Mohon tunggu...
Mohamad Irfan
Mohamad Irfan Mohon Tunggu... -

Hidup dengan penuh kesederhanaan, kisah cinta yang melankolis dan abnormal tetapi indah penuh intuisi meskipun menyakitkan... dunia terlalu singkat untuk tidak dinikmati

Selanjutnya

Tutup

Puisi

HATI MENARI-NARI DI BALI (CERITA III)

2 Juli 2011   09:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:00 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ku tengok lagi arloji yang mellingkar ditangan kiriku, sudah pukul tiga pagi lewat dua puluh lima menit, aku masih duduk meghabiskan sisa minuman kopi terakhirku. Notebook yang aku bawa sudah mati, lowbatt, dan aku ga bawa chargeran jadi kubiarkan saja dia tergeletak manis didepanku. Orang asing yang bernama Damar yang baru saja aku kenal beberapa menit lalu juga masih duduk di depanku, sekarang dia lebih tenang, diam, dan sepertinya larut dengan ipad yang dia bawa, syukurlah, jadi tidak banyak yang dibicarakan, sudah tidak mood lagi untuk ngobrol.

Aku cek smartphonesku, dan aku masuk ke messanger, recent updates, dan masih ada beberapa orang yang ganti foto, ganti status, atau masih dengerin musik. Pikiran singkat, langsung aku update statusku, Kuta, 03.30 pagi, selesai, lalu aku letakkan lagi smartphones ku itu ke samping notebook, ada keinginan untuk segera beranjak dari tempat ini, kembali ke hotel dan membiarkan tubuh ini istirahat sejenak sebelum menghadapi jadwal tour padat yang hanya tinggal menghitung jam, esok. Ku rapikan barang-barang yang tergeletak di meja, Damar sepertinya sadar aku akan pergi.

“Mau kemana? Balik ke hotel?”

Aku senyum, mengiyakan.

“Biar aku antar ya?” pintanya sambil memasukkan ipadnya kedalam tas hitam yang dia letakkan dibawah bangku.

“Nggak usah, gak apa-apa aku sendiri, dekat kok di belakang sini.”

“Biar aku antar, jalan aja, biar mobilku parkir disitu, aku antar, oke?”

Aku melihat mobil sedannya terakir rapi persis di depan kita.

“Oke, thank you Damar.”

----

Poppies lane l

“Jadi, kamu ke Bali dalam rangka apa ja?”

Damar memulai percakapan ketika kami menuju hotel, aku malas sekali menjawabnya, berfikir untuk mencari topik pembicaraan lain, tapi susah, woles, males sekali berfikir rasanya.

“Oh, aku, ini, ya sama kayak kamu aja, ambil cuti buat liburan.”

“Ooo.. besok uda ada rencana mau kemana?”

“Kebetulan udah, aku ikutan tour dari hotel.”

“Oya? Jadi di hotel kamu nyediain tour juga?”

“Ya begitulah, tadi sore pas baru sampe aku ditawarin, langsung aku iyain aja, abis bingung kalau besok harus ngatur-ngatur semuanya sendiri.”

Iya sendiri, harusnya nggak begini, harusnya nggak sendiri, ahrusnya ada dia yang juga ikut ngatur semua jadwal tour seperti rencana dua bulan lalu, dia yang janji mau antar aku kemana aku mau selama aku ada di kotanya, harusnya tidak seperti ini.

“Kamu sendirian ke Bali?”

“Iya”

“Wah, hebat, berani juga ya..”

“Kenapa harus takut? Masih di Indonesia juga kan, kamu juga sendirian kan?”

“Iya sih, tapi kan kalau aku tinggal sama Sepepu yang ada di Denpasar, kebetulan dia tinggal dirumahnya sendiri disana, jadi lemayanlah aku bisa numpang.”

“Ooo.. Sudah sampai Mar, itu tempat penginapanku, thanks ya uda mau antar..” aku menghentikan langkah persis di cafetaria yang ada di depan hotel, sudah tutup, sepanjang jalan sudah sangat sepi, sedikit berterimakasih pada Damar yang sudah bersedia mengantar.

“Oke, selamat berlibur Senja, semoga kita bisa ketemu lagi ya..”

Damar meninggalkan tempatku berdiri, dan aku segera masuk kedalam hotel, pikiran ini kembali tidak tenang karena pertanyaan Damar yang tadi,

“Kamu sendirian ke Bali?”

----

Langsung ku jatuhkan badan ini di atas kasur busa yang lebarnya muat untuk tidur empat orang, sangat luas. Pikiran ini masih melayang-layang, tidak tenang, sementara kantuk sudah mulai menjalar rakus ketubuh ini. Aku sempatkan melihat Smartphonesku, dan ada lampu merah berkedip-kedip pada LED coverage indicatornya, semangat, ekspektasi itu datang lagi.

“Senja kamu udah di Bali? Sekarang dimana? Aku telpon gak di angkat?”

Satu messanger, bukan dari dia, bukan dari dia, iyalah bukan dari dia, kan kita udah nggak temanan lagi di messanger ini, aku lupa, pura-pura lupa tepatnya!

Langsung aku balas, ini baru beberapa menit yang lalu, is writing message..

“Iya aku udah di Bali Mba, sekarang di Poppies Lane, aku nginap di hotel depanKuta, sorry tadi hp aku silent, jadi nggak ke angkat.”

Tidak perlu menunggu lama, sepersekian detik langsung Mba Ketut langsung menelponku.

“Tadi sampe bandara siapa yang jemput? Sorry ya aku masih di kantor, malam ini lembur, kamu gak nyasar kan? Udah kasi kabar ke dia kalau kamu udah di Bali?

Diam, pertanyaan yang seharusnya tidak perlu di tanyakan, Mba Ketut yang paling tau semua masalah ini, kenapa dia harus menanyakan pertanyaan ini? Uji coba mental part l mungkin ya, ini yang seharusnya aku persiapkan matang-matang sebelum aku putuskan untuk tetap berangkat kesini, abaikan!

“Mba, aku istirahat dulu ya, capek banget..”

“Ohh.. yowes, besok kita atur buat ketemuan ya, anak-anak juga kayaknya besok kumpul kok, kebetulan kayaknya dia lagi kosong event, jadi mungkin kita bisa kumpul semua.”

“Oke Mba, thank you anyway, sampai ketemu besok ya..”

Klik!

Aku lempar smartphones ku kesisi lain di tempat tidur yang luas ini, otakku semakin menjadi-jadi pusing, perasaan campur aduk semakin liar bergriliya di semua perderan darah menyatu dengan semakin berkurangnya hormon tiroid sehingga rasa kantuk semakin merebak, hanya satu obatnya, segera tidur. Tapi tidak ada ketenangan sama sekali, kabar Mba Ketut yang memberi tahu bahwa besok akan ada acara kumpul-kumpul itu bukan membuat aku lega, tapi malah membuatku seperti sesak nafas menahan keengganan yang berujung pada rasa mual. Ingin seharusnya aku tulis dalam catatan dadakan yang agak kusam di pojok kasur, hatiku kembali menari-nari di Bali, karena pada akhirnya aku tahu bahwa akan ada pertemuan-pertuam itu lagi, keegoisanku muncul, rasanya ingin segera aku akhiri liburanku ini di Bali, ingin segera kembali terbang ke Jakarta, menghindar. Membayangkan pertemuan itu, memang sudah seharusnya aku benar-benar menari, menari-nari dalam sendiri dan sepi, hatiku menari-nari di Bali, dalam diam dan sunyi, dalam malam yang bungkam, maaf karena aku terus melangkah jauh hanya seorang diri...

(bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun