Berbicara mengenai pembangunan berkelanjutan, maka kita tidak bisa lepas dari Perpres No.59 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Mengacu pada Perpres tersebut, Pemerintah Pusat secara eksplisit memberi mandat untuk mengimplementasikan pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan. Berkelanjutan di sini memiliki makna pembangunan yang memperhatikan keseimbangan antara manfaat atau profit dan kelestarian sumber daya dengan tetap menjaga keberlangsungan ketahanan lingkungan untuk tetap terjaga hingga ke generasi yang akan datang. Pembangunan yang mampu menjembatani kelestarian lingkungan dalam bayang-bayang kerusakan dan keterbatasan lingkungan itu sendiri. Lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan tidak hanya diartikan secara sempit pada pengertian ekologis. Akan tetapi, kondisi sosial budaya juga senantiasa dipandang sebagai lingkungan yang mesti diperhatikan keberlangsungannya melalui pembangunan berkelanjutan yang diadopsi kedalam suatu dokumen perencanaan pembangunan negara beserta turunannya.
Sebelum masuk lebih jauh ke dalam pembahasan, penulis mencoba memberi analogi sederhana guna memberi sedikit gambaran mengenai apa yang akan dibahas pada tulisan kali ini. Bak musik, ketika ingin menciptakan suatu karya indah kita perlu menala instrumen-instrumen yang ada guna mendapatkan keselarasan nada serta diperlukan komponis handal yang cakap dalam membuat komposisi musik untuk melahirkan suatu karya yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Begitupun pembangunan, dalam prosesnya perlu ada keselarasan instrumen-instrumen pembangunan serta komposisi perencanaan yang matang guna mencapai tujuan yang mampu mensejahterakan masyarakat. Pada analogi tersebut kita bisa melihat bahwa perencanaan pembangunan menjadi komposisi penting dan menajalankan peran vital dalam sebuah pembangunan yang berkelanjutan.
Merujuk pada pandangan Tjokroamidjojo, perencanaan pembangunan dimaknai sebagai pedoman memproyeksikan penggunaan sumber-sumber pembangunan yang jumlahnya terbatas secara efektif dan efisien, dalam kondisi sosial budaya terntentu ke arah yang lebih ideal (Tjokroamidjojo, 1983). Hal ini sependapat dengan pembangunan yang dikonsepsikan oleh Suharyanto, pembangunan diartikan sebagai transisi dari suatu kondisi ke kondisi lainnya yang dianggap lebih baik atau ideal (Suharyanto, 2000). Artinya perencanaan dan pembangunan ini saling berkaitan erat sehingga keduanya mesti dipahami sebagai sesuatu yang berkolerasi dan tidak terpisah satu sama lain.
Pada konteks pembangunan di Kota Bandung, Bappelitbang memegang peranan sebagai “aktor” yang menjalankan fungsi perencanaan pembangunan berkelanjutan. Bappelitbang memiliki tanggung jawab sebagai kepanjangan tangan pelaksana pemerintah daerah untuk mampu mengadopsi tujuan pembangunan berkelanjutan RPJMN yang mengacu pada Perpres No.57 Tahun 2017 ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah. Dalam perumusan perencanaan tersebut Bappelitbang memainkan peran untuk merencanakan cetak biru pembangunan melalui pendekatan yang berpedoman pada UU No 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. Di dalamnya terdapat empat pedoman pendekatan perencanaan pembangunan seperti pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, dan top down atau bottom up. Keempat pendekatan tersebut harus digunakan secara tepat sesuai proporsi sehingga dalam perencanaan yang diproyeksikan bisa menghasilkan output yang solutif.
Kembali pada bahasan pembangunan berkelanjutan Kota Bandung, dalam wawancara pribadi penulis dengan Ahli Muda Perencana Bappelitbang, perencanaan pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan telah menjadi suatu keharusan ketika merumuskan dokumen pembangunan di Kota Bandung. Adhitya menyebutkan “Pada setiap dokumen perencanaan pembangunan Kota Bandung, hal tersebut (pembangunan berkelanjutan) wajib terintegrasi karena ketika pelaksanaanya akan ada evaluasi mengenai SDGs oleh KLHS” (Adhitya, wawancara pribadi, 7 Desember 2023) lebih lanjut, dia menerangkan bahwasanya pembangunan berkelanjutan ini tercantum pada dokumen perencanaan pembangunan seperti RPJPD, RPJMD, RPD, dan RKPD. Baik itu berupa rencana program, indikator, target, dan juga janji politik kepala daerah. Perencanaan tersebut menggunakan gabungan pendekatan yang ada baik itu politik lewat janji walikota, teknokratik melibatkan tim ahli, partisipatif melalui konsultasi publik dan Musrenbang, serta Top to Bottom dengan rencana kerja dinas-dinas serta perangkat daerah yang ada di Kota Bandung.
Bila kita mengamati Dokumen Perubahan RKPD Kota Bandung Tahun 2023, pembangunan berkelanjutan ini tertuang dalam Janji walikota dan Prioritas Pembangunan yang ada pada dokumen perencanaan tersebut. Di dalam janji walikota terangkum misi-misi pembangunan berkelanjutan seperti 25000 sambungan air bersih baru, fasilitas disabilitas di ruang publik, pusat pelayanan pemberdayaan perempuan, beasiswa pendidikan, dan program pengentasan kemiskinan serta kesenjangan yang ada. Hal tersebut merepresentasikan misi-misi SDGs seperti pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, pengurangan kesenjangan, air bersih dan sanitasi layak, dan kehidupan sehat dan sejahtera.
Begitupun delapan program prioritas Pemkot Bandung yang enam diantaranya berkaitan dengan misi pembangunan berkelanjutan, adapun prioritas pembangunan tersebut berisi tentang Optimalisasi kualitas infrastruktur dan penataan ruang kota, Pelestarian lingkungan hidup yang berkualitas, Peningkatan dan pemerataan perekonomian kota, Pembentukan masyarakat kota yang humanis, Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat, dan Peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ditinjau dari sisi ekonomi politik pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan juga berorientasi pada penggenjotan sisi ekonomi yang meningkatan profit PAD melalui program pemberdayaan UMKM, ekonomi inklusif, dan peningkatan pariwisata yang menjadi ceruk keuntungan pemerintah kota bersumber dari pajak, retribusi dan konsumsi masyarakat.
Namun, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa pada tahap implementasinya pembangunan berkelanjutan tersebut masih memerlukan banyak evaluasi untuk dikatakan tercapai secara ideal. Dalam dokumen RPJMD Kota Bandung Tahun 2018-2023, dijelaskan bahwa masih terdapat tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) yang belum memenuhi target, pada misi kehidupan sehat dan sejahtera ada 7 indikator dan 6 indikator di misi mengurangi kemiskinan yang belum tercapai. Pada tabel indikator disebutkan pula Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak dan berkelanjutan tidak memenuhi target artinya aspek air bersih dan sanitasi layak belum bisa tercapai. Hal ini senada dengan bukti empiris di lapangan, masih ada daerah di Kota Bandung yang kesulitan mendapatkan air bersih karena tidak terlayani oleh PDAM.
Indikator-indikator yang belum tercapai tentu menjadi suatu pertanyaan apakah akibat faktor perancanaan yang belum matang sehingga pada tahap realisasi tidak melahirkan output yang optimal atau ada faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut. Di satu sisi, kita tidak bisa menafikan bahwa dalam tahap pelaksanaan ada faktor lain yang sangat mempengaruhi keberhasilan suatu pembangunan. Faktor tersebut adalah political will para pemangku kekuasaan pemerintahan seperti eksekutif dan legislatif karena pada dasarnya mereka memiliki kewenangan untuk menyetujui dan menolak apa yang telah dirancang oleh Bappelitbang karena bentuk dari dokumen perencanaan sendiri berupa Perda yang mesti disepakati kedua lembaga tersebut. Pada dasarnya Bappelitbang hanyalah birokrat kepanjangan tangan dari pelaksanaan pemerintah daerah, sehingga optimal tidaknya pelaksanaan pembangunan kembali lagi pada komitmen dan political will pemerintah daerah.
Bila kita kembali menggunakan analogi musik, karya musik yang indah mungkin saja tidak akan pernah sampai kepada pendengarnya bila sang produser tidak menghendaki musik yang telah diciptakan si komponis rilis atau bisa saja musik tersebut dimodifikasi sedimikian rupa karena dianggap tidak “menjual” pada keuntungan profit padahal musik tersebut dibuat berdasarkan prefensi penggemar setianya. Begitupun pembangunan, ia sangat bergantung pada political will kepala daerah, perencanaan yang sudah diproyeksikan sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang menjadi permasalahan bisa saja tidak terlaksana secara optimal hanya karena kepala daerah tidak memiliki komitmen untuk mengimplementasikan perencanaan tersebut atau ada kepentingan pribadi guna meraup keuntungan sehingga mengenyampingkan tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan yang telah direncanakan
Maka dari itu, kita perlu menala instrumen pembangunan untuk menyelaraskan komitmen pembangunan berkelanjutan di Kota Bandung agar komposisi perencanaan yang telah dirancang yaitu aspek keuntungan ekonomi, pengentasan ketimpangan, dan melestarikan ketahanan lingkungan dapat terimplementasi kepada masyarakat Kota Bandung sehingga kehidupan sejahtera bisa tercapai dengan baik, efektif, dan efisien selaras apa yang menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H