Mohon tunggu...
Irfan Akbar
Irfan Akbar Mohon Tunggu... -

Provakator seni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angsa Merah Jambu

29 Agustus 2014   04:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:14 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini aku sangat ingin sekali menulis novel. Entah ada dorongan darimana untuk membuat sebuah karya tulis yang menurutku sulit itu. Baru untuk memulai kalimat pertama, sudah hampir sebungkus rokok ku habiskan. Asap yang mengepul dari mulutku, sama sekali tak mambalut ide. Bahkan, jungkir balik di kasur pun tak juga dapat memberiku ide.
Sudah lima jam aku hanya berhasil menyalakan laptop sore itu. Aku habiskan waktu berpikir sambil bermain gitar, loncat-loncat, main game, kadang juga bicara pada cicak yang setia di langit-langit kamar.


“Ah, mungkin novel akan menjadi lebih mudah jika di tulis dari pengalaman pribadi,” gumamku. Aku mulai mencari inspirasi dari kisahku saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ketika SD, aku di kenal sangat pendiam. Masa SD adalah masa sulit bagiku. Karena itu, aku urungkan niat untuk menulis novel dari masa SD ku. Tidak ada yang menarik bagiku, kecuali masa SD yang gelap gulita. Hanya terlihat masa-masa aku menangis di kantin karena uang jajan diambil teman. Atau, ketika seharian aku menghuni kamar mandi karena di kunci dari luar. Sampai sekarang aku masih belum tahu siapa yang tega melakukan itu.


Kubakar rokok terakhir dari sebungkus yang hampir habis tadi. Kadang merokok adalah caraku untuk mendapatkan ide atau memecah kejenuhan. Benar saja, aku ingat ketika SMP adalah pertama kali aku menghisap rokok. Dulu, sebelum berangkat ke sekolah aku selalu menyempatkan ke warung untuk membeli satu batang. Kadang juga saweran bersama teman-teman yang lain jika ingin membeli sebungkus. Ketika SMP, aku dan teman-teman merasa bahwa laki-laki sejati adalah seorang perokok. Meski masih memakai celana pendek warna biru tua, akan tampak keren jika di tangan terselip rokok yang masih menyala.


Kembali aku urungkan niat untuk menulis kisah pribadiku. Aku terlalu takut kalau nanti pembacaku yang masih SMP akan meniru perilaku burukku itu.


Aku mulai gelisah. Hari yang berat tanpa ide yang biasanya mengalir begitu saja. Jendela yang terbuka memberi ruang pada angin sore untuk masuk ke dalam kamarku. Siapa tahu ada inspirasi yang ikut terbang masuk kamar.


Aku berjalan mendekati jendela, ketika aku tahu masih belum ada ide yang sengaja masuk kamar. Aku melihat-lihat keluar jendela, karena ingin sekali melihat senja yang menjadi jembatan perubahaan waktu dari sore menjelma malam. Sambil berharap, barangkali ada ide atau sebaris kalimat awal yang nyangkut di pohon atau di parabola.


Segera aku tutup jendela rapat-rapat ketika hujan mulai turun. Aku kembali duduk di depan laptop untuk memulai menulis novel lagi. Aku mulai mengingat-ingat kisah SMA. Banyak kenangan yang aku ukir di sana. Mulai dari teman, penjaga kantin, satpam, guru, kepala sekolah dan cinta. Teringat masalah Cinta, aku langsung menoleh dan beranjak pada lemari di belakangku. Sepuluh foto mantan masih tersimpan rapi seperti barisan peserta upacara. Selembar demi selembar foto mantan ku pandangi sambil mengawang kejadian romantis dan terbodoh saat pacaran. Foto-Foto lima tahun lalu itu tak membuat wajah mereka bertambah tua. “Bagaimana ya kabar mereka?” Gumamku, sambil mengawang. Bagiku, setelah putus bukan berarti  bermusuhan. Menjaga silaturahmi adalah hal yang baik. Terbentuk senyum di bibirku ketika teringat hal-hal bodoh yang aku lakukan bersama mereka. Saat meminjam HP teman untuk menyatakan cinta lewat sms, saat kencan pertama kali di depan alfamart, bahkan aku masih mengingat pernah memberi kejutan mantan keduaku, sebuah tulisan namaku dan namanya yang semalaman aku tulis di tembok gedung kosong dekat rumahku.


Selembar demi selembar foto aku pandangi sekaligus membayangkannya. Di foto mantan ke enam, teringat saat pertama kali aku mengarang lagu. Lagu-lagu yang tercipta dari puisi-puisi yang di tulis olehnya. Foto ketujuh tidak begitu menarik, karena aku dan dia hanya pacaran satu hari. Pagi aku jadian, dan malamnya aku putus. Esoknya ketika di sekolah, aku tahu dari teman akrabnya bahwa ternyata aku dijadikan bahan taruhan. Mantanku yang ketujuh itu menebak bahwa aku akan menerima jika dia menembaknya. Sampai sekarang aku belum sempat mengucapkan selamat padanya atas kemenangan taruhan itu.


Berlembar-lembar ku pandangi lagi foto mantan-mantanku. Sampai di foto mantan yang kesepuluh, aku mencium keningnya. Dia adalah Rani, mantan ketika aku kelas 3 SMA.  Waktu itu, aku diputuskan karena dia dilarang pacaran oleh orang tuanya. Menurut Ayahnya, belajar menghadapi Ujian Nasional adalah kewajiban ketimbang menghadapi lelaki kurus sepertiku.
Soal-soal Ujian Nasional mungkin tidak semudah menjawab pertanyaan-pertanyaan perempuan. Tetapi, Ujian Nasional harus aku hadapi. Sebuah perjalan baru telah di buka pintunya. Belajar, belajar dan belajar, adalah tiga prinsip yang susah aku terapkan saat itu.

Setelah semalaman susah tidur, aku berangkat ke sekolah kesiangan. Hari pengumuman kelulusan telah tiba. Semua murid memasang wajah tegang di halaman sekolah. Pentas ludruk kelas ibu kota pun mungkin tidak bisa membuat kami tertawa ketika itu.

“Anak-anak, sudah tiga tahun kalian belajar disini. Suka duka pastilah akan menyelimuti kita semua. Bapak dan Ibu Guru mohon maaf bila pernah melakukan salah pada kalian. Hari ini, adalah hari perpisahan kalian dengan sekolah ini. Karena, siswa-siswi sekolah kita lulus seratrus persen.” Kami, langsung bersorak terharu menutup pengumuman dari bapak kepala sekolah.


Ketika acara makan-makan di wisuda SMA, Aku dan teman-teman tertawa karena meringkas cerita tiga tahun kebersamaan. Awa ku kemudian tersentak, ketika melihat Rani sedang berbisik pada Ayahnya yang duduk di kursi wali murid, sebelum kemudian dia mendekat menghampiriku. Dia begitu anggun dan cantik. Keringat dingin keluar dari setiap pori-pori kulitku. Aku mencoba bersikap biasa agar tidak terlihat terlalu gugup. Aku tersenyum ketika Rani perlahan menghampiriku sambil menata kalimat apa yang aku lemparkan pada Rani ketika dia berdiri di hadapanku. Rani menjabat tanganku untuk mengucapkan selamat, aku jemput tangannya yang putih dan mengatakan selamat atas nilai tertingginya di sekolah.


“Rani sangat cantik memakai kebaya warna merah jambu ini,” kataku dalam hati.
“Pasti, sekarang di dalam hatimu, kamu lagi bilang kalau aku cantik ya?” Rani menebak-nebak dan membuyarkan lamunanku.


“Bagaimana caranya dia membaca pikiranku?” Gumamku lagi. Aku usap keningku, barangkali ada sebaris kalimat itu yang tertulis di keningku, makanya dia tahu apa yang aku bicarakan dalam hati. Senyumnya begitu sempurna..


“Masih punya kewajiban untuk Ujian Nasional? Atau sekarang punya kewajiban baru untuk masuk perguruan tinggi?” tanyaku.
“Enggak kok, aku kan dapat beasiswa di Surabaya. Papa juga bilang, kalau sudah dapat perguruan tinggi, aku sudah boleh pacaran” Jawabnya sambil tersenyum malu menatapku.


Semua bagai kedipan mata, sejak saat itu, meski tidak ada kata-kata resmi seperti remaja kebanyakan, kami resmi pacaran lagi. Mungkin semua terlalu cepat. Tapi bagiku tidak. Karena aku dan Rani saling tahu, bahwa kami diam-diam masih saling mencintai.


Selesai aku menerawang foto-foto mantan, aku kembali duduk menghadap laptop yang sedari tadi menungguku. Tidak ada satu kalimatpun yang aku dapat. Kembali aku teringat Rani. Aku cari-cari file foto Rani bersamaku ketika wisuda di laptopku. Sangat menawan. Rani begitu cantik memakai kebaya merah dan aku mengimbanginya dengan jas hitam yang melekat di tubuhku. Kembali aku mencoba memulai menulis Novel.
“Kriiinggg..Kringggggg” tiba-tiba HPku berbunyi. Ternyata itu SMS dari Rani.
“Selamat hari bahagia sayang,
Nggak kerasa udah lima tahun kita kenal
Dan hari ini, adalah tanggal jadian kita.
Aku sudah nyiapin pesta kecil-kecilan
Aku tunggu di rumah ya, hati-hati di jalan.
Aku sayang kamu.”


Membaca pesan itu, aku langsung mengenakan jaket yang tergantung dekat pintu dan bergegas pergi ke rumah Rani. Dalam perjalan menuju rumah Rani, aku bertanya-tanya dalam hati, “Mungkin ini adalah novelku, novel yang tak pernah aku tulis sendiri. Novel yang belum atau bahkan tak kan pernah selesai.”


Sesampai di rumah Rani aku hanya membawa seikat bunga yang aku beli ketika perjalanan. Lama aku hanya berdiri di muka pintu. Pintu yang belum pernah aku sentuh. Selama pacaran, aku belum pernah masuk ke rumah Rani. Aku selalu menjemput di depan rumah, kalau akan pergi bersama Rani.


Ukiran angsa  yang menghiasi pintu rumah Rani, seakan menyemangatiku malam itu. Tiga kali aku mengetuk rumahnya. Tak lama, keluar seorang gadis yang sangat cantik dan memakai kebaya warna merah jambu. Entah kenapa dia selalu tahu apa yang aku pikir dan rasakan. Ya, Rani memakai kebayanya yang juga ia kenakan ketika wisuda.
“Hai sayang”, Sapanya memecah kekagumanku padanya.
“Hai, Selamat hari bahagia Angsa Merah Jambu”, kata-kata itu begitu saja keluar dari mulutku.


Angsa merah Jambu. Kata-kata itu persis dengan judul novel yang akan aku buat. Di laptop yang lupa tak aku matikan. Yah, memang hanya tertulis judul “Angsa Merah Jambu”. Mungkin Tuhan tahu, bahwa ini adalah awal pengembaraanku, awal cerita panjangku. Saat itu juga aku mengerti, bahwa tidak semua rasa bisa di tulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun