Mohon tunggu...
Irfan Amalee
Irfan Amalee Mohon Tunggu... Penulis - Direktur Eksekutif Peace Generation Indonesia

Co-founder PeaceGeneration, Mudir Peacesantren Welas Asih, Writer, Father, Udar-ider.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manakah Sunnah yang Lebih Utama, Janggut atau Senyum?

9 Oktober 2015   13:04 Diperbarui: 9 Oktober 2015   13:37 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memelihara janggut dan tersenyum sama sama sunnah rasul. Maka beruntunglah orang orang- orang yang Allah beri karunia janggut. Tanpa usaha yang keras, hanya cukup menahan diri untuk tidak mencukurnya, janggut akan tumbuh lebat. Semakin tebal dan panjang janggutnya, semakin afdhal menjalankan sunnahnya. Sunnah memelihara janggut nyaris tak memerlukan usaha yang keras (kecuali untuk orang-orang yang harus bersusah payah menggunakan obat penumbuh bulu).

Berbeda dengan memelihara janggut, senyum adalah sunah rasul yang memerlukan usaha. Untuk menyunggingkan sebuah senyum kita perlu menggerakkan 13 otot wajah kita. Bukanlah hal yang mudah unutk tersenyum pada orang yang kita benci. Saat hati kita dibebani banyak masalah, tersenyum akan jauh terasa lebih beat dari mengangkat beban. Maka tak heran, senyum dikategorikan sbegai salah satu bentuk shadaqah, selevel dengan shadaqah lain seperti mendermakan harta. Karena menyungginkan senyum kadang sama beratnya dengan menyisihkan harta untuk sesama.

Dari segi usaha yang dikeluarkan, tentu saja tersenyum lebih besar nilai usahanya daripada memelihara janggut. Meskipun dua-duanya adalah sunnah, kita bisa menilai mana yang lebih utama. Janggut adalah simbol yang mendekatkan kita dengan fisik rasul. Sementara senyum adalah sikap yang mengidentikkan kita dengan akhlak rasul. Janggut adalah simbol. Senyum adalah akhlak. Orang yang tak dikaruniai janggut bisa tetap mulia, tetapi setiap orang yang kehilangan senyum, pasti ada masalah dengan akhlaknya. 

Namun sayangnya, dalam menjalankan sunnah kadang kita lebih mengutamakan yang bersifat simbolik dari pada yang bersifat esensi. Tak jarang kita menemukan Muslim yang berjanggut bahkan lengkap dengan jubah, tapi wajahnya masam tanpa senyum. Lebih parah lagi, orang yang berjanggut dihinggapi sikap ujub, merasa dirinya menjalankan sunnah dan menampakkan wajah tak ramah, menganggap remeh orang yang yang berjanggut. Berjanggut sambil dihiasi senyum adalah afdhal karena menjalankan dua sunnah sekaligus. Tetapi berjanggut tanpa senyum seperti berdasi tanpa celana.

Rasulullah dikenang dan dipuja bukan karena janggutnya. Tapi karena pribadinya yang dikenal sebagai "bassaaman dlahhaakan" pribadi yang selalu tersenyum dan ceria. Saat meneyendiri Rasul memang selalu menangis khsuyu' dalam doa. Tetapi dalam bersosialisasi, Nabi adalah pribadi yang riang, ceria bahkan humoris. Senyumnya ia hadirkan bukan hanyan untuk para sahabatnya, tapi juga para musuhnya. Senyumnya bukan hanya saat bahagia, tetapi saat berduka. Karenanya rasul menghimbau agar seorang Muslim mampu menyembunyikan kesulitannya di hadapan manusia, dan hanya mengadukan keluh kesah pada Allah. Sesulit apa pun beban hidup, di hadapan manusia kita harus tersenyum. Fake it, you will make it.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun