Mohon tunggu...
Irfandy Dharmawan
Irfandy Dharmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Lawyer Tri Vittama Firm

Mengarungi Samudra Hukum, berlabuh di Dermaga Filsafat, dan Berlayar di Lautan Politik. Seorang Sarjana Hukum yang sedang menambahkan cerita di Perpustakaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Moralitas dan Kepemimpinan Publik: Mengupas Krisis Etika di Era Modern

7 Desember 2024   00:10 Diperbarui: 7 Desember 2024   00:12 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks ini, penting untuk menyoroti peran moralitas sebagai pengikat antara pemimpin dan rakyat. Pemimpin yang bermoral tidak hanya mematuhi hukum, tetapi juga bertindak sesuai dengan nilai-nilai etika yang diterima oleh masyarakat. Ketika moralitas ini hilang, hubungan antara pemimpin dan rakyat menjadi rapuh, dan kepercayaan terhadap sistem pemerintahan pun runtuh.

Selain itu, moralitas juga berfungsi sebagai landasan untuk membangun integritas. Pemimpin yang bermoral mampu menghadapi tekanan, mengambil keputusan yang sulit, dan tetap setia pada prinsip-prinsip keadilan. Tanpa moralitas, integritas hanya menjadi slogan kosong yang tidak memiliki makna nyata.

Perspektif Teori Hukum Alam

Dalam teori hukum alam, moralitas adalah inti dari hukum itu sendiri. Thomas Aquinas, salah satu tokoh utama teori ini, menyatakan bahwa hukum yang tidak selaras dengan moralitas tidak dapat dianggap sebagai hukum yang sah. Dengan kata lain, hukum tidak hanya tentang aturan yang tertulis, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai universal yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam konteks kepemimpinan publik, teori hukum alam menawarkan perspektif yang menarik. Pemimpin publik diharapkan tidak hanya mengikuti aturan hukum, tetapi juga menjadikan nilai-nilai moral sebagai pedoman dalam setiap keputusan mereka. Namun, banyak kasus menunjukkan bahwa pemimpin lebih sering bersembunyi di balik celah hukum untuk membenarkan tindakan yang tidak bermoral. Misalnya, seorang pejabat yang secara hukum terbebas dari tuduhan korupsi karena kurangnya bukti, meskipun masyarakat tahu bahwa ia telah menyalahgunakan kekuasaannya. Dalam pandangan hukum alam, tindakan semacam ini tetap salah secara moral, meskipun hukum positif tidak dapat menjangkaunya.

Teori ini juga relevan dalam mengkritik hukuman yang tidak setimpal dengan pelanggaran moral yang dilakukan. Contohnya, seorang pejabat tinggi yang terbukti korupsi tetapi hanya dijatuhi hukuman ringan, meskipun kerugian yang ditimbulkannya sangat besar bagi masyarakat. Dalam pandangan hukum alam, hukuman seperti ini tidak mencerminkan keadilan dan gagal menegakkan moralitas yang seharusnya menjadi inti dari sistem hukum.

Solusi dan Harapan: Memulihkan Moralitas dalam Kepemimpinan Publik

Memulihkan moralitas dalam kepemimpinan publik bukanlah tugas yang mudah, tetapi langkah-langkah konkret dapat diambil untuk mencapainya. Pertama, pendidikan moral harus dimulai sejak dini. Generasi muda perlu diajarkan pentingnya nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan empati. Pendidikan ini harus menjadi bagian integral dari kurikulum, bukan hanya pelajaran tambahan yang sering diabaikan.

Kedua, penegakan hukum yang tegas dan adil adalah kunci untuk memulihkan moralitas. Hukum harus menjadi alat yang efektif untuk menindak pelanggaran moral, terutama di kalangan pemimpin publik. Kasus-kasus korupsi harus ditangani dengan serius, dan pelakunya harus dijatuhi hukuman yang setimpal. Hal ini tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga mengirimkan pesan kepada masyarakat bahwa moralitas masih dihargai dalam sistem hukum.

Ketiga, peran masyarakat tidak boleh diabaikan. Dalam era digital, masyarakat memiliki kekuatan besar untuk mengawasi dan mengkritik tindakan pemimpin publik. Media sosial, misalnya, telah menjadi alat yang efektif untuk menekan pemimpin yang bertindak tidak bermoral. Namun, kritik ini harus disertai dengan tanggung jawab, agar tidak berubah menjadi fitnah atau pembunuhan karakter.

Akhirnya, kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki integritas moral yang kuat. Pemimpin seperti ini tidak hanya mampu menjalankan tugasnya dengan baik, tetapi juga menjadi teladan bagi masyarakat. Dengan mengembalikan moralitas ke dalam kepemimpinan publik, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan sejahtera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun