Mohon tunggu...
Irfandy Dharmawan
Irfandy Dharmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Mengarungi Samudra Hukum, berlabuh di Dermaga Filsafat, dan Berlayar di Lautan Politik. Seorang Sarjana Hukum yang sedang menambahkan cerita di Perpustakaannya

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Puppet Masters: Tarian Marionet di Atas Harta Karun 271 Triliun

8 April 2024   19:38 Diperbarui: 8 April 2024   19:38 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Drama Panggung (via AI)

Pembuka: Panggung yang Telah Disiapkan

Di negeri yang subur dan kaya raya, dimana hutan dan bukitnya menyembunyikan harta tak terhitung, sebuah panggung telah disiapkan, lengkap dengan sorot lampu dan karpet merah. Tidak, ini bukan ajang penghargaan selebriti, melainkan panggung megah untuk sebuah drama korupsi dengan nilai produksi mencapai 271 triliun rupiah. Sorot lampunya? Sorotan publik. Karpet merahnya? Jalur merah yang dilewati uang-uang hasil korupsi.

Panggung ini berlokasi di sektor tambang Indonesia, sebuah industri yang seharusnya menjadi lumbung emas bagi negara, tapi kini lebih sering menjadi sumber skandal yang memanaskan telinga. 

Di tengah-tengah panggung, sebuah plot twist; sang aktor utama ternyata bukan siapa-siapa, hanya suami dari seorang selebriti ternama, yang pesta perkawinannya bak pangeran "Disney" negeri Dongeng. 

Namun, jangan terkecoh, drama ini bukanlah cerita Cinderella yang nyata. Sang Pangeran, dengan elegan, berjalan di atas karpet merah, yang ternyata dipintal dari benang-benang korupsi dan intrik.

Sebagai sebuah negara dengan sumber daya alam melimpah, Indonesia layaknya buffet mewah bagi mereka yang lapar akan kekuasaan dan kekayaan. Namun, sepertinya ada yang lupa memberitahu para tamu bahwa makan sepuasnya di sini datang dengan tagihan moral yang mahal. Ironisnya, tagihan itu tidak pernah sampai ke meja mereka. Sebaliknya, rakyatlah yang harus membayarnya, dengan cicilan keadilan yang tampaknya tak kunjung lunas.

Tetapi tunggu dulu, panggung ini ternyata lebih kompleks dari yang terlihat. Ada bisikan bahwa di balik layar, tersembunyi sosok 'sutradara' yang sesungguhnya, menggerakkan semua pion di atas papan catur korupsi dengan tangan yang tak pernah terlihat. Mereka ini adalah para puppet masters, yang dengan telaten mengatur skenario sedemikian rupa, sehingga para aktor di panggung hanya perlu mengikuti alur cerita yang telah ditetapkan.

Saat lampu panggung menyala dan tirai mulai terbuka, kita disajikan dengan drama korupsi yang tidak hanya menguras sumber daya alam, tapi juga mengikis kepercayaan publik. Dan di sini, di barisan penonton, kita duduk bersama, menyaksikan bagaimana harta karun sebesar 271 triliun bisa 'bermain-main' di atas panggung korupsi, tanpa rasa takut akan kritik atau hukuman. Ah, sungguh sebuah pembuka yang menjanjikan untuk drama yang tak akan pernah kita lupa.

Babak Kedua: Tarian Marionet

Selamat datang di babak kedua, di mana tarian para marionet menjadi tontonan yang memukau. Para pemainnya? Sekelompok figur yang bersinar di bawah sorot lampu, yang gerak-geriknya begitu lembut dan terkoordinasi, seolah-olah dipandu oleh tangan-tangan terampil. Namun, jangan terpesona dulu; tarian ini bukan sembarang tarian. Ini adalah tarian korupsi yang ritmenya ditentukan oleh tarikan benang oleh para puppet masters dari kegelapan.

Di sini, di panggung korupsi yang megah, setiap langkah tarian telah direncanakan dengan teliti. Mulai dari penandatanganan kontrak yang 'sengaja' memihak, pengalihan aliran dana yang seharusnya mengalir ke kas negara, hingga ke proses pencucian uang yang sehalus sutra. Ah, betapa indahnya harmoni yang tercipta dari kekacauan yang terorganisir!

Namun, apa arti sebuah tarian tanpa panggung dan alat musik? Di sinilah entri "Harta Karun yang Diperebutkan" di panggung. Latar belakangnya, sebuah pertambangan timah, emas, atau mungkin batu bara yang kaya, berperan sebagai panggung yang gemerlap. Alat musiknya, alat berat dan mesin-mesin tambang yang beroperasi tanpa henti, menciptakan simfoni yang menggema hingga ke pusat kekuasaan.

Babak Ketiga: Harta Karun yang Diperebutkan

Di tengah-tengah panggung, harta karun yang diperebutkan berkilauan, memikat siapa saja yang berani mendekat. Namun, berbeda dengan kisah bajak laut, harta karun ini tidak terkubur di pulau terpencil, melainkan tersembunyi di bawah tanah Indonesia yang subur, menunggu untuk dijarah. Tidak perlu peta atau kompas; yang dibutuhkan hanyalah keserakahan dan sedikit 'keahlian' dalam memainkan sistem.

Ironisnya, meskipun harta ini seharusnya menjadi berkah bagi bangsa, ia malah menjadi kutukan. Setiap gram emas, setiap butir batu bara, berubah menjadi poin dalam permainan skor tinggi korupsi. Dan dalam permainan ini, para pemain tidak hanya mencari kekayaan materi, tapi juga adrenalin dari menari di atas tali tanpa jaring pengaman.

Dampak dari tarian ini begitu nyata, meskipun para penari terus bergoyang seolah tak peduli. Lingkungan yang rusak, hak-hak masyarakat yang terinjak, dan masa depan negara yang hipoteknya semakin bertumpuk, semua menjadi bagian dari 'dekorasi' panggung yang mewah ini.

Namun, apakah penonton hanya akan duduk diam dan memberi tepuk tangan? Atau apakah akhirnya akan ada yang berdiri, mengambil alih panggung, dan mengubah arah tarian? Di babak kedua dan ketiga ini, kita diajak untuk merenungkan, apakah kita akan terus menjadi penonton pasif, atau mulai mengambil peran dalam mengubah narasi.

Epilog: Mengangkat Tirai, Mengungkap Kebenaran

Epilog ini membawa kita ke saat di mana tirai perlahan diangkat, menawarkan sekilas harapan bahwa kebenaran mungkin saja terungkap. Di balik seluruh drama, manipulasi, dan tarian marionet, ada sebuah kebenaran yang menunggu untuk ditemukan dan dipahami. Namun, kebenaran ini sering kali bersembunyi di balik lapisan kompleksitas dan kabut misteri yang dibuat oleh para puppet masters.

Pada titik ini, kita diajak untuk merenungkan arti dari mengungkap kebenaran dalam dunia di mana keadilan sering kali tertutup oleh kepentingan dan kekuasaan. Mengangkat tirai bukanlah akhir dari pertunjukan, melainkan permulaan dari sebuah proses yang lebih panjang dan lebih berat dan sebuah proses untuk memperjuangkan transparansi, akuntabilitas, dan akhirnya bertujuan mencapai keadilan sebenarnya.

Penutup: Akhir dari Pertunjukan, atau Interval Saja?

Penutup ini mengajukan pertanyaan kritis kepada penonton: Apakah apa yang kita saksikan barusan merupakan akhir yang definitif dari drama korupsi ini, atau hanyalah interval sebelum babak berikutnya dari pertunjukan yang sama? Ini merupakan momen untuk merefleksikan siklus korupsi yang terus berulang dan tantangan yang dihadapi dalam upaya menghentikannya.

Di sini, kita diingatkan bahwa perjuangan melawan korupsi bukanlah sebuah pertunjukan yang bisa kita tonton dan lupakan begitu saja. Ini adalah pertarungan berkelanjutan yang membutuhkan keterlibatan dan dedikasi dari setiap individu, baik di panggung maupun di penonton. Pertanyaan yang diajukan di akhir ini bukan hanya untuk para karakter dalam drama, tapi juga untuk kita semua sebagai bagian dari masyarakat: Apakah kita akan bertindak untuk memastikan bahwa pertunjukan berikutnya akan berbeda, atau apakah kita akan duduk kembali dan menunggu tirai berikutnya terbuka?

Dengan cara ini, penutup tidak hanya mengakhiri drama ini, tetapi juga membuka pintu untuk pertanyaan-pertanyaan besar tentang bagaimana kita semua berkontribusi dan berperan dalam drama sosial dan politik yang lebih besar di sekitar kita,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun