Mohon tunggu...
Irfan Amalee
Irfan Amalee Mohon Tunggu... Penulis - Direktur Eksekutif Peace Generation Indonesia

Co-founder PeaceGeneration, Mudir Peacesantren Welas Asih, Writer, Father, Udar-ider.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapa Bilang Kita Krisis Keteladanan?

2 Agustus 2015   08:48 Diperbarui: 12 Agustus 2015   07:16 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu pagi Kang Emil (Ridwan Kamil) mengajak keluarganya keluar dari pendopo menuju alun-alun Bandung. Maksudnya mau bebersih lapangan alun-alun yang pasti kotor sisa acara malam sebelumnya. Dengan semangat '45 kang Emil dan keluarganya memunguti sampah. Dalam hatinya, dia yakin kalau dia lakukan itu, maka ratusan orang masyarakat yang ada di sana akan ikut melakukan hal yang sama. Tapi apa yang terjadi para pemirsa sekalian? 

Kang Emil bertepuk sebelah tangan. Bukannya ikut membantu, sebagain besar masyarakat malah menonton sambil berdecak kagum, "hebat ya walikota kita mah rajin banget". Sebagian besar remaja dan ibu-ibu mendekati, tapi bukan untuk membantu, tapi meminta berfoto bersama!

Dari kejadian itu saya mempertanyakan statetmen yang mengatakan bahwa kita krisis keteladanan. Sepertinya kita sekarang tak kurang untuk urusan teladan. Dari buku-buku kisah teladan yang berjilid-jilid, sosok sosok inspiratif Kick Andy yang muncul setiap minggu, hingga pemimpin-pemimpin muda yang bermunculan bak cendawan di musim duren. Yang menjadi masalah bagaimana mendidik masyarakat, warga, dan diri kita untuk meneladaninya. 

Keberhasilan Surabaya bukan hanya keteladanan Bu Risma, tapi juga masyarakatnya yang meneladani Bu Risma. Menurut seorang teman, warga Surabaya tak sungkan menegur warga lain yang melanggar aturan lalulintas atau buang sampah sembarangan. Itulah bedanya dengan urang Bandung yang cenderung permisif dan enggan berkonflik. Seharusnya seorang warga harus siap meneladani yang baik jika benar, dan berani menegur jika salah. Baik kepada pemimpin maupun sesama warga. 

Tadi sore di lampu merah Asia Afrika, saya melihat mobil di depan saya membuang sampah keluar jendelanya. Dengan reflek saya turun, memungut sampah itu, mengetuk jendela si sopir dan memberikan kembali sampah yang dia buang. Saya melihat expresi kaget dari si sopir. Saya yakin itu pengalaman pertama baginya yang tak akan terlupakan sepanjang hidupnya. Buat saya ini adalah kali keempat melakukan aksi seperti ini. Saya pernah memungut bungkus makanan dan memberikannya lagi pada penumpang minibus yang membuangnya. Saya miris, karena ternyata isi minibus itu sekelompok ibu-ibu berjilbab, yang saya yakin mereka tahu slogan "Annazhofatu minal iman". Di kesempatan lain saya juga pernah menyalip dan memberi peringatan pada seorang ibu (berjilbab juga) yang membung tisu ke luar jendela. Mirisnya lagi, di mobil itu ada anak-anak sekolah, yang pasti menyaksikan ibunya membuang sampah sembarangan. Tetapi yang paling keren adalah ketika saya memberikan kembali botol air mineral yang dibuang seorang pengendara mobil sedan mewah yang keren. Tak habis pikir, mobil mewah dikendarai pengemudi yang payah. 

Saat pertama kali melakukan itu, saya merasa lega dan sukses. Sebab telah ratusan kali saya menyaksikan hal serupa. Tetapi selalu gagal mengalahkan rasa malu, malas dan tidak peduli. Sebagai orang Sunda yang enggan berkonflik, kadang orang sekitar pun menganjurkan, "sudahlah biarin dairpada ribut". Tetapi semakin sering melakukan ini, semakin muncul keberanian. Bahkan saya melakukannya secara demonstratif, tak peduli ini akan dianggap riya. Saya sengaja agar putra putri saya, istri saya dan orang orang di jalan melihat bahwa kita harus mendidik diri kita dan sesama warga. 

Masalah warga bukan hanya ketidakdisiplinan di jalan, tapi ketidakjujuran di rumah dan di sekolah. Saat pemerintah Kota Bandung beritikad baik membantu siswa miskin agar mampu mengakses pendidikan, ribuan warga yang bukan miskin berbohong berjamaah mengaku miskin. Dari penyelidikan polisi, salah satu pemalsu SKTM itu adalah seorang notaris bermobil Alphard. Bayangkan, seorang ayah dan ibu (dan pasti diketahui anaknya juga) dari keluarga kaya, bersepakat membuat surat keterangan miskin demi masuk sekolah negeri. Dan itu bukan satu dua, tapi ratusan bahkan ribuan. Akan seperti apa kira-kira masa depan kota ini, jika ribuan warganya ternyata berbohong berjamaah. 

Kita punya problem dengan pemimpin-pemimpin yang korup. Tapi problem yang sama juga ada di warga. Pelatihan kepemimpinan diperlukan untuk melahirkan para pemimpin yang bisa jadi teladan. Tapi sepertinya kita juga perlu pelatihan kedipimpinan untuk melahirkan warga yang mampu meneladani. 

 @irfanamalee
Co-Writer Buku "Mengubah Dunia Bareng-Bareng" Biografi @ridwankamil (Penerbit Kaifa 2015)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun