Ketika itu, Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka melakukan perjanjian MOU di Helinski pada tahun 2005 yang tidak lain adalah upaya kesepakatan damai atas konflik yang terjadi. Dari kasus Aceh tersebut, begitupun dengan Papua, kita bisa lihat bahwa ada kecenderungan dari pemerintah pusat menjadikan politik desentralisasi ini sebagai kartu AS untuk mencari jalan tengah dan solusi ketika ada gejolak di daerah. Tentunya hal ini memberikan pertanyaan apakah sebenarnya Indonesia serius ingin melakukan desentralisasi atau hanya menjadikan hal tersebut sebagai jalan keluar, lebih tepatnya upaya meredam, apabila terjadi dinamika pemisahan daerah. Bila memang serius lantas mengapa pemerintah pusat terkesan setengah hati dalam menjalankan politik desentralisasi secara devolusi yang bila ada kesempatan untuk menggebuk hal tersebut, pemerintah pusat seolah menemui celah untuk melakukan sentralisasi melalui produk hukum
Tentunya, hal ini menjadi pelik karena paradigma yang dibangun dalam desentralisasi di Indonesia tidak dilandaskan pada semangat memperluas demokrasi. Kedua pihak antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seolah hanya berperang untuk mempertahankan lahan basah dan keuntungan yang ada baik itu sentralisasi dan desentralisasi.Â
Sudah sepatutnya keduanya memiliki kesamaan paradigma dalam politik desentralisasi yaitu untuk membangun kesejahteraan masyarakat yang demokratis. Pemerintah pusat harus memberi ruang kepada daerah dengan pemberian kekuasaan secara devolusi. Begitupun dengan pemerintah daerah yang harus memiliki kapabilitas dalam implementasi desentralisasi demi kesejahteraan di tingkat lokal, bukan malah melihat itu sebagai peluang untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompoknya. Dengan begitu, sinergitas yang dibangun bisa mewujudkan iklim demokrasi yang sehat dan memperluas kesejahteraan rakyat hingga ke tingkatan lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H