Sabtu, 18/6/2022.
Hari ini hari ketigaku di Madinah. Usai shalat mahrib aku berjalan sendiri, meninggalkan mang Muk dan Zikri yang masih bertadarus Al Quran di ruang tengah masjid nabawi.
Aku kembali keluar masjid melalui pintu 46. Â Di depanku, di halaman pintu 46, gelombang jamaah yang mau ziarah rasul sudah bergerak seperti arak arakan karnaval yang panjang menuju pintu babussalam.
Awalnya saya juga mau melakukan ziarah rasul lagi, tetapi aku urungkan saat melihat  ruang  di dekat pintu 46  boleh dimasuki jamaah.  Aku perkirakaan ruang tersebut bersebelahan dengan Raudhah.
Pintu masuknya bersebelahan dengan pintu Babussaalam.
Aku masuk dengan terlebih dahulu melepas sendal yang sudah sempat kupakai di depan pintu 46. Tampak seorang  asykar berseragam sedang berjaga di mulut pintu. Alhamdulillah, ia tidak melarangku masuk. Akupun segera merangsek melewati para jamaah yang masih duduk dengan kesibukanya masing masing.
Aku mencari tempat sedekat mungkin dengan area mimbar dan tempat muazin melantunkan azannya. Yang jadi persoalan adalah, semakin ke dalam kepadatan jemaah semakin sesak. banyak jamaah yang berdoa sambil berdiri. Akupun ikut "ngusel" dengan jamaah yang berdiri. Aku tidak bisa duduk karena jamaah yang berada di shof  tak ada satupun yg mau bergeser untukku.
Di tengah usel-uselan dengan jamaah dari berbagai negara itu aku membatin sekaligus berharap " ya allah semoga ada jamaah yang duduk di shaf di dekatku ini kebelet lalu pergi ke WC sehingga aku bisa masuk shof."
Alhamdulillah doa dan harapanku terwujud, seorang jamaah entah berasal dari negara mana, yang persis ada di belakangku, keluar dari barisan. Â Aku segera masuk shaf dan shalat sunah meski harus melakukan rukuk dan sujud
 dengan susah payah. Maklum di hadapanku ada banyak jamaah berdiri untuk berdoa sambil menempel pada pembatas area roudhoh dan ruangan kosong di sebelahnya.
Usai shalat aku bersila untuk membaca apa yang aku bisa baca. Tidak terasa  satu jam lebih aku duduk berdoa hingga kumandang isya. Dari tempatku duduk, dengan sedikit mendongakan kepalaku ke arah kiri belakang, aku bisa melihat muadzin yang sedang mengumandangkan panggilan shalat isya. Begitu suara adzan terdengar, satu persatu jubelan jamaah yg berdiri di depanku mulai terurai.
Kini aku bisa shalat dengan lebih nyaman tentunya.Â
Sebelum iqamat dikumandangkan, masuklah serombongan jamaah berwajah  dan berbusana khas Arab ke area kosong di depanku. Area ini tidak bisa dimasuki olehku dan jamaah lain di ruanganku karena terhalang pembatas. Kami hanya bisa melihat mereka satu persatu menempati shaf. Mereka tampaknya datang dan masuk melalui pintu khusus yang aku tidak tahu. Mungkin dari pintu imam atau pintu babussalam.
Aku masih betah dan enggan pindah dari tempatku shalat, meski sudah selesai shalat ba'diyah isya. Aku menghibur diri untuk tidak kecewa walaupun di hari ketiga belum juga bisa masuk Raudhah. Yang jelas  Aku sangat bersyukur karena  sudah bisa berlama lama duduk di ruang samping kanan Raudhoh.
Sambil memandangi pernak pernik lampu hias dan ornamen area Raudhah yang terkesan indah dan mewah, Aku mengingat kembali kegiatan City Tour Madinah tadi pagi.
Begini ceritanya...
Habis shalat subuh kami sudah mengenakan seragam batik dan langsung naik bus untuk ziyarah ke masjid Quba. Jatah sarapan dibagikan di atas bus, dan kami sarapan di perjalanan menuju masjid  yang pertama kali dibangun oleh Rasul itu.
Tidak sampai setengah jam, kami sudah tiba di masjid Quba. Â Di bawah ini gambarnya.
Kami shalat tahiyyatul masjid dan shalat duha di sana. Kemudian kami melanjutkan ke destinasi berikutnya yakni kebun kurma.Â
Tiba di sana  Aku mencari cari di mana kebun kurmanya.  Dalam bayanganku kebun kurma itu kebun yang luas dan aku bisa memetik buah kurma sendiri. Tetapi "kebun kurma"  yang aku datangi kali ini hanyalah pusat oleh oleh dengan  beberapa pohon kurma berada di depan dan belakang toko tersebut.
Dari "kebun kurma", kami berpindah ke gunung Uhud. Saat tiba di Uhud, hari sudah siang dan cuaca sangat terik. Pak kyai menganjurkan agar jamaah tidak  usah naik ke puncak uhud. Kami patuh dan hanya turun sebentar untuk melihat lihat jabal Uhud yang pernah jadi saksi sejarah  "kekalahan" umat Islam gegara tidak disiplinnya pasukan di puncak dalam menjalankan intruksi Rasulullah.
Di tempat ini, istriku membeli buhur dan kacang arab pesanan saudara. Para jemaah haji lainnya juga belanja oleh oleh yang dijual pedagang kaki lima area Jabal Uhud.
Konon es krim  di uhud enak rasanya. Tapi aku menahan diri tidak membelinya teringat pesan saudara agar menghindari minuman dan makanan dingin saat terik agar tidak mudah sakit.
Pulang dari uhud bis melewati kawasan masjid Khondak atau dikenal juga dengan masjid Tujuh. Kami tidak diperkenankan turun dari bis karena waktu zhuhur sudah semakin dekat. Lalu buspun pulang menuju hotel kami. Â
Karena kecapean, usai shalat zuhur  aku tertidur pulas bersama tiga rekan sekamar lainnya hingga tiba waktu asar.
" adzan adzan, adzan..."
Seru kang Muk, mengagetkan semua anggota kamar. Â
Secepat kilat bergegas kami berwudhu, lalu tancap gas menuju masjid. ada yg lewat lift ada juga yang berlari lewat tangga. alhamdulillah kami masih dapat takbiratulihram imam meski berada di shaf paling belakang.
Begitulah. Selama di madinah fokus kami adalah shalat arbain. Kegiatan apapun kemudian dikondisikan agar tidak menggangu jadwal shalat arbain. Arba'in artinya 40. Yang dimaksud Shalat Arba'in adalah shalat fardu lima waktu di masjid Nabawi secara berjamaah  dalam delapan hari. Minimal jamaah haji Indonesia berkesempatan shalat fardu empat puluh kali di Masjid Nabawi.
***
Jika ada yang ingin merasakan sensasi indah dan nikmatnya shalat berjamaah, maka tak ragu lagi aku akan menyarankan dia untuk  tinggal di dekat masjid Nabawi Madinah. Masjid ini jamaahnya tak pernah sepi. Para jamaah haji dam umroh sudah berangkat mencari shaf terdepan sebelum adzan berkumandang. Tak jarang, meski sudah berangkat lebih awal, mereka tetap tidak kebagian shaf yang diharapkan. Apalagi di hari jumat kemarin, aku yang jam 11 baru berangkat, susah sekali mendapatkan shof kosong di ruang utama masjid. Aku lupa saran Pak Kyai agar di hari jumat segera ke Masjid sebelum jam sebelas. Padahal khutbahnya saja mulainya jam 1 siang.
Tidak mengherankan mengapa fenomena seperti itu terjadi, sebab di sana berkumpul ratusan ribu jamaah yang datang dari berbagai negara. Dan, semuanya seolah merasa khawatir tidak mendapatkan takbiratul ihram sang imam masjid An nabawi.
Sungguh indah kubayangkan jika masjid-masjid  dan mushola- mushola lain di dunia ini aktifitas jamaahnya seperti fenomena jamaah masjid Nabawi.
sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H