Pagi itu hidangan nasi goreng tidak seperti biasanya, bulir nasi lebih memilih saling bertumpuk. Menghindar untuk bercerai berai dan menolak berserakan di lapangan piring. Suguhan teh menyembul hangat, di terpa matahari dari samping jendela berterali kayu. Jendela kayunya pun mulai kuyu di hantam panas dan dinginnya sikap alam.Â
Saat anggota keluarga lainnya memilih memindahkan nasi goreng ke piring masing-masing, tanpa berucap terlebih mengecap lalu melahap nasi goreng. Seorang cucunya yang masih duduk di bangku permainan taman kanak-kanak (TK) mengomentari rasa dan tampilan nasi goreng tersebut yang lebih dulu dicomotnya. Dengan ucapan lirih "ahh, tidak enak" dan ekspresi muka lebih tepatnya bibir yang mengayun, seakan menolak rasa yang terhidang sepagi itu.Â
Kala sang nenek ingin mengutarakan perihal kondisi nasi goreng pagi itu, sejenak ingin memberikan jawaban yang kira-kira mudah di pahami oleh cucunya tersebut. Namun, tak dinyana jawaban yang keluar terlontar tidak menampilkan jawaban yang teramat halus dengan langsung menodong poin intinya bahwa" ampungku (cucuku) minyaknya habis dan tidak ada yang menjual".
Inilah sekelumit kisah kecil beberapa minggu terakhir akan langkanya ketersedian minyak goreng di pasaran, minyak goreng kadung menjadi sebuah penghantar guna menghasilkan kreativitas makanan lebih lanjut. Sering kita jumpai di beberapa keluarga, nasi yang tersisa sehabis makan malam biasanya akan di maksimalkan saat pagi menjamu. Bahkan ketika nasi tersebut telah mendekati uzur keringat dinginnya. Ini juga bisa di katakan untuk memaksimalkan makanan yang ada dari pada terbuang atau lazim disebut mubazzir.
Begitu pun dengan makanan olahan lain, saat kita tengok jenis ikan yang di masak berkuah atau di daerah saya di Kabupaten Bulukumba, Kajang, ada jenis makanan olahan ikan di sebut juku tabba (ikan kunyit) ikan yang di masak dengan campuran kunyit yang banyak. Ikan tabba ini bisa bertahan bisa sampai dua hari setelah itu dihangatkan beberapa kali, lalu berenanag dipengggorengan. Kenapa saya menceritakan ini, karena ingin memberitahu kepada Ibu yang berdiri di podium sana, bahwa minyak goreng menjadi salah satu kebutuhan yang bisa melanjutkan kehidupan minimal di pagi hari. Lebih dari itu kita tahu bahwa, banyak yang mengais rejeki dari minyak goreng sebutlah usaha penjual  gorengan.
Menyimak cara pemerintah menangani kelangkaan minyak ini, cukup memprihatinkan. Kita tahu bhawa Indonesia sebagai produsen pertama penghasil minyak nabati jenis sawit. Namun, dari beberapa sumber  dan dari kementrian perdagangan menyebutkan bahwa beberapa produsen minyak memilih mengekspor karena harga minyak sawit lagi merokek di luaran sana. Paling terang juga di sebutkan bahwa ada gerbong mafia minyak goreng yang memainkan kondisi ini. Memperhatikan dua problem dasar tersebut, bahwa negara kewalahan kalau tak mau disebut kalah dalam pengendalian minyak goreng di pasaran. Sederhanya negara bisa mengandalikan produsen, mengatur distribusi dan mengintervensi harga pasar. Namun, kondisi terakhir ini tidak menunjukkan itu.
Langkah cepat dan tepat perlu di lakukan pemerintah dengan melepas harga eceran tertinggi di pasaran dan tinggal menyisakan subsidi bagi minyak curah. Di lepaskannya harga eceran tertinggi di pasaran untuk minyak premium ini masih menyisakan kekhawatiran terlihat saat ini harga minyak goreng belum terjangkau. Pemerintah khususnya daerah sangat perlu melakukan normalisasi harga pasar ini terlebih mendekati bulan ramadhan. Kita tidak menginginkan kejadian ini terulang saat sebuah antrian minyak goreng mengular dimana-mana, mengucur keringat,menghisap lelah hingga ada yang terenggut nyawanya dalam antrian minyak goreng. Kondisi ini harusnya bisa ditangani lebih cepat, namun respon pemerintah dinilai sangat lamban. Cucu sang nenek masih ingin makan paginya ditemani nasi goreng sebelum berangkat ke sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H