Hakikat Anak
Secara umum, anak didefinisikan sebagai individu yang berada dalam periode pertumbuhan dan pengembangan dari kelahiran hingga pubertas, sebuah fase kehidupan yang ditandai dengan proses belajar dan eksplorasi. Konvensi Hak Anak yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989, yang juga diratifikasi oleh Indonesia, mengidentifikasi individu di bawah usia 18 tahun sebagai anak-anak, kecuali hukum nasional menetapkan usia dewasa lebih awal.
Hakikat anak, yang mencakup hak untuk tumbuh kembang, hak atas perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi, menggarisbawahi bahwa anak-anak adalah individu yang berhak atas kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka dalam lingkungan yang aman dan mendukung. Mereka bukan hanya penerima pasif dari perlindungan dan perawatan, tetapi juga aktor sosial dengan hak dan kebutuhan khusus.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan yang meningkat terkait dengan peningkatan tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Kejahatan ini tidak terbatas pada pelanggaran ringan, tetapi sudah merambah ke tindakan lebih serius seperti pemerkosaan, perampokan, bahkan pembunuhan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang bagaimana sistem hukum dan masyarakat secara keseluruhan merespons dan mengelola anak yang berhadapan dengan hukum, serta bagaimana kebijakan saat ini mendukung atau menghambat pengembangan hakikat dan potensi mereka.
Sistem Pidana Anak di Indonesia
Dalam sistem hukum Indonesia, ketentuan pemidanaan anak diatur dengan sangat hati-hati, mengingat kerentanan dan hak-hak khusus yang dimiliki anak-anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) adalah dasar hukum yang mengatur bagaimana anak-anak yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan, dengan penekanan khusus pada perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi anak ke dalam masyarakat.
UU SPPA mendefinisikan "anak" sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah menikah. Ini sesuai dengan definisi yang digunakan dalam berbagai konvensi internasional tentang hak anak, termasuk Konvensi Hak Anak PBB. UU SPPA menetapkan beberapa prinsip dasar dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk:
- Perlakuan yang membedakan antara anak dan orang dewasa dalam sistem peradilan pidana.
- Penerapan pendekatan restoratif justice yang lebih mengutamakan rehabilitasi daripada hukuman.
- Penggunaan pemidanaan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dan untuk jangka waktu yang sesingkat mungkin.
Didalam UU SPPA salah satu konsep kuncinya ialah dilakukannya Diversi, Diversi menekankan penyelesaian kasus anak di luar sistem peradilan pidana formal. Diversi dapat dilakukan pada tahap penyidikan, penuntutan, atau persidangan dengan syarat tertentu, bertujuan untuk menghindari stigmatisasi, memberikan kesempatan kedua, dan lebih mengutamakan proses rehabilitasi anak.
UU SPPA menjamin perlindungan identitas anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk larangan publikasi nama, foto, atau informasi pribadi yang dapat mengidentifikasi anak sebagai pelaku tindak pidana.
Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mengambil langkah penting dalam memastikan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum diperlakukan dengan cara yang menghormati hak-hak dan kebutuhan khusus mereka sebagai anak. Namun, implementasi dari ketentuan ini dalam praktik masih terus memerlukan perhatian, pengawasan, dan peningkatan untuk memastikan keadilan dan rehabilitasi yang efektif bagi anak-anak tersebut.
Permasalahan dari Sistem Pidana Anak Saat ini