Di era digital yang semakin merajalela ini, Masyarakat semakin dimudahkan melalui teknologi yang kian berkembang. Setiap kegiatan manusiapun semakin mudah dilakukan dengan berkembangnya teknologi, salah satunya adalah melakukan amal dan donasi. Namun dibalik itu semua, terdapat lintah -- lintah yang bersembunyi dengan menjadikan teknologi dan keinginan kuat hati nurani masyarakat untuk beramal menjadi ladang mencari cuan. Ironi ini mencerminkan bagaimana empati dan kebaikan hati, yang seharusnya menjadi perekat sosial, malah diputarbalikkan menjadi alat pengeruk keuntungan pribadi.
Salah satu kasus yang paling menggugah dan menyedihkan datang dari komika Singgih Sahara. Di balik canda tawa yang ia suguhkan, tersembunyi kisah kelam penyalahgunaan dana donasi. Singgih, dengan linangan air mata dan cerita pilu tentang kesehatan keluarganya, berhasil mengumpulkan ratusan juta rupiah dari para dermawan yang tergerak hatinya. Namun, ternyata sebagian dari dana tersebut malah berpindah tangan ke situs judi online, sebuah ironi yang mengerikan.
Sisi hukum dalam kasus ini tidak bisa dibilang hitam dan putih. Meski aturan tentang penipuan sudah jelas, zona abu-abu muncul ketika urusan berbalut empati dan donasi. Kejahatan semacam ini menyeret kita ke dalam labirin moralitas dan etika. Hukum mungkin bisa memenjarakan pelaku, namun bagaimana dengan luka yang tertinggal di hati para donatur yang kehilangan bukan hanya uang, tapi juga kepercayaan terhadap kemanusiaan?, Hal yang ditakutkan adalah Masyarakat akan kian enggan dan merasa was -- was untuk beramal dikemudian hari.
Mengkritik praktik ini bukanlah tentang meragukan niat baik setiap penggalangan dana. Namun, lebih kepada mengajak kita semua untuk berpikir ulang, "Apakah kita sudah memberikan kepada yang benar-benar membutuhkan, atau sekadar menjadi penonton dalam drama kehidupan orang lain yang penuh tipu daya?" Pertanyaan ini layak untuk direnungkan oleh siapa saja yang pernah tergerak hatinya untuk memberi.
Di tengah derasnya arus informasi dan kemudahan akses teknologi, tugas kita tidak hanya menjadi donatur yang baik hati, tapi juga donatur yang cerdas. Kita mesti belajar membedakan antara panggilan hati nurani dengan panggilan kebutuhan nafsu manusia yang tidak pernah puas. Ketika hati nurani dijadikan komoditas, mari kita tidak hanya mengecam pelakunya, tapi juga mengintrospeksi diri kita sebagai bagian dari sistem yang memungkinkan hal tersebut terjadi hal ini juga untuk memastikan diri kita merasa aman beramal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H