Mohon tunggu...
irfanafadya
irfanafadya Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Mahasiswa Ekonomi Kebijakan, yang mencoba melihat beberapa fenomena dari perspektif yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pulau Rempang dan Konflik Pelik Tidak Berkesudahan Atas Hak Kepemilikan Tanah

26 Desember 2024   09:55 Diperbarui: 26 Desember 2024   10:06 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Pulau Rempang. Sumber : batam.tribunnews.com 

Dari sudut pandang transaction cost economics, konflik ini memperlihatkan tingginya biaya transaksi yang tidak hanya bersifat finansial tetapi juga sosial dan politik. Proses negosiasi yang panjang, kurangnya transparansi, serta ketidakpercayaan antar pihak menciptakan hambatan signifikan dalam mencapai solusi yang adil. Terdapat beberapa aspek utama dari biaya transaksi yang dapat disoroti dari kasus ini. Biaya Informasi yang tinggi karena adanya ketidakpastian mengenai status tanah adat menimbulkan asimetri informasi yang akut antara pemerintah, masyarakat adat, dan investor. Pemerintah mengandalkan data formal seperti HPL, sementara masyarakat adat menggunakan klaim historis yang sulit divalidasi dalam kerangka hukum modern. Ketidaksesuaian data ini menciptakan miskomunikasi yang memperburuk konflik. Biaya Negosiasi terjadi ketika kasus ini menjadi semakin pelik dan tidak berkesudahan. Bahkan konflik terakhir masih terjadi pada 18 Desember 2024 antara pihak warga dengan PT MEG, hal ini mengindikasikan dialog yang tidak inklusif dan minim representasi masyarakat adat telah memperbesar kesenjangan antar pihak. Keputusan sering kali diambil secara sepihak, sehingga proses negosiasi menjadi panjang dan penuh resistensi. Dalam banyak kasus, masyarakat adat merasa tidak memiliki posisi tawar yang memadai karena tidak adanya pengakuan formal atas hak mereka. Biaya Pengawasan terjadi ketika implementasi relokasi masyrakat, memerlukan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dipenuhi. Namun, lemahnya mekanisme pengawasan menyebabkan munculnya oportunisme, baik di tingkat pelaksana maupun pemangku kepentingan lain, yang memperpanjang durasi konflik. Biaya Penegakan juga timbul, seperti penggunaan aparat keamanan untuk memaksa relokasi, menunjukkan lemahnya kapasitas institusi formal dalam menyelesaikan konflik secara damai. Hal ini tidak hanya meningkatkan ketegangan sosial tetapi juga memperburuk reputasi pemerintah di mata masyarakat lokal.

Menurut Coase (1960), pengurangan biaya transaksi memerlukan institusi yang mampu memberikan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih efisien dan legitimasi yang tinggi di mata semua pihak. Dalam kasus Rempang, institusi formal seperti BP Batam dan Badan Pertanahan Nasional, serta landasan hukum seperti Hak Pengelolaan Lahan (HPL), belum mampu memainkan peran tersebut secara optimal. HPL, yang seharusnya menjadi instrumen formal untuk memastikan kepastian hak atas tanah, justru menjadi sumber ketidakpastian karena kurangnya keterbukaan dan partisipasi masyarakat adat dalam proses pengelolaannya. Selain itu, kurangnya penggunaan teknologi seperti pemetaan berbasis GIS (Geographic Information System) untuk mendukung transparansi kepemilikan tanah menambah kompleksitas biaya informasi. Dengan membangun kepercayaan melalui dialog yang transparan, partisipasi aktif semua pihak, dan penegakan aturan yang adil, idealnya biaya transaksi dapat diminimalkan secara signifikan

Mencari Jalan Tengah

Konflik di Rempang menunjukkan perlunya pendekatan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis penghormatan terhadap hak-hak adat. Beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan adalah:

  1. Pengakuan Hak Tanah Adat: Pemerintah perlu mempercepat sertifikasi tanah adat untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat.
  2. Dialog Multipartit: Proses negosiasi harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah, dengan prinsip transparansi dan keadilan.
  3. Kompensasi yang Adil: Jika relokasi tidak dapat dihindari, perlu ada kompensasi yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan budaya.
  4. Integrasi Sistem Hukum Formal dan Hukum Adat: Perlunya pendekatan yang dapat mengintegrasikan kedua sistem hukum ini, baik formal maupun hukum adat yang berlaku di masyarakat. Hal ini dapat menjadi upaya mengurangi konflik dan peningkatan legitimasi hak milik formal.

Beberapa upaya tersebut dapat dilakukan dengan dilandaskan pada komunikasi dan informasi yang sebisa mungkin transparan. Edukasi terhadap masyarakat juga perlu dilakukan termasuk bagaimana proses mendapatkan hak milik, serta manfaat ekonomi dan perlindungan hukum atas kepemilikan hak formal tersebut.

Belajar dari Kasus Internasional

Kasus ini memiliki kemiripan dengan konflik tanah adat di negara lain seperti Brasil. Di Brasil, pemerintah memperkenalkan program Sertifikasi Tanah Adat (Indigenous Land Certification) yang memberikan pengakuan formal terhadap tanah adat, diiringi dengan perlindungan hukum melalui pengawasan independen untuk memastikan tanah tersebut tidak disalahgunakan. Menurut laporan dari Instituto Socioambiental (ISA), lebih dari 13% wilayah Brasil kini dilindungi sebagai tanah adat, yang melibatkan partisipasi aktif komunitas adat dalam pengelolaan sumber daya alam mereka. Selain itu, keterlibatan komunitas lokal dalam pengelolaan sumber daya memungkinkan pengembangan ekonomi berbasis komunitas, seperti ekowisata dan pengelolaan hutan berkelanjutan, yang menguntungkan masyarakat adat tanpa mengorbankan lingkungan (ISA, 2022). Pendekatan serupa dapat diterapkan di Rempang, misalnya dengan memberikan sertifikasi formal terhadap tanah adat di Pulau Rempang, disertai pembentukan lembaga mediasi independen yang dapat menjamin dialog transparan antara pemerintah, masyarakat adat, dan investor. Selain itu, integrasi pengelolaan berbasis komunitas, seperti ekowisata atau usaha kecil yang memberdayakan masyarakat lokal, dapat menjadi solusi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.

Penutup

Konflik tanah di Pulau Rempang adalah cerminan dari tantangan pembangunan modern yang harus berkompromi dengan nilai-nilai tradisional. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi kelembagaan, pemerintah dapat menciptakan kebijakan yang tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi juga menghormati hak-hak masyarakat adat. Sebab, pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika keadilan sosial menjadi fondasi utamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun