Mohon tunggu...
Irfandy Dharmawan
Irfandy Dharmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Lawyer Tri Vittama Firm

Mengarungi Samudra Hukum, berlabuh di Dermaga Filsafat, dan Berlayar di Lautan Politik. Seorang Sarjana Hukum yang sedang menambahkan cerita di Perpustakaannya

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Puppet Masters: Tarian Marionet di Atas Harta Karun 271 Triliun

8 April 2024   19:38 Diperbarui: 8 April 2024   19:38 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Drama Panggung (via AI)

Di sini, di panggung korupsi yang megah, setiap langkah tarian telah direncanakan dengan teliti. Mulai dari penandatanganan kontrak yang 'sengaja' memihak, pengalihan aliran dana yang seharusnya mengalir ke kas negara, hingga ke proses pencucian uang yang sehalus sutra. Ah, betapa indahnya harmoni yang tercipta dari kekacauan yang terorganisir!

Namun, apa arti sebuah tarian tanpa panggung dan alat musik? Di sinilah entri "Harta Karun yang Diperebutkan" di panggung. Latar belakangnya, sebuah pertambangan timah, emas, atau mungkin batu bara yang kaya, berperan sebagai panggung yang gemerlap. Alat musiknya, alat berat dan mesin-mesin tambang yang beroperasi tanpa henti, menciptakan simfoni yang menggema hingga ke pusat kekuasaan.

Babak Ketiga: Harta Karun yang Diperebutkan

Di tengah-tengah panggung, harta karun yang diperebutkan berkilauan, memikat siapa saja yang berani mendekat. Namun, berbeda dengan kisah bajak laut, harta karun ini tidak terkubur di pulau terpencil, melainkan tersembunyi di bawah tanah Indonesia yang subur, menunggu untuk dijarah. Tidak perlu peta atau kompas; yang dibutuhkan hanyalah keserakahan dan sedikit 'keahlian' dalam memainkan sistem.

Ironisnya, meskipun harta ini seharusnya menjadi berkah bagi bangsa, ia malah menjadi kutukan. Setiap gram emas, setiap butir batu bara, berubah menjadi poin dalam permainan skor tinggi korupsi. Dan dalam permainan ini, para pemain tidak hanya mencari kekayaan materi, tapi juga adrenalin dari menari di atas tali tanpa jaring pengaman.

Dampak dari tarian ini begitu nyata, meskipun para penari terus bergoyang seolah tak peduli. Lingkungan yang rusak, hak-hak masyarakat yang terinjak, dan masa depan negara yang hipoteknya semakin bertumpuk, semua menjadi bagian dari 'dekorasi' panggung yang mewah ini.

Namun, apakah penonton hanya akan duduk diam dan memberi tepuk tangan? Atau apakah akhirnya akan ada yang berdiri, mengambil alih panggung, dan mengubah arah tarian? Di babak kedua dan ketiga ini, kita diajak untuk merenungkan, apakah kita akan terus menjadi penonton pasif, atau mulai mengambil peran dalam mengubah narasi.

Epilog: Mengangkat Tirai, Mengungkap Kebenaran

Epilog ini membawa kita ke saat di mana tirai perlahan diangkat, menawarkan sekilas harapan bahwa kebenaran mungkin saja terungkap. Di balik seluruh drama, manipulasi, dan tarian marionet, ada sebuah kebenaran yang menunggu untuk ditemukan dan dipahami. Namun, kebenaran ini sering kali bersembunyi di balik lapisan kompleksitas dan kabut misteri yang dibuat oleh para puppet masters.

Pada titik ini, kita diajak untuk merenungkan arti dari mengungkap kebenaran dalam dunia di mana keadilan sering kali tertutup oleh kepentingan dan kekuasaan. Mengangkat tirai bukanlah akhir dari pertunjukan, melainkan permulaan dari sebuah proses yang lebih panjang dan lebih berat dan sebuah proses untuk memperjuangkan transparansi, akuntabilitas, dan akhirnya bertujuan mencapai keadilan sebenarnya.

Penutup: Akhir dari Pertunjukan, atau Interval Saja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun