hulme, 1997)  yang dapat kita pahami bahwa desentralisasi ini bertujuan memperbaiki kualitas pelayanan publik dengan cara membuka kesempatan kepada pemerintah daerah melalui penyerahan kewenangan dan mendekatkan akses pelayanan ke masyarakat. Hal ini tentunya menjadi solusi konkrit untuk negara yang memiliki karakteristik demogarfi dan geografi yang kompleks. 

Selain efektifitas pelayanan publik pengimplementasian desentralisasi ini inheren dengan nilai-nilai demokratisasi dan meningkatkan partisipasi politik publik karena dengan hadirnya pemberian kewenangan kepada pemeriintah daerah tentunya proses-proses politik seperti pemberian aspirasi, pengaduan, dan partsipasi politik lainnya menjadi lebih dekat. Sebagaimana yang dikemukakan Nzouankeu “Desentralisasi secara natural merupakan aspek yang mendukung demokrasi plural karena mendorong perluasan demokrasi dan pengakomodasian aspirasi yang berkolerasi pada reformasi lembaga-lembaga dengan pendistribusian kekuasaan yang bertujuan membangun demokratisasi” (Nzouankeu, 1994)

Perluasan demokrasi ini berimplikasi pada pembangunan partisipasi politik dengan dilaksanakanannya aktivitas elektoral, artikulasi aspirasi, dan agregasi kepentingan di tingkat lokal. Pada intinya desentralisasi ini merupakan suatu faktor pendukung terjadinya iklim demokrasi yang sehat karena memperluas kerja-kerja demokrasi hingga di tingkat lokal sehingga lebih efektif dalam mewujudkan keinginan-keinginan masyarakatnya sesuai dengan sosial budaya politik di daerahnya.

Akan tetapi, dibalik idealnya konsep mendorong perluasan demokrasi dan efektifitas pelayanan publik yang ditawarkan oleh desentralisasi, pada implementasinya tak jarang ditemukan hambatan-hambatan dalam mewujudkan konsep tersebut. Di Indonesia sendiri hambatan ini ditenggarai banyak faktor mulai dari kapabilitas daerah untuk mengelola pemerintahan,  pasang surutnya pemerintahan pusat dalam mendorong desentralisasi, dan perilaku korup para pemangku kekuasaan di daerah. Mengenai faktor pasang surutnya pemerintahan pusat dalam mendorong desentralisasi, satu hal yang menarik untuk diulas adalah mengenai kecenderungan pemerintah pusat melihat langkah kebijakan desentralisasi ini sebagai manuver politik ketika terjadi dinamika di daerah.

Bila kita merujuk ke belakang, semangat desentralisasi ini dilatarbelakangi dengan dikeluarkannya paket Undang-undang 1999 tentang pemerintah daerah. Undang-undang yang dinilai sangat progresif karena pada saat itu pemerintahan Indonesia lekat dengan pola sentralisasi, semua urusan baik itu administratif dan fiskal dipegang oleh pemerintah pusat. Mengutip Rahmatunnisa “Pada gilirannya, pengaturan ini telah mengubah sistem yang sentralisk menjadi desentralisk karena daerah, khususnya kabupaten/kota, memperoleh kewenangan yang begitu luas dan menjadi relaf lebih otonom berhadapan dengan pemerintah pusat dalam mengelola urusannya di daerah” (Rahmatunnisa, 2015) Penerapan dari paket UU 1999 ini menjadi bukti keseriusan semangat reformasi dengan membuka keran demokratisasi di tingkat daerah karena pada akhirnya membuka kesempatan bagi pemerintah daerah untuk dapat otonom.

Namun yang disayangkan dari penerapan desentralisasi di Indonesia adalah kecenderungan sebagai upaya diplomatis dan manuver politik, bisa dibilang kompromi, ketika ada guncangan dari daerah. Alih-alih dilandasi sebagai perluasan demokrasi, di beberapa fenomena pemberian otonomin ini lebih kearah pencarian solusi dari adanya konflik suatu daerah yang tidak puas terhadap pemerintahan pusat. Bahkan dari diluncurkannya paket 1999, di samping upaya demokratisasi di era reformasi, ada sisi politis dimana hal itu merupakan manuver pemerintah pusat untuk meredam gejolak-gejolak daerah yang sudah gusar terhadap rezim Soeharto yang sentralistik. Argumentasi mengenai paket UU 1999 seolah-olah menjadi “upaya meredam” kegusaran daerah-daerah dilandasi dengan diikutinya sikap setengah hati pemerintah pusat yang mencoba melakukan kembali sentralisasi melalui revisi undang-undang di tahun-tahun berikutnya.

Pemerintah pusat seolah melihat ada celah untuk mengembalikan kewenangan pusat melalui ketidaksesuaian implementasi politik desentralisasi yang dilakukan oleh daerah. Ada anggapan bahwa pada penerapannya, desentralisasi ini belum mampu mengatasi masalah-masalah yang terjadi di era sentralistik Soeharto seperti praktik KKN, elite capture, eksploitasi pajak, dan lain sebagainya. Padahal ada sisi politis yang bisa dilihat ketika stakeholder yang paling bersikukuh merupakan instansi yang memang terdampak, hilangnya kewenangan, akibat desentralisasi devolusi ini, sependapat dengan apa yg dikemukakan oleh Rahmatunnisa “Pemberlakuan Paket UU 1999 tidak berlangsung lama. Bahkan semenjak awal digulirkannya pada tahun 2000-an, desakan untuk merevisi datang dari berbagai pihak, khususnya Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Perlu disebutkan di sini bahwa keduanya merupakan pihak yang banyak 'kehilangan' kewenangan karena pemberlakuan Paket UU 1999.”  (Rahmatunnisa, 2015)

Pada akhirnya upaya “pengembalian wewenang” tersebut akhirnya terwujud melalui dikeluarkannya paket UU 2004 tentang pemerintahan daerah. Namun, pemerintah pusat juga pernah melunak dalam politik desentralisasi tepatnya pada tahun 2006 dengan dikeluarkannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang UU PA (Pemerintah Aceh) yang menawarkan desentralisasi asimetris. Perlu diketahui hal yang melatarbelakangi dicetuskannya UU PA ini tidak lepas sebagai kompromi atau bentuk diplomasi atas gejolak yang terjadi di Aceh sebagaimana yang dijelaskan oleh Suharyo “Faktor yang melatarbelakangi munculnya Undang-Undang tentang Otonomi Khusus baik di Aceh maupun di Papua merupakan jalan tengah untuk menegakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” (Suharyo, 2018)

Ketika itu, Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka melakukan perjanjian MOU di Helinski pada tahun 2005 yang tidak lain adalah upaya kesepakatan damai atas konflik yang terjadi. Dari kasus Aceh tersebut, begitupun dengan Papua, kita bisa lihat bahwa ada kecenderungan dari pemerintah pusat menjadikan politik desentralisasi ini sebagai kartu AS untuk mencari jalan tengah dan solusi ketika ada gejolak di daerah. Tentunya hal ini memberikan pertanyaan apakah sebenarnya Indonesia serius ingin melakukan desentralisasi atau hanya menjadikan hal tersebut sebagai jalan keluar, lebih tepatnya upaya meredam, apabila terjadi dinamika pemisahan daerah. Bila memang serius lantas mengapa pemerintah pusat terkesan setengah hati dalam menjalankan politik desentralisasi secara devolusi yang bila ada kesempatan untuk menggebuk hal tersebut, pemerintah pusat seolah menemui celah untuk melakukan sentralisasi melalui produk hukum

Tentunya, hal ini menjadi pelik karena paradigma yang dibangun dalam desentralisasi di Indonesia tidak dilandaskan pada semangat memperluas demokrasi. Kedua pihak antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seolah hanya berperang untuk mempertahankan lahan basah dan keuntungan yang ada baik itu sentralisasi dan desentralisasi. 

Sudah sepatutnya keduanya memiliki kesamaan paradigma dalam politik desentralisasi yaitu untuk membangun kesejahteraan masyarakat yang demokratis. Pemerintah pusat harus memberi ruang kepada daerah dengan pemberian kekuasaan secara devolusi. Begitupun dengan pemerintah daerah yang harus memiliki kapabilitas dalam implementasi desentralisasi demi kesejahteraan di tingkat lokal, bukan malah melihat itu sebagai peluang untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompoknya. Dengan begitu, sinergitas yang dibangun bisa mewujudkan iklim demokrasi yang sehat dan memperluas kesejahteraan rakyat hingga ke tingkatan lokal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun