Mohon tunggu...
Irfandy Dharmawan
Irfandy Dharmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Lawyer Tri Vittama Firm

Mengarungi Samudra Hukum, berlabuh di Dermaga Filsafat, dan Berlayar di Lautan Politik. Seorang Sarjana Hukum yang sedang menambahkan cerita di Perpustakaannya

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kebangkitan Proteksionisme Trump: Imbas Ekonomi Bagi Indonesia dan Asia

7 November 2024   10:50 Diperbarui: 7 November 2024   11:10 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Terpilih Amerika Serikat Donald Trump (sumber gambar: www.rappler.com)

Pada pemilihan presiden Amerika Serikat 6 November 2024, Donald Trump berhasil terpilih kembali sebagai Presiden, mengalahkan kandidat petahana Kamala Harris. Kejadian ini membawa perhatian besar bagi para ekonom dan investor di seluruh dunia, mengingat kebijakan proteksionis Trump pada masa kepresidenan sebelumnya yang mengedepankan prinsip "America First." Pada periode 2017--2021, Trump memperkenalkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri AS dari persaingan global, mengurangi ketergantungan pada impor, dan meninjau ulang perjanjian-perjanjian perdagangan yang dianggap merugikan Amerika Serikat.

Di bawah kebijakan "America First," Trump melakukan peninjauan perjanjian dagang, menaikkan tarif impor untuk sejumlah produk dari Asia, dan bahkan menarik Amerika dari beberapa kesepakatan dagang internasional. Banyak pakar memprediksi bahwa kebijakan yang serupa akan diterapkan kembali di periode kepemimpinannya kali ini, yang dikhawatirkan bisa memperlambat perdagangan internasional dan memperburuk ketidakpastian ekonomi global. Bagi Indonesia dan kawasan Asia yang mengandalkan ekspor ke AS, kebijakan proteksionis ini tentunya akan menjadi tantangan besar.

Pentingnya Dampak Kebijakan AS bagi Ekonomi Global

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, kebijakan ekonomi AS memiliki pengaruh signifikan terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Ketika AS memberlakukan kebijakan proteksionis, rantai pasok global bisa terganggu, mengingat AS adalah salah satu tujuan utama ekspor bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Trump sebelumnya menimbulkan ketegangan perdagangan antara AS dan mitra-mitra dagang utama seperti China, yang berimbas pada perlambatan ekonomi di kawasan Asia.

Selain itu, ketegangan dagang AS-China tidak hanya berdampak pada dua negara tersebut, tetapi juga pada negara-negara yang terlibat dalam rantai pasok global, termasuk Indonesia. Ketika AS dan China saling menaikkan tarif, produk-produk ekspor Indonesia yang terintegrasi dalam rantai pasok China atau AS bisa terkena dampaknya. Misalnya, produk elektronik atau bahan baku dari Indonesia yang dijual ke China dan kemudian diekspor ke AS mungkin akan mengalami kenaikan harga, yang dapat menurunkan daya saingnya.

Ketidakpastian kebijakan Trump juga mempengaruhi nilai tukar dan pasar keuangan global. Selama masa jabatannya yang pertama, ketegangan perdagangan dan kebijakan proteksionis menyebabkan fluktuasi tajam pada nilai tukar dolar AS dan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Dengan kembalinya Trump ke Gedung Putih, volatilitas serupa bisa terjadi, yang dikhawatirkan akan mempengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia.

Kebijakan Proteksionisme Trump dan Janji-Janjinya

Penekanan pada Kebijakan "America First"

Setelah terpilih kembali sebagai Presiden AS pada 2024, Donald Trump kembali menegaskan komitmennya pada prinsip "America First." Dalam kampanyenya, Trump berjanji untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan melindungi tenaga kerja Amerika dari persaingan global. Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan lapangan kerja di sektor manufaktur AS dan mengurangi ketergantungan negara pada impor, terutama dari negara-negara Asia. Namun, kebijakan ini mengkhawatirkan bagi banyak negara, termasuk Indonesia, yang memiliki hubungan dagang signifikan dengan AS.

Jika Trump kembali menerapkan kebijakan proteksionis, Indonesia sebagai salah satu negara yang mengekspor produk seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan komoditas lainnya ke AS, akan menghadapi tantangan besar. Dengan pemberlakuan kebijakan "America First," AS kemungkinan akan memberlakukan pembatasan lebih ketat atau tarif lebih tinggi pada produk impor, yang bisa menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika.

Tarif dan Penarikan dari Perjanjian Perdagangan

Trump telah memberikan sinyal bahwa ia tidak ragu untuk meninjau kembali perjanjian perdagangan internasional yang dianggapnya merugikan kepentingan Amerika. Pada periode kepemimpinannya yang pertama, Trump sempat menarik AS dari beberapa perjanjian multilateral, seperti Trans-Pacific Partnership (TPP), dan meningkatkan tarif impor pada produk-produk dari China sebagai bagian dari perang dagang yang berkepanjangan.

Banyak pihak memperkirakan Trump akan kembali menerapkan kebijakan serupa, bahkan mungkin lebih agresif, yang bertujuan untuk mengamankan pasar domestik AS dari kompetisi asing. Kebijakan tarif tinggi ini dapat berdampak langsung pada Indonesia, yang merupakan salah satu pemasok bahan mentah dan produk jadi bagi pasar Amerika. Misalnya, jika tarif untuk produk elektronik atau produk tekstil dinaikkan, harga produk Indonesia di AS akan naik, yang membuatnya kurang kompetitif di pasar Amerika.

Selain itu, penarikan AS dari perjanjian perdagangan dapat menyebabkan disrupsi dalam rantai pasok global. Negara-negara yang bergantung pada perjanjian ini, terutama di Asia, mungkin harus menghadapi peningkatan biaya ekspor ke Amerika atau mencari pasar alternatif untuk menutupi penurunan permintaan dari AS. Bagi Indonesia, yang masih memiliki keterbatasan akses ke pasar non-tradisional, dampak ini bisa menjadi tantangan besar.

Kebijakan yang Dikhawatirkan

Sejumlah kebijakan lain yang dijanjikan Trump, seperti meningkatkan tarif impor pada produk tertentu dan memaksa perusahaan Amerika untuk kembali beroperasi di dalam negeri, semakin meningkatkan kekhawatiran. Kebijakan-kebijakan ini menekankan proteksionisme ekonomi dan cenderung memberikan dampak negatif bagi negara-negara eksportir di Asia, termasuk Indonesia.

Dengan adanya kemungkinan kebijakan pembatasan perdagangan, perusahaan-perusahaan Indonesia yang bergerak di sektor ekspor bisa mengalami penurunan permintaan. Sebagai contoh, industri otomotif dan elektronik yang terintegrasi dalam rantai pasok global akan terpukul jika Trump menambah hambatan tarif pada produk komponen yang biasa diimpor ke Amerika. Hal ini tentu akan mempersulit perusahaan-perusahaan Indonesia yang mengekspor produk ke AS, karena biaya produksi dan harga jual akan meningkat, membuatnya kurang kompetitif di pasar AS.

Kebijakan proteksionis ini juga meningkatkan ketidakpastian di pasar internasional. Para ekonom memperkirakan bahwa kebijakan Trump akan memicu respons balasan dari negara-negara lain, khususnya China, yang dapat memperburuk perang dagang yang sudah ada. Bagi kawasan Asia yang bergantung pada perdagangan dengan AS dan China, ketegangan perdagangan yang semakin meningkat ini dapat merusak stabilitas ekonomi dan menciptakan lingkungan bisnis yang tidak menguntungkan.

Dampak Langsung dan Tidak Langsung bagi Perekonomian Indonesia

Dampak pada Ekspor Indonesia

Dengan terpilihnya kembali Donald Trump dan kemungkinan kebijakan proteksionisme yang lebih kuat, sektor ekspor Indonesia berpotensi mengalami dampak signifikan. Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, terutama untuk komoditas seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan produk pertanian. Jika AS menaikkan tarif impor atau memperketat kebijakan perdagangan, produk Indonesia di pasar AS bisa mengalami penurunan daya saing akibat harga yang lebih tinggi.

Sektor tekstil, misalnya, merupakan salah satu penyumbang ekspor terbesar bagi Indonesia. Dengan tarif impor yang tinggi, produk tekstil Indonesia akan menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan produk dari negara-negara yang memiliki perjanjian dagang khusus dengan AS. Begitu pula dengan produk-produk elektronik dan komponen otomotif yang banyak diimpor AS dari negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Kenaikan harga akibat tarif akan membuat konsumen AS beralih ke produk lokal atau alternatif dari negara lain yang lebih murah, yang bisa menurunkan permintaan ekspor Indonesia secara signifikan.

Pengaruh pada Investasi Asing

Kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh Trump cenderung menciptakan ketidakpastian di pasar internasional, yang dapat menurunkan minat investor asing untuk berinvestasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sebelumnya, kebijakan serupa yang diterapkan Trump menyebabkan volatilitas di pasar global, di mana investor cenderung lebih berhati-hati dalam menempatkan modal di pasar yang rentan terhadap dampak kebijakan AS.

Investor asing yang mempertimbangkan investasi di Indonesia mungkin akan mengurangi atau menunda rencana mereka, terutama jika ketegangan perdagangan antara AS dan negara-negara Asia semakin meningkat. Ketidakpastian ini juga dapat menurunkan arus modal ke Indonesia, yang dapat melemahkan likuiditas dalam negeri dan berpengaruh pada suku bunga. Sektor-sektor yang bergantung pada investasi asing langsung, seperti manufaktur dan infrastruktur, akan menjadi yang paling rentan terhadap dampak ini. Jika investasi menurun, pengembangan sektor ini bisa terhambat, yang pada akhirnya bisa menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

Nilai Tukar dan Inflasi

Dampak langsung lainnya dari kebijakan proteksionis Trump adalah kemungkinan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ketika Trump menerapkan kebijakan ekonomi ekspansif dan meningkatkan belanja dalam negeri, ini dapat memicu inflasi di Amerika Serikat. Sebagai respons, Federal Reserve mungkin menaikkan suku bunga untuk menstabilkan inflasi. Kebijakan ini bisa menyebabkan penguatan dolar AS, yang pada gilirannya akan melemahkan mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah.

Pelemahan rupiah akan membuat barang-barang impor di Indonesia menjadi lebih mahal, yang dapat memicu inflasi dalam negeri. Bagi masyarakat Indonesia, kenaikan harga ini bisa berpengaruh pada daya beli, terutama untuk barang-barang konsumsi dan bahan baku yang masih banyak diimpor. Selain itu, melemahnya rupiah juga dapat meningkatkan beban bagi perusahaan yang memiliki utang dalam dolar AS, karena pembayaran cicilan dan bunga menjadi lebih mahal dalam rupiah.

Dampak nilai tukar ini juga bisa mempengaruhi suku bunga di Indonesia. Ketika rupiah melemah, Bank Indonesia mungkin terpaksa menaikkan suku bunga untuk menstabilkan mata uang. Namun, suku bunga yang lebih tinggi dapat memperlambat konsumsi dan investasi, yang berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Di tengah ketidakpastian global, pemerintah perlu berhati-hati dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Dampak Tidak Langsung pada Kepercayaan Investor dan Pasar Keuangan

Kebijakan proteksionis Trump dapat menciptakan volatilitas yang tinggi di pasar keuangan global, terutama di pasar saham dan obligasi. Dengan adanya ketidakpastian yang tinggi di pasar global, investor cenderung mengalihkan investasi mereka ke aset yang lebih aman, seperti dolar AS dan emas, yang sering disebut sebagai "safe haven." Hal ini dapat menyebabkan arus modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga memberikan tekanan tambahan pada pasar modal domestik.

Indeks saham di Indonesia mungkin mengalami fluktuasi yang tajam, seiring dengan respons negatif investor terhadap ketidakpastian kebijakan perdagangan AS. Penurunan di pasar saham tidak hanya mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan besar tetapi juga berpengaruh pada nilai investasi masyarakat di pasar modal. Penurunan ini dapat menyebabkan berkurangnya likuiditas di pasar dan meningkatkan biaya modal bagi perusahaan, yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Strategi Mitigasi bagi Indonesia dan Kawasan Asia

Dalam menghadapi kebijakan proteksionis Donald Trump yang berpotensi menciptakan ketidakpastian di pasar global, Indonesia dan negara-negara Asia perlu merancang strategi mitigasi yang solid untuk melindungi perekonomian domestik dari dampak negatif kebijakan perdagangan AS. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh Indonesia dan kawasan Asia untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dan daya saing dalam situasi yang penuh tantangan.

1. Diversifikasi Pasar Ekspor

Salah satu strategi utama yang dapat diterapkan adalah mendiversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat. Indonesia selama ini memiliki hubungan dagang yang cukup kuat dengan AS, terutama untuk produk-produk seperti tekstil, elektronik, dan komoditas. Namun, jika AS memperketat kebijakan impor atau menaikkan tarif, Indonesia perlu mencari alternatif pasar agar tidak mengalami penurunan permintaan secara signifikan.

Negara-negara di Asia, Uni Eropa, dan Timur Tengah bisa menjadi tujuan ekspor baru yang potensial. Pemerintah Indonesia dapat mengoptimalkan kerja sama perdagangan bebas dengan negara-negara anggota ASEAN, serta memperkuat kemitraan dengan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan India. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan terhadap produk-produk manufaktur dan komoditas dari Indonesia di kawasan Asia meningkat, sehingga membuka peluang untuk memperluas pasar di wilayah ini. Selain itu, diversifikasi ini juga dapat membantu mengurangi risiko yang muncul dari ketergantungan pada satu pasar tunggal, terutama di tengah ketidakpastian kebijakan perdagangan global.

2. Penguatan Sektor Domestik dan Industri Berbasis Teknologi

Memperkuat sektor domestik dan berinvestasi dalam industri berbasis teknologi adalah langkah penting bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing dalam ekonomi global. Ketika kebijakan proteksionisme meningkat, pasar domestik dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, terutama dalam sektor yang memiliki daya saing tinggi. Sektor-sektor seperti agrikultur, pariwisata domestik, dan ekonomi kreatif perlu mendapatkan dukungan yang lebih besar agar bisa berkembang dan menjadi andalan pertumbuhan dalam negeri.

Investasi dalam teknologi dan inovasi juga dapat membantu meningkatkan efisiensi produksi dan menurunkan ketergantungan pada impor. Dengan adopsi teknologi yang lebih tinggi, industri di Indonesia dapat lebih kompetitif dan mampu menghadapi tantangan dari luar, termasuk tarif yang lebih tinggi atau hambatan perdagangan lainnya. Sektor teknologi informasi, manufaktur, dan energi terbarukan merupakan beberapa sektor yang berpotensi tumbuh dengan pesat di Indonesia jika mendapat dukungan investasi yang memadai.

3. Meningkatkan Daya Saing Produk Ekspor

Peningkatan daya saing produk ekspor juga menjadi kunci penting dalam menghadapi ketidakpastian perdagangan internasional. Untuk bertahan di pasar global, produk-produk Indonesia perlu memiliki keunggulan kompetitif yang dapat menarik minat konsumen asing meskipun ada hambatan tarif atau kebijakan proteksionis. Pemerintah dan pelaku bisnis perlu fokus pada peningkatan kualitas, efisiensi produksi, serta memenuhi standar-standar internasional yang dapat meningkatkan nilai jual produk Indonesia di pasar global.

Selain itu, diversifikasi produk juga diperlukan agar Indonesia tidak hanya mengekspor komoditas primer, tetapi juga produk-produk bernilai tambah tinggi yang memiliki pasar lebih luas dan stabil. Misalnya, industri manufaktur dan elektronik di Indonesia bisa diarahkan untuk menghasilkan produk dengan teknologi tinggi dan kualitas yang lebih baik. Dukungan pemerintah dalam bentuk insentif bagi sektor manufaktur dan teknologi dapat mempercepat peningkatan kualitas dan inovasi pada produk-produk ekspor.

4. Kolaborasi Regional dan Memperkuat Perjanjian Dagang

Kolaborasi dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia juga dapat memperkuat daya tahan ekonomi Indonesia dan negara-negara Asia dalam menghadapi proteksionisme AS. Kerja sama melalui perjanjian dagang regional seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), dan perjanjian perdagangan bilateral lainnya memberikan peluang bagi Indonesia untuk memperluas akses pasar dan meningkatkan ekspor.

Perjanjian dagang ini bisa membuka pasar yang lebih luas bagi produk-produk Indonesia dan memberikan keuntungan berupa penghapusan tarif atau pengurangan hambatan perdagangan di negara-negara mitra. Melalui perjanjian seperti RCEP, Indonesia dapat lebih mudah mengekspor produk-produk ke negara-negara Asia lainnya dengan tarif yang lebih rendah atau tanpa tarif. Kolaborasi ini juga memungkinkan Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan memperluas jaringan perdagangan dengan negara-negara yang memiliki hubungan dagang yang saling menguntungkan.

5. Penguatan Kebijakan Moneter dan Stabilitas Nilai Tukar

Untuk menghadapi dampak dari kebijakan ekonomi Trump yang mungkin mendorong penguatan dolar AS, Indonesia perlu memperkuat kebijakan moneter yang menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Bank Indonesia (BI) dapat mengambil langkah-langkah yang proaktif dalam menjaga kestabilan rupiah, seperti mengelola cadangan devisa dengan bijak dan memantau pergerakan arus modal.

Bank Indonesia juga perlu menjaga inflasi agar tetap stabil dan memberikan kebijakan suku bunga yang sesuai dengan kondisi pasar, terutama jika ada arus modal keluar yang signifikan. Stabilitas nilai tukar akan membantu melindungi daya beli masyarakat dan menjaga daya saing produk ekspor di pasar global. Dengan menjaga nilai tukar yang stabil, Indonesia dapat menekan risiko inflasi impor yang bisa terjadi akibat pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

6. Edukasi dan Dukungan bagi Pelaku Bisnis Lokal

Pemerintah juga perlu memberikan edukasi dan dukungan bagi pelaku bisnis lokal agar mereka siap menghadapi tantangan global yang ditimbulkan oleh proteksionisme AS. Pelatihan mengenai manajemen risiko, diversifikasi pasar, dan peningkatan kualitas produk bisa menjadi bagian dari strategi mitigasi yang membantu bisnis lokal tetap kompetitif. Insentif fiskal, kemudahan perizinan, dan dukungan pembiayaan juga dapat membantu bisnis lokal dalam mengurangi dampak dari perubahan kebijakan perdagangan internasional.

Kesimpulan

Indonesia perlu mempersiapkan berbagai strategi mitigasi yang kuat untuk menghadapi kebijakan proteksionis Donald Trump yang berpotensi berdampak besar pada perekonomian global. Dengan diversifikasi pasar ekspor, penguatan sektor domestik, peningkatan daya saing, serta kolaborasi regional, Indonesia dapat lebih tangguh dan siap mengatasi tantangan dari kebijakan proteksionisme AS. Upaya menjaga stabilitas nilai tukar dan memberikan edukasi bagi pelaku bisnis lokal juga akan membantu memperkuat perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun