Mohon tunggu...
Irfan Fadila
Irfan Fadila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mencoba menjadi pewaris peradaban

Mahasiswa Ilmu Politik yang gaterlalu politik. Menyukai sepak bola, musik rock, dan pantai

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Rage Against The Machine: Berpolitik Melalui Musik

11 Januari 2022   20:49 Diperbarui: 11 Januari 2022   21:10 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar kata “Politik”? Apakah orang-orang berdasi pembuat kebijakan yang duduk di gedung pemerintahan? 

Aktor-aktor partai yang melakukan kampanye dalam pemilu? Ataukah sekelompok orang yang berusaha mendapatkan kuasa untuk memerintah? Yaa bisa dibilang hal-hal tersebut pada umumnya akan muncul secara spontan dalam benak pikiran kita ketika mendengar kata politik

Pikiran kita mengenai politik sudah terkonstruksi secara tidak sadar untuk selalu mengaitkannya dengan kegiatan yang sifatnya parlementer. 

Tidak ada yang salah dari itu semua karena memang dalam praktiknya politik selalu berkaitan dengan pemerintahan salah satunya parlementer sebab pada studi ilmu politik sendiri secara ontologis membahas suprastruktur politik yang di dalamnya ada kajian tentang parlementer.

 Namun, yang akan dibahas disini bukan model politik seperti itu karena bisa saya jamin kita akan bosan dan jenuh dalam membahas politik parlementer sebagaimana yang saya alami selama 3 sks dalam matkul Dasar Dasar Ilmu Politik

Untuk itu tidak ada salahnya kita melihat politik dari prespekstif yang lebih “menyenangkan” yaitu melalui seni. Sama halnya seperti anda yang mungkin bertanya “Lho emangnya bisa ya berpolitik pake seni? bukannya politik identik dengan adu argumen sampai debat kusir” saya pun sempat memiliki pertanyaan serupa ketika mengerjakan UAS mata kuliah ilmu sosial. 

Sampai pada saat itu ketika saya sedang iseng mengisi kegabutan dengan menonton Youtube muncul sebuah rekomendasi video band rock asal California bernama Rage Against The Machine

Band rock berprinsipkan seni musik sebagai muatan politik melalui kata kata yang melawan di dalam liriknya. Benar benar rockstar! karena band ini bukan hanya sukses membawakan pesan politik melalui cara yang fresh dan sesuai dengan jiwa anak muda tetapi ia juga sukses menjadi salah satu band rock berpengaruh di genrenya.

Lagu lagunya yang terkenal selalu erat dengan kritik dan keresahan Zack de la rocha cs tentang isu isu sosial. Berbagai kritik serta umpatan itu dikemas rapih oleh Zack menjadi sebuah lirik yang tajam sarat akan makna dan emosional bagi para pendengarnya. 

Tak berhenti sampai disitu, pidato Zach melalui kata-kata yang melawan tersebut dibuat lebih garang lagi oleh alunan gitar Tom Morello, cabikan bass Tim Commerford, dan dentuman kemarahan Brad Wilk lewat drumnya sukses melahirkan komposisi menawan untuk menjadikannya sebagai pesan politik. 

Ngomong-ngomong soal Rage Against The Machine kurang afdol rasanya bila kita tidak membahas salah satu masterpiece yang membawa nama band tersebut menjadi besar dan melegenda, ya! Killing in The Name. 

Datang dengan judul yang berani, Killing In The Name sukses meledak di medio 90an. Lagu bertemakan kebusukan para aparat rasis dan penyalahgunaan kekuasaan itu selalu disajikan dengan apik oleh RATM.

Lagu ini tak lekang oleh zaman, banyak orang mengatakan salah satu penyebab lagu ini tetap eksis sampai sekarang ialah pesan-pesan yang dibawakan dalam liriknya masih relevan sampai sekarang. 

Lagu yang berisi keresahan mengenai abuse of power dari aparat dituangkan melalui lirik "Some of those that work forces, Are the same that burn crosses" dalam lirik tersebut RATM ingin memberi pesan satire pada aparat kepolisian Amerika karena memiliki kesamaan dengan sekte KKK dalam melakukan terror atau penyalahgunaan kekuasaan atas dasar rasial. 

Kritik pedas pada pembenaran pembunuhan berkedok “lencana” juga lantang dikumandangan Zack de la Rocha lewat lirik "Those who died are justified, For wearing the badge, they’re the chosen whites" sebuah sindiran dari ironisnya pembenaran pembunuhan hanya karena mereka memakai lencana penegak hukum sehingga seolah olah melegitimasi tindakan tersebut. Selain itu kebanyakan dari mereka adalah aparat yang rasis pada suatu kelompok. 

RATM seolah olah ingin menyadarkan orang-orang agar tidak tunduk pada perintah kelompok pelaku abuse of power supaya tidak menjadi boneka dari ambisi para penguasa, melalui bait "And now you do what they told ya, (Now you’re under control) And now you do what they told ya" sebagai tamparan untuk orang orang yang mudah disetir di bawah pengaruh kontrol ambisi kelompok kepentingan.

Bukan hanya kritik, RATM juga memasukan sikap menolak keras dibawah kontrol aparat di outro lagunya dengan lantang berteriak "F*CK you, I won’t do what you tell me" sebanyak enam belas kali dan ditutup dengan kalimat Motherf*cker sebagai penegasan sikap untuk menolak tunduk patuh pada kelompok yang melakukan abuse of power

Sadar atau tidak RATM telah menjadikan musik sebagai media berpolitiknya melalui cara persuasif dengan komposisi musik yang mengajak jamming dan lirik catchy di kepala para pendengarnya. 

Bila dihubungkan dengan konsep kekuasaan politik, RATM bisa dibilang menggunakan cara influence dan persuasif karena sasarannya rata rata anak muda sehingga lebih mudah untuk “dirangkul” lewat cara yang asik yaitu melalui musik tujuannya agar anak anak muda tersebut terpanggil untuk memperjuangkan isu yang dibawa RATM. Tentunya perlu waktu untuk mewujudkan tujuan RATM tersebut dan pastinya memerlukan proses step by step

Awalnya mungkin orang-orang hanya menikmati musiknya saja, tetapi seiring berjalannya waktu akan muncul rasa penasaran dan mulai ada keinginan untuk mendalami makna liriknya hingga pada jangka panjangnya mungkin akan timbul pergerakan akibat pesan dari lagu RATM. 

Seperti apa yang saya alami akhir akhir ini, muncul rasa ingin tahu untuk mendalami pesan apa yang ingin disampaikan oleh band RATM. Dari semua yang saya sudah tuliskan diatas, band RATM menjadi sebuah bukti bahwasanya berpolitik dapat menggunakan media antimainstream sehungga tidak selalu berpaku monoton pada politik parlementer. 

RATM seolah ingin memberitahu bahwa kita bisa kok berpolitik sambil lompat-lompat, moshing, jamming, dan teriak-teriak ga melulu harus baca buku Karl Marx, Andrew Heywood dll yang tebalnya seperti kusen pintu jati. Politik adalah bagian hidup dan hidup membutuhkan politik dalam perjalanannya, jika hidup bisa dibikin asik oleh musik kenapa politik enggak!

Sebagai penutup tulisan bertema musik sebagai alat politik rasanya akan sangat tepat bila kita tutup tulisan ini dengan potongan lirik lagu milik Rage Against The Machine, okee dehh check this out!

“Something must be done

About vengeance, a badge and a gun

'Cause I'll rip the mic, rip the stage, rip the system

I was born to rage against 'em”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun