Mohon tunggu...
Irfandy Dharmawan
Irfandy Dharmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Mengarungi Samudra Hukum, berlabuh di Dermaga Filsafat, dan Berlayar di Lautan Politik. Seorang Sarjana Hukum yang sedang menambahkan cerita di Perpustakaannya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Anak di Persimpangan Hukum: Meneropong Kebutuhan Reformasi Sistem Pidana Anak

15 Maret 2024   19:00 Diperbarui: 15 Maret 2024   19:20 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hakikat Anak

Secara umum, anak didefinisikan sebagai individu yang berada dalam periode pertumbuhan dan pengembangan dari kelahiran hingga pubertas, sebuah fase kehidupan yang ditandai dengan proses belajar dan eksplorasi. Konvensi Hak Anak yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989, yang juga diratifikasi oleh Indonesia, mengidentifikasi individu di bawah usia 18 tahun sebagai anak-anak, kecuali hukum nasional menetapkan usia dewasa lebih awal.

Hakikat anak, yang mencakup hak untuk tumbuh kembang, hak atas perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi, menggarisbawahi bahwa anak-anak adalah individu yang berhak atas kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka dalam lingkungan yang aman dan mendukung. Mereka bukan hanya penerima pasif dari perlindungan dan perawatan, tetapi juga aktor sosial dengan hak dan kebutuhan khusus.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan yang meningkat terkait dengan peningkatan tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Kejahatan ini tidak terbatas pada pelanggaran ringan, tetapi sudah merambah ke tindakan lebih serius seperti pemerkosaan, perampokan, bahkan pembunuhan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang bagaimana sistem hukum dan masyarakat secara keseluruhan merespons dan mengelola anak yang berhadapan dengan hukum, serta bagaimana kebijakan saat ini mendukung atau menghambat pengembangan hakikat dan potensi mereka.

Sistem Pidana Anak di Indonesia

Dalam sistem hukum Indonesia, ketentuan pemidanaan anak diatur dengan sangat hati-hati, mengingat kerentanan dan hak-hak khusus yang dimiliki anak-anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) adalah dasar hukum yang mengatur bagaimana anak-anak yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan, dengan penekanan khusus pada perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi anak ke dalam masyarakat.

UU SPPA mendefinisikan "anak" sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah menikah. Ini sesuai dengan definisi yang digunakan dalam berbagai konvensi internasional tentang hak anak, termasuk Konvensi Hak Anak PBB. UU SPPA menetapkan beberapa prinsip dasar dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk:

  1. Perlakuan yang membedakan antara anak dan orang dewasa dalam sistem peradilan pidana.
  2. Penerapan pendekatan restoratif justice yang lebih mengutamakan rehabilitasi daripada hukuman.
  3. Penggunaan pemidanaan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dan untuk jangka waktu yang sesingkat mungkin.

Didalam UU SPPA salah satu konsep kuncinya ialah dilakukannya Diversi, Diversi menekankan penyelesaian kasus anak di luar sistem peradilan pidana formal. Diversi dapat dilakukan pada tahap penyidikan, penuntutan, atau persidangan dengan syarat tertentu, bertujuan untuk menghindari stigmatisasi, memberikan kesempatan kedua, dan lebih mengutamakan proses rehabilitasi anak.

UU SPPA menjamin perlindungan identitas anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk larangan publikasi nama, foto, atau informasi pribadi yang dapat mengidentifikasi anak sebagai pelaku tindak pidana.

Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mengambil langkah penting dalam memastikan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum diperlakukan dengan cara yang menghormati hak-hak dan kebutuhan khusus mereka sebagai anak. Namun, implementasi dari ketentuan ini dalam praktik masih terus memerlukan perhatian, pengawasan, dan peningkatan untuk memastikan keadilan dan rehabilitasi yang efektif bagi anak-anak tersebut.

Permasalahan dari Sistem Pidana Anak Saat ini

Meskipun Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Indonesia telah menetapkan kerangka hukum yang lebih progresif dan anak-sentris, beberapa masalah dan tantangan tetap muncul dalam praktik implementasinya. Masalah-masalah ini menunjukkan adanya kesenjangan antara prinsip hukum dan realitas di lapangan, yang dapat menghambat pencapaian tujuan utama UU SPPA dalam melindungi hak-hak anak, serta memastikan rehabilitasi dan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Berikut adalah beberapa masalah utama yang muncul dari sistem saat ini:

  • Keterbatasan Dalam Penerapan Diversi

Meskipun diversi dianggap sebagai salah satu solusi utama dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum, dalam praktiknya, penerapan diversi sering kali menghadapi hambatan. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman atau ketidaksiapan aparat penegak hukum dalam melaksanakan diversi, serta kurangnya fasilitas atau program yang mendukung proses tersebut.

Terdapat kesenjangan dalam ketersediaan dan aksesibilitas layanan rehabilitasi dan pendukung untuk anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Fasilitas dan program rehabilitasi yang memadai sering kali terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil atau kurang berkembang, sehingga anak tidak mendapatkan bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan untuk reintegrasi sosial.

  • Konsep Efek Jera vs. Rehabilitasi

Salah satu tantangan utama dalam sistem peradilan pidana anak adalah menemukan keseimbangan antara menciptakan efek jera dan memfokuskan pada rehabilitasi. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia cenderung mengutamakan rehabilitasi dan pendekatan restoratif daripada hukuman keras yang bertujuan untuk memberikan efek jera. Ini berakar pada pemahaman bahwa anak-anak masih dalam proses pembentukan dan memiliki potensi lebih besar untuk direhabilitasi dan dibimbing kembali ke jalan yang benar.

  • Persepsi Masyarakat tentang Keadilan

Masyarakat sering kali mengharapkan hukuman yang tegas untuk pelaku kejahatan, termasuk anak-anak, sebagai bentuk keadilan. Ketika sistem peradilan muncul dengan pendekatan yang lebih lunak terhadap anak pelaku kejahatan, hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa sistem tidak memberikan efek jera yang cukup, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi peningkatan kejahatan.

  • Keterbatasan dalam Implementasi Pendekatan Rehabilitatif

Salah satu alasan mengapa sistem saat ini mungkin dianggap tidak efektif dalam memberikan efek jera adalah keterbatasan dalam implementasi program rehabilitasi yang efektif. Ini termasuk kurangnya fasilitas, sumber daya, dan tenaga profesional yang terlatih untuk menangani rehabilitasi anak-anak pelaku kejahatan. Tanpa dukungan yang memadai, sulit untuk mencapai hasil yang diharapkan dari proses rehabilitasi.

  • Kebijakan dan Praktik Hukuman yang Konsisten

Inkonsistensi dalam kebijakan dan praktik hukuman untuk anak pelaku kejahatan juga dapat mengurangi efektivitas sistem dalam memberikan efek jera. Hal ini dapat mencakup variasi dalam penerapan diversi, penentuan hukuman, dan proses rehabilitasi, yang semuanya mempengaruhi persepsi efektivitas sistem peradilan pidana anak.

  • Kebutuhan akan Pendekatan yang Lebih Komprehensif

Pendekatan yang lebih komprehensif dalam menangani kejahatan anak mencakup berbagai aspek yang tidak hanya fokus pada konsekuensi hukum dari tindak pidana, tetapi juga pada faktor-faktor yang mendasari anak terlibat dalam kegiatan kriminal. Ini bertujuan untuk mencegah kejahatan sejak dini, serta memastikan rehabilitasi dan reintegrasi yang efektif bagi anak-anak yang telah berhadapan dengan hukum.

Arah Baru Reformasi

Menghadapi tantangan dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia dan kebutuhan untuk menyeimbangkan antara efek jera dan rehabilitasi, ada beberapa arah baru yang dapat diambil untuk reformasi. Perubahan ini perlu mencakup aspek legislatif dan praktik pengadilan, serta memastikan bahwa kebijakan yang diambil efektif dalam memberikan efek jera yang konstruktif sambil mendukung rehabilitasi anak. Berikut adalah beberapa ide dan rekomendasi untuk reformasi sistem pidana anak:

  • Penguatan Kerangka Hukum

Penguatan Kerangka hukum dapat dilakukan dengan melakukan revisi UU SPPA, Melakukan revisi pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk memperjelas ketentuan mengenai penerapan hukuman yang memberikan efek jera sambil tetap mengutamakan rehabilitasi dan hak-hak anak. Selain itu perlu untuk Mengembangkan panduan diversi yang lebih ketat dan terstruktur untuk memastikan bahwa diversi digunakan secara efektif dan hanya pada kasus yang sesuai, dengan mempertimbangkan tingkat keparahan dan dampak kejahatan.

  • Integrasi Layanan Rehabilitasi dan Dukungan

Mengembangkan program rehabilitasi yang terintegrasi dan berbasis bukti, yang mencakup pendidikan, keterampilan sosial, kesehatan mental, dan dukungan keluarga. Kemudian perlu juga untuk Membangun jaringan dukungan pasca-rehabilitasi untuk membantu anak-anak yang telah menjalani hukuman dalam reintegrasi ke masyarakat, termasuk pendampingan karir dan akses ke layanan pendidikan.

  • Pendekatan Multidisipliner dalam Penanganan Kasus

Membentuk tim penanganan kasus multidisipliner yang melibatkan ahli psikologi, pekerja sosial, dan pendidik dalam proses peradilan untuk memberikan asesmen yang komprehensif dan rekomendasi penanganan kasus.

  • Evaulasi Kebijakan Secara Berkala

Melakukan penelitian dan evaluasi berkala terhadap efektivitas kebijakan dan program rehabilitasi untuk memastikan bahwa mereka memberikan hasil yang diinginkan, termasuk efek jera yang konstruktif.

Dengan memfokuskan reformasi pada aspek-aspek ini, diharapkan sistem peradilan pidana anak di Indonesia dapat lebih efektif dalam memberikan efek jera yang konstruktif sambil memastikan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum menerima dukungan dan bantuan yang mereka butuhkan untuk rehabilitasi dan reintegrasi yang sukses ke dalam masyarakat.

Kesimpulan

Anak, sebagai individu dalam fase pertumbuhan dan pengembangan, memiliki hak istimewa untuk tumbuh dalam lingkungan yang mendukung, dengan perlindungan dan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat. Namun, tantangan muncul dengan meningkatnya tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur di Indonesia, mempertanyakan efektivitas sistem hukum dan masyarakat dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum serta mendukung pengembangan potensi mereka.

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Indonesia, yang mengedepankan perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi anak-anak ke dalam masyarakat, mencerminkan komitmen terhadap perlakuan yang membedakan antara anak dan orang dewasa. Namun, praktik implementasi UU SPPA menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan dalam penerapan diversi, akses terhadap layanan rehabilitasi, dan penyeimbangan antara efek jera dan rehabilitasi, yang menimbulkan persepsi masyarakat terhadap keadilan dan efektivitas hukuman.

Menghadapi tantangan ini, reformasi sistem peradilan pidana anak memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif, termasuk penguatan kerangka hukum, integrasi layanan rehabilitasi dan dukungan, pendekatan multidisipliner dalam penanganan kasus, serta evaluasi kebijakan secara berkala. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa sistem hukum dapat secara efektif memberikan efek jera yang konstruktif sambil mendukung rehabilitasi dan reintegrasi anak-anak yang berhadapan dengan hukum ke dalam masyarakat, mengakui hakikat dan potensi mereka sebagai individu yang masih berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun