Pernyataan kontroversial dari Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Prof. Tjitjik Srie Tjahjandarie, yang menyatakan bahwa kuliah tidak wajib, telah menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Pada Rabu, 15 Mei 2024, Prof. Tjitjik menjelaskan bahwa pendidikan tinggi bersifat tersier dan bukan termasuk dalam program wajib belajar. Menurutnya, tidak semua lulusan SMA atau SMK harus melanjutkan ke perguruan tinggi, karena pendidikan tinggi adalah pilihan untuk mereka yang ingin mengembangkan diri lebih lanjut.
Realitas dunia kerja di Indonesia memperlihatkan kontradiksi yang signifikan. Banyak perusahaan menetapkan gelar sarjana sebagai prasyarat minimum dalam berbagai lowongan pekerjaan. Bahkan, lulusan sarjana pun seringkali masih menghadapi tantangan besar dalam menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para lulusan SMA atau SMK yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Jika lulusan sarjana saja masih banyak yang menganggur, bagaimana nasib mereka yang hanya memiliki ijazah SMA atau SMK?
Dengan memahami dinamika ini, penting untuk mengevaluasi kembali kebijakan dan pernyataan Kemendikbudristek dalam konteks realitas pasar kerja. Meskipun kuliah tidak wajib, kebutuhan akan gelar sarjana dalam dunia kerja tidak dapat diabaikan.
Realitas Pendidikan dan Pasar Kerja di Indonesia
 Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2023 mencapai 5,45%. Dari jumlah tersebut, lulusan pendidikan tinggi menyumbang angka pengangguran yang signifikan, dengan lulusan sarjana dan diploma masing-masing mencapai 9,36% dan 8,52% dari total pengangguran. Tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki gelar sarjana, masih banyak yang kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka.
Di Indonesia, banyak perusahaan menetapkan gelar sarjana sebagai syarat minimum dalam berbagai lowongan pekerjaan. Menurut laporan dari JobStreet, sekitar 70% dari lowongan pekerjaan di situs tersebut pada tahun 2023 mengharuskan pelamar memiliki gelar sarjana. Hal ini mencerminkan kebutuhan pasar kerja yang lebih menyukai kandidat dengan pendidikan tinggi, meskipun tidak selalu berkorelasi dengan keterampilan praktis yang dibutuhkan di dunia kerja. Globalisasi juga memainkan peran penting dalam menetapkan standar pendidikan di Indonesia. Dalam era global, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan tidak hanya terjadi di tingkat nasional tetapi juga internasional. Banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia menetapkan standar yang tinggi untuk karyawan mereka, termasuk persyaratan gelar sarjana atau lebih tinggi. Selain itu, dengan meningkatnya akses terhadap informasi dan teknologi, masyarakat semakin menyadari pentingnya pendidikan tinggi untuk meningkatkan daya saing mereka di pasar kerja global.
Implikasi ekonomi dari tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan sarjana sangat besar. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi dapat mengakibatkan kerugian ekonomi nasional hingga miliaran rupiah setiap tahunnya. Selain itu, dari perspektif sosial, pengangguran di kalangan lulusan sarjana dapat menimbulkan frustrasi dan ketidakpuasan yang berdampak pada stabilitas sosial. Dengan latar belakang ini, pernyataan dari Kemendikbudristek yang menyatakan bahwa kuliah tidak wajib perlu ditinjau kembali dalam konteks realitas pasar kerja dan kebutuhan akan pendidikan tinggi di Indonesia. Menyadari pentingnya gelar sarjana untuk memasuki dunia kerja, ada kebutuhan mendesak untuk kebijakan yang lebih mendukung pendidikan tinggi agar relevan dengan kebutuhan pasar kerja
Dampak Pernyataan
Pernyataan dari Prof. Tjitjik Srie Tjahjandarie bahwa pendidikan tinggi tidak wajib, namun bersifat pilihan, memiliki dampak yang cukup signifikan bagi persepsi masyarakat terhadap pentingnya pendidikan tinggi. Pernyataan ini dapat menyebabkan kebingungan di kalangan calon mahasiswa dan orang tua mereka. Sebagian mungkin akan mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi karena dianggap tidak wajib. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, mengingat gelar sarjana masih menjadi salah satu syarat penting dalam dunia kerja.
Lebih lanjut, pernyataan tersebut juga berpotensi mempengaruhi jumlah pendaftar ke perguruan tinggi. Jika masyarakat mulai berpikir bahwa kuliah tidak begitu penting, angka partisipasi dalam pendidikan tinggi bisa menurun. Penurunan jumlah mahasiswa baru ini tentu saja akan berpengaruh pada pendapatan perguruan tinggi, terutama yang bergantung pada uang kuliah tunggal (UKT) sebagai salah satu sumber pendanaan utama. Selain itu, berkurangnya jumlah lulusan perguruan tinggi juga dapat berdampak pada kemampuan Indonesia untuk bersaing di pasar global, dimana tenaga kerja berkualifikasi tinggi sangat dibutuhkan.
Dampak jangka panjang dari pernyataan ini juga mencakup implikasi sosial dan ekonomi. Dari perspektif sosial, jika lebih banyak orang memutuskan untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, ketimpangan sosial dapat semakin melebar. Mereka yang tidak memiliki gelar sarjana mungkin akan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak, yang pada akhirnya dapat meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Dari sisi ekonomi, negara bisa mengalami kerugian ekonomi yang signifikan karena kurangnya tenaga kerja yang terdidik dan terampil. Oleh karena itu, meskipun pendidikan tinggi tidak diwajibkan, peran pentingnya dalam mempersiapkan tenaga kerja yang kompeten dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat tidak boleh diabaikan.
Analisis dan Kritik
Pernyataan dari Kemendikbudristek mengenai tidak wajibnya pendidikan tinggi perlu dianalisis lebih lanjut untuk memahami kesesuaiannya dengan kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan nasional, Kemendikbudristek seharusnya memperkuat relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja. Saat ini, banyak lowongan pekerjaan yang mencantumkan gelar sarjana sebagai syarat minimum, menunjukkan bahwa pendidikan tinggi masih sangat penting. Oleh karena itu, pernyataan bahwa kuliah tidak wajib dapat dianggap tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan, di mana lulusan SMA atau SMK tanpa gelar sarjana seringkali mengalami kesulitan untuk bersaing di pasar kerja.
Analisis lebih dalam menunjukkan bahwa pendidikan tinggi memainkan peran penting dalam peningkatan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan di era globalisasi. Selain itu, pendidikan tinggi juga berkontribusi pada peningkatan daya saing individu di pasar kerja global. Pernyataan bahwa pendidikan tinggi bersifat pilihan mungkin benar dari segi legalitas, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktiknya, gelar sarjana sering menjadi penentu utama dalam penerimaan pekerjaan. Dengan demikian, perlu ada upaya yang lebih kuat dari pemerintah untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya sebagai pilihan tetapi sebagai kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Kritik terhadap pernyataan ini juga harus mempertimbangkan implikasi jangka panjangnya. Jika pendidikan tinggi dianggap tidak wajib, maka bisa jadi akan ada penurunan partisipasi masyarakat dalam pendidikan tinggi. Hal ini dapat berdampak negatif pada jumlah tenaga kerja berkualitas di Indonesia, yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi tetap relevan dan terjangkau bagi semua orang. Langkah-langkah ini bisa mencakup peningkatan dana bantuan operasional, penyesuaian kurikulum agar lebih sesuai dengan kebutuhan industri, dan promosi pendidikan tinggi sebagai investasi masa depan yang penting bagi individu dan negara.
Refleksi Akhir
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang telah dibahas, jelas bahwa pernyataan Kemendikbudristek yang menyatakan bahwa kuliah tidak wajib perlu dievaluasi kembali dalam konteks realitas pasar kerja dan kebutuhan pendidikan di Indonesia. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa gelar sarjana masih menjadi syarat utama dalam banyak pekerjaan, sehingga pendidikan tinggi tetap memainkan peran penting dalam mempersiapkan tenaga kerja yang kompeten dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan global dan lokal, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Kebijakan yang mendukung relevansi dan aksesibilitas pendidikan tinggi harus diprioritaskan agar Indonesia dapat terus bersaing di pasar kerja global dan mengurangi tingkat pengangguran di kalangan lulusan. Dengan demikian, meskipun pendidikan tinggi secara hukum tidak diwajibkan, investasi dalam pendidikan tinggi tetap merupakan langkah strategis untuk masa depan bangsa yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H