Mohon tunggu...
Irfandy Dharmawan
Irfandy Dharmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Mengarungi Samudra Hukum, berlabuh di Dermaga Filsafat, dan Berlayar di Lautan Politik. Seorang Sarjana Hukum yang sedang menambahkan cerita di Perpustakaannya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Fenomena Kreak di Semarang: Analisis Kriminologis terhadap Kriminalitas Remaja

31 Maret 2024   01:01 Diperbarui: 31 Maret 2024   19:09 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaku kreak di Semarang ditangkap polisi (via era.id)

Bulan Suci Ramadhan seharusnya menjadi bulan untuk sebagian besar masyarakat menahan diri, melakukan Introspeksi, dan melakukan Ibadah dengan lebih baik. Namun, belakangan ini masyarakat di Kota Semarang justru dibuat resah dengan adanya 'Kreak' yang berkeliaran setiap malam sampai menjelang subuh. Dengan membawa senjata sajam berupa celurit panjang, kreak - kreak berkeliling sepanjang jalan Kota Semarang sampai ke Perbatasan Kabupaten Semarang melakukan teror kepada para pengguna jalan. Hal ini membuat resah sebagian masyarakat yang melintas. Sebenarnya apa itu kreak? bagaimana hal tersebut dapat menjamur dan membawa identitas sendiri dari Kota Semarang seperti halnya Klitih di Yogyakarta?

Pengertian Kreak

"Fenomena Kreak" adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada perilaku kejahatan atau kriminalitas yang dilakukan oleh remaja di lingkungan kota, terutama di kota Semarang. Istilah ini menggambarkan tindakan kriminalitas yang sering dilakukan secara berkelompok, dengan modus operandi yang seringkali melibatkan kekerasan atau intimidasi.

Di Kota Semarang, terdapat fakta yang menunjukkan bahwa banyak remaja terlibat dalam tindakan kejahatan kriminalitas, terutama pada malam hari. Data statistik dari pihak berwenang mengindikasikan peningkatan kasus pembegalan, pengancaman dengan kekerasan, dan penganiayaan yang melibatkan remaja sebagai pelaku. Misalnya, laporan kepolisian mencatat bahwa sebagian besar kasus kejahatan jalanan yang melibatkan penggunaan kekerasan atau ancaman terjadi pada malam hari, dengan pelakunya seringkali adalah remaja atau kelompok remaja.

Pola ini menunjukkan adanya kecenderungan remaja untuk terlibat dalam perilaku kriminalitas di malam hari, yang mungkin disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah kurangnya pengawasan dari orang tua atau otoritas pada malam hari, sehingga memberi kesempatan bagi remaja untuk terlibat dalam kegiatan yang tidak pantas. Selain itu, lingkungan yang gelap dan sepi pada malam hari juga dapat menjadi faktor pendorong bagi remaja untuk melakukan tindakan kriminalitas tanpa ketahuan. Fenomena "Kreak" menjadi perhatian serius karena dapat mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat, serta menimbulkan ketakutan dan ketidaknyamanan kepada Masyarakat.

Fenomena Kreak dari Aspek Kriminologis

Dalam konteks fenomena "Kreak" remaja di Kota Semarang, terdapat beberapa teori kriminologis yang dapat membantu dalam menggambarkan faktor-faktor yang mendasarinya. Salah satu teori yang relevan adalah Teori Strain atau teori ketegangan.

Teori Strain, juga dikenal sebagai Teori Ketegangan atau Teori Ketidakseimbangan, dikemukakan oleh seorang sosiolog Amerika bernama Robert K. Merton. Merton mengembangkan teori ini pada tahun 1938 dalam artikelnya yang terkenal berjudul "Social Structure and Anomie," dan kemudian merinci dan memperluasnya dalam karyanya yang lebih luas.

Dalam teori ini, Merton menyoroti ketidakseimbangan antara tujuan sosial yang diinginkan oleh individu, seperti kesuksesan ekonomi atau pencapaian prestasi, dan sarana yang sah atau legal yang tersedia untuk mencapainya. Ketika individu merasa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut secara sah, mereka mungkin mengalami ketegangan atau "strain", yang dapat mendorong mereka untuk mencari sarana alternatif, termasuk terlibat dalam perilaku kriminal.

Teori Strain menekankan bahwa individu cenderung terlibat dalam perilaku kriminal sebagai respons terhadap ketidakseimbangan antara tujuan sosial yang diinginkan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya. Ketegangan atau "strain" ini muncul ketika individu menghadapi hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan sosialnya, seperti kesuksesan ekonomi atau pengakuan sosial, dan merasa tidak memiliki sarana yang sah untuk mencapainya.

Dalam konteks "Kreak" remaja di Semarang, teori strain dapat digunakan untuk menggambarkan beberapa faktor yang mungkin mendorong remaja terlibat dalam perilaku kriminal. Misalnya, remaja yang tumbuh di lingkungan ekonomi yang kurang sejahtera mungkin mengalami ketegangan karena kesenjangan ekonomi yang besar, di mana mereka merasa sulit untuk mencapai tujuan-tujuan seperti memiliki barang-barang mewah atau gaya hidup yang diinginkan.

Ketegangan ini kemudian dapat mendorong remaja untuk mencari sarana alternatif dalam mencapai tujuan mereka, yang mungkin termasuk terlibat dalam perilaku kriminal seperti pembegalan, pemerasan, atau penganiayaan. Selain itu, tekanan sosial dari teman sebaya atau subkultur yang mendukung perilaku kriminal juga dapat memperkuat respons terhadap ketegangan tersebut.

Perlunya Reformasi Hukum Terhadap Aturan Pidana Anak

Dalam upaya menanggulangi fenomena 'Kreak' yang melibatkan keterlibatan remaja dalam kegiatan kriminalitas, salah satu langkah krusial yang perlu dipertimbangkan adalah pembaharuan aturan pidana anak. Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas masalah kejahatan remaja, pembaharuan hukum ini menjadi penting untuk menjaga efektivitas sistem peradilan anak dan perlindungan masyarakat secara keseluruhan. Ada beberapa alasan mengapa pembaharuan aturan pidana anak amat sangat diperlukan yakni:

  1. Pemahaman yang Lebih Komprehensif tentang Tanggung Jawab Pidana Anak: Pembaharuan hukum dapat memperjelas definisi dan kriteria untuk menentukan apakah seorang anak dapat dijerat dengan pidana ataukah tidak. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tanggung jawab pidana anak dipertimbangkan dengan cermat, dengan memperhatikan faktor-faktor seperti usia, kedewasaan, dan kondisi sosial-ekonomi.
  2. Peningkatan Deterrensi atau Efek Jera: Melalui reformasi hukum yang memperkuat sanksi pidana bagi remaja yang terlibat dalam kegiatan kriminalitas, diharapkan dapat menciptakan efek jera yang lebih besar. Remaja akan lebih mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan kriminal mereka jika mereka sadar akan risiko mendapatkan hukuman yang lebih berat.
  3. Perlindungan Masyarakat: Reformasi hukum dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat dari kejahatan yang dilakukan oleh remaja. Dengan memperkuat sanksi pidana, remaja yang terlibat dalam kegiatan kriminalitas yang merugikan dapat dihentikan atau ditindak lebih efektif, sehingga masyarakat dapat merasa lebih aman.
  4. Intervensi dan Rehabilitasi yang Lebih Efektif: Selain mengenakan sanksi pidana, pembaharuan hukum juga dapat memperkuat upaya-upaya rehabilitasi dan reintegrasi bagi remaja yang terlibat dalam kegiatan kriminalitas. Dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada intervensi dan rehabilitasi, kita dapat membantu remaja untuk beralih ke jalur yang lebih positif dan memperbaiki perilaku mereka.
  5. Kepatuhan terhadap Standar Internasional: Pembaharuan hukum juga penting untuk memastikan bahwa Indonesia mematuhi standar internasional terkait perlindungan hak anak dan sistem peradilan anak yang adil. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip perlindungan anak yang sesuai dengan standar internasional, kita dapat memastikan bahwa anak-anak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana mendapatkan perlakuan yang adil dan sesuai dengan hak-hak mereka sebagai anak.

Dengan memperhatikan perlunya reformasi atau pembaharuan hukum terhadap aturan pidana anak, kita dapat menciptakan sistem peradilan yang lebih efektif dalam menangani kejahatan remaja dan mendorong pembentukan lingkungan yang lebih aman dan berkualitas bagi anak-anak dan masyarakat secara keseluruhan.

Kesimpulan

Dalam menggali lebih dalam fenomena "Kreak" yang meresahkan di Kota Semarang, analisis kriminologis menjadi penting untuk memahami latar belakang dan faktor-faktor yang mendasarinya. Dari perspektif kriminologis, fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori-teori seperti Teori Strain yang menyoroti ketidakseimbangan antara tujuan sosial yang diinginkan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya. Terutama dalam konteks remaja yang terlibat dalam perilaku kriminal, teori ini memperlihatkan bagaimana ketegangan sosial dapat mendorong mereka untuk mencari sarana alternatif, termasuk terlibat dalam kegiatan kriminalitas seperti yang terjadi di malam hari di Kota Semarang.

Namun demikian, pemahaman terhadap fenomena "Kreak" tidak cukup hanya melalui analisis kriminologis semata. Perlunya pembaharuan hukum terhadap aturan pidana anak menjadi krusial dalam upaya menanggulangi fenomena ini. Pembaharuan tersebut dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang tanggung jawab pidana anak, meningkatkan efektivitas deterrensi atau efek jera, melindungi masyarakat dari kejahatan yang dilakukan oleh remaja, serta memperkuat upaya intervensi dan rehabilitasi bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan kriminalitas.

Dengan demikian, melalui kombinasi analisis kriminologis dan reformasi hukum yang berfokus pada aturan pidana anak, diharapkan dapat diciptakan langkah-langkah yang lebih efektif dalam menangani fenomena "Kreak" di Kota Semarang. Upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, kepolisian, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri, menjadi krusial dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan berkualitas bagi anak-anak dan seluruh masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun