Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% (12 persen) mulai 1 Januari 2025 telah menimbulkan beragam reaksi di tengah masyarakat. Pemerintah mengklaim kebijakan ini merupakan langkah strategis untuk menjaga stabilitas fiskal dan mendukung pembangunan jangka panjang. Namun, tidak sedikit yang mempertanyakan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah yang paling rentan terkena dampaknya.
Sebagai pajak konsumsi, PPN diterapkan secara merata pada semua lapisan masyarakat, tanpa memandang tingkat pendapatan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut akan memperburuk ketimpangan sosial-ekonomi. Dalam konteks ini, menarik untuk menggunakan teori keadilan John Rawls sebagai alat untuk menakar keadilan dari kebijakan ini.
Teori keadilan Rawls memberikan kerangka etis untuk mengevaluasi kebijakan publik, termasuk perpajakan. Prinsip difference principle miliknya secara khusus menggarisbawahi bahwa kebijakan harus memberikan manfaat terbesar bagi kelompok masyarakat yang paling tidak beruntung. Apakah kenaikan PPN ini sejalan dengan prinsip tersebut?
Gambaran Kebijakan Kenaikan PPN
Tujuan Kenaikan PPN
Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen adalah bagian dari strategi besar menjaga kesehatan fiskal negara. Dalam kondisi pasca-pandemi, kebutuhan akan pendapatan negara semakin meningkat untuk mendukung berbagai program pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Pajak konsumsi dianggap sebagai salah satu cara paling efektif untuk mengamankan pendapatan ini.
Namun, pertanyaan besar muncul: apakah kenaikan PPN ini benar-benar efektif dalam mengakomodasi kebutuhan fiskal tanpa membebani masyarakat? Mengingat konsumsi adalah komponen utama ekonomi, penurunan daya beli akibat kenaikan pajak bisa berdampak negatif pada pemulihan ekonomi.
Dampak Potensial terhadap Masyarakat
PPN bersifat regresif, artinya beban pajak ini lebih berat dirasakan oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Kelompok ini menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok, yang sebagian besar juga dikenakan PPN. Misalnya, ketika harga barang kebutuhan sehari-hari naik akibat pajak yang lebih tinggi, masyarakat miskin terpaksa mengurangi konsumsi atau mengalihkan pengeluaran mereka untuk kebutuhan yang kurang mendesak.
Sebaliknya, kelompok berpenghasilan tinggi yang memiliki pengeluaran konsumsi lebih kecil terhadap pendapatannya relatif tidak terlalu terpengaruh. Ketimpangan ini menimbulkan tanda tanya besar terhadap keadilan kebijakan ini.
Banyak pengamat ekonomi menyarankan agar kenaikan ini ditunda atau diimbangi dengan kebijakan lain yang melindungi masyarakat miskin, seperti subsidi langsung atau pengecualian PPN pada barang kebutuhan pokok tertentu. Tanpa langkah mitigasi yang konkret, kenaikan PPN dikhawatirkan hanya akan memperburuk ketimpangan sosial.