Mohon tunggu...
Irfan Fadila
Irfan Fadila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mencoba menjadi pewaris peradaban

Mahasiswa Ilmu Politik yang gaterlalu politik. Menyukai sepak bola, musik rock, dan pantai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kungkungan Kapitalisme Sebagai Distorsi Rasio Instrumental dalam Mencari Kebenaran (Part 1)

2 Juni 2023   16:14 Diperbarui: 2 Juni 2023   16:33 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini akan dibagi ke dalam dua bagian dengan fokus pembahasan yang berbeda namun saling beririsan.

"Truth is impossible there can only be perspective and interpretation, driven by a person's interests or 'will to power" (Nietzsche, 1844--1900) 

Artikel ini ditulis untuk menjawab sebuah pertanyaan mengenai apakah manusia modern bisa menemukan kebenaran melalui kekuatan daya nalar rasionya di tengah pengaruh kapitalisme yang hampir menjalar dalam setap nadi kehidupan sosial? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita telaah ke belakang sejarah pencarian kebenaran oleh manusia. Di tulisan ini mari kita menjelajah waktu melalui literatur yang menggambarkan bagaimana pemikiran manusia sesuai konteks zamannya diawali dengan fase intelektual yang dijabarkan oleh Auguste Comte, optimisme aufklrung, pendekatan rasio Rene Descartes, rasio manusia modern hingga pada akhirnya pembahasan tersebut akan mengerucut pada opini penulis dengan teori kritis Max Horkheimer & Adorno serta kapitalisme sebagai rujukan dalam sebuah penarkan kesimpulan yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan di awal.

Sejarah Pencarian Kebenaran Manusia dan Teori Kebenaran

Berbicara mengenai kebenaran, manusia dalam sejarah perkembangan peradabannya tak pernah berhenti untuk mencari sebuah kebenaran. Berbagai cara ditempuh baik itu dengan filsafat, teologi, metafisika, dan ilmu pengetahuan digunakan oleh manusia sebagai upaya yang tiada lain untuk menemukan kebenaran yang selama ini dicari-cari. Upaya pencarian kebenaran melalui macam-macam epistemologi seperti empirisme, rasionalisme, realisme, materialisme, pragmatisme dan idealisme hingga hari ini metode epistemologi tersebut belum menemukan kebenaran final yang universal.  Ada baiknya, sebelum masuk lebih jauh pada sejarah pencarian kebenaran dalam peradaban manusia, perlu diketahui dulu apa maksud dan konsep dari kebenaran itu sendiri agar lebih mudah mencerna pada apa yang akan dibahas selanjutnya. Mengutip pada jurnal Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu (Atabik, 2014) berdasarkan teori yang berkembang dalam filsafat mengenai kebenaran setidaknya ada tiga konsep teori kebenaran yang kerap dijadikan rujukan.

Pertama, teori kebenaran korespondensi yaitu konsepsi kebenaran yang dilandaskan pada keterikatan sebuah pernyataan terhadap fakta yang ditemukan atau diketahui dalam suatu objek (Sumantri, 2000, 57) yang berarti sebuah kebenaran itu baru valid apabila ada kesesuaian dengan fakta yang merujuk pada objek yang dimaksud. Teori kebenaran korespondensi ini bila kita cermati dengan baik sangat erat kaitannya dengan pengetahuan empirisme yang menitikberatkan kebenaran pada kesesuaian apa yang kita amati dengan objek, maka dari itu teori ini kerap dikaitkan dengan teori-teori empiris (Sumantri, 2000, 54). Adanya keterkaitan antara pernyataan dan fakta menunjukan bahwa teori korespondensi ini bertujuan untuk menciptakan kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang karena apa yang dinyatakan sesuai dengan fakta yang ada (Atabik, 2014).

Kedua, teori kebenaran pragmatisme yaitu sebuah konsep yang menilai sesuatu dikatakan benar apabila memiliki daya manfaat praksis. Filsafat kebenaran pragmatis ini berkembang di Amerika dengan John Dewey, C S Peirce , dan William James sebagai tokoh yang berpengaruh di aliran pragmatisme. Berbeda dengan kebenaran korespondensi yang menekankan adanya pernyataan dengan kenyataan faktual objek, kebenaran pragmatis terkadang tidak memperhatikan hal itu karena yang paling penting adalah pernyataan tersebut memiliki manfaat pada kehidupan praksis. Selama pernyataan tersebut memiliki manfaat dalam praksis maka pernyataan tersebut adalah kebenaran. Kebenaran pragmatis ini juga bisa bersinggungan dengan hal hal yang metafisik karena tak perlu fakta objektif secara empiris dalam pembuktiannya.

Ketiga, kebenaran koheren sesuai dengan namanya kebenaran ini didasarkan pada koherensi sebuah pernyataan dengan pernyataan lainnya yang benar. Seperti halnya kebenaran korespondensi yang mengaitkan sebuah kebenaran pernyataan dengan fakta, pada konsep kebenaran koherensi dilihat pula antara kaitan tersebut dengan memperhatikan bentuk hubungan atas pernyataan yang benar sebelumnya (Bakhtiar, 2012). Sebagai contohnya ada sebuah pernyataan "tumbuhan memerlukan air untuk hidup" dimana sebelumnya ada pernyataan "makhluk hidup memerlukan air untuk hidup", maka dari itu pernyataan "tumbuhan memerlukan air untuk hidup" benar secara koheren karena memiliki kaitan dengan pernyataan benar sebelumnya yaitu "makhluk hidup memerlukan air untuk hidup".

Kebenaran koherensi ini juga mempertimbangkan konsistensi dari kebenaran sebuah pernyataan. Sebuah pernyataan harus memiliki konsistensi kebenaran pada pernyataan sebelumnya yang pernah ada (Sumantri, 2000). Artinya kebenaran ini melengkapi dari apa yang tidak ada di dalam kebenaran korespondensi yaitu konsistensi kebenaran dari sebuah pernyataan yang telah ada dan dinyatakan benar sebelumnya yang didapatkan melalui pemahaman logis koheren.

Hukum Tiga Tahap Intelektual Manusia August Comte dalam Mencari Kebenaran 

Setelah menjabarkan mengenai teori-teori kebenaran yang berkembang mari kita kembali fokus pada pembahasan sejarah peradaban manusia dalam mencari kebenaran, berdasarkan teori tiga tahap yang dijabarkan oleh August Comte manusia dalam perkembangan peradaban setidaknya mengalami tiga tahapan perkembangan yaitu teologis, metafisika, dan positivis. Untuk menyambung pembahasan dari sejarah pencarian kebenaran manusia, setidaknya kita perlu memahami fase tiga tahap yang dikonsepsikan August Comte ini sebagai gambaran historis bagaimana manusia mencoba merasionalkan fenomena alam untuk dicari kebenarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun