Konflik tanah di Pulau Rempang telah menjadi isu nasional yang memancing perhatian publik sejah tahun 2023 lalu. Masyarakat adat di sana menghadapi ancaman relokasi akibat rencana pembangunan Rempang Eco City, sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diharapkan dapat memberikan dampak (spillover effect) terhadap pertumbuhan ekonomi. Konflik ini telah berlangsung sejak awal 2023, ketika pemerintah mulai memperkenalkan proyek ini secara formal kepada masyarakat. Namun, ketegangan mulai meningkat ketika pada tahun 2022 investor, yaitu PT Makmur Elok Graha (PT MEG) melalui Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan pada tahun 2001-2002. Pelimpahan ini dilakukan tanpa adanya keterbukaan baik secara formal maupun informal, sehingga masyarakat adat tidak pernah diajak bermusyawarah. Langkah tiba-tiba ini memicu perlawanan masyarakat adat yang merasa hak atas tanah leluhur mereka diabaikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana ketidakjelasan hak atas tanah (property rights) dan tingginya biaya transaksi (transaction cost) memengaruhi dinamika konflik sosial dan ekonomi di Pulau Rempang?
Jejak Konflik dan Kepentingan Pembangunan
Pulau Rempang, bagian dari Kepulauan Riau, adalah rumah bagi 16 kampung adat yang telah dihuni selama puluhan tahun. Pemerintah, melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), berkolaborasi dengan PT MEG yang merupakan anak usaha Atha Graha, untuk membangun kawasan industri, perdagangan dan wisata terintegrasi dalam proyek Rempang Eco City seluas 165 kilometer persegi. Namun, masyarakat adat merasa terabaikan. Hak mereka atas tanah leluhur, yang tidak memiliki pengakuan formal, dianggap tidak sebanding dengan nilai ekonomi proyek tersebut.
Proyek Rempang Eco City, dengan investasi yang digadang mencapai Rp 381 triliun hingga 2080, menghadirkan klaim pemerintah bahwa pengembangan ini akan menciptakan 306.000 tenaga kerja hingga 2080 mendatang. Namun, masyarakat adat menilai langkah relokasi sebagai ancaman terhadap keberlanjutan warisan budaya dan sosial mereka. Benturan antara kebutuhan ekonomi modern dan hak tradisional ini menciptakan ketegangan yang kompleks.
Permasalahan di Pulau Rempang mencerminkan persoalan klasik tentang hubungan antara pembangunan ekonomi dan hak-hak masyarakat adat. Di satu sisi, pembangunan kawasan strategis dapat memberikan manfaat ekonomi jangka panjang bagi negara. Namun, di sisi lain, pengabaian terhadap hak-hak adat tidak hanya melanggar prinsip keadilan sosial, tetapi juga menimbulkan kerugian jangka panjang berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Penyelesaian sengketa ini membutuhkan pendekatan yang lebih inklusif, penghormatan terhadap hak adat, dan kebijakan yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan keadilan sosial.
Hak Kepemilikan dan Ketidakpastian Hukum
Dalam perspektif property rights, masalah utama konflik Rempang adalah ketidakjelasan hak atas tanah yang memicu ketegangan sosial dan ekonomi. Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan kepada PT MEG pada awal 2000-an mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang telah mendiami kawasan tersebut secara turun-temurun. Ketidakharmonisan ini menciptakan situasi di mana institusi formal, seperti HPL, tidak mampu menggantikan institusi informal yang telah berfungsi menjaga tatanan sosial selama puluhan tahun.
Menurut teori hak kepemilikan, kepastian hukum atas hak eksklusif terhadap suatu aset adalah fondasi penting untuk menciptakan efisiensi ekonomi dan mendorong investasi jangka panjang. Ketidakjelasan ini tidak hanya menciptakan risiko eksternalitas negatif berupa konflik sosial, tetapi juga mengurangi insentif untuk pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Pada kasus Pulau Rempang ini, kurangnya pengakuan formal terhadap hak masyarakat adat menciptakan ruang bagi oportunisme dan penggunaan sumber daya yang tidak optimal.
Demsetz (1967) menyoroti bahwa hak kepemilikan yang jelas dapat menginternalisasi eksternalitas negatif, seperti kerusakan lingkungan atau konflik sosial, dengan memberikan insentif kepada pemilik untuk mengelola sumber daya secara efisien. Dalam kasus Rempang, absennya pengakuan terhadap hak eksklusi masyarakat adat memperburuk situasi, di mana masyarakat kehilangan akses dan kontrol atas tanah leluhur mereka tanpa adanya mekanisme kompensasi yang adil. Kondisi ini memperlemah legitimasi proyek pembangunan dan menghambat terciptanya lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Demsetz (1967) juga menyatakan bahwa hak kepemilikan yang jelas dapat mendorong pengelolaan sumber daya yang lebih baik. Sayangnya, dalam kasus ini, masyarakat adat tidak memiliki pengakuan formal terhadap hak mereka, sehingga legitimasi proyek Rempang Eco City dipertanyakan. Hal ini tidak hanya mengurangi kepercayaan masyarakat tetapi juga meningkatkan resistensi sosial yang merugikan semua pihak.
Biaya Transaksi dan Kompleksitas Negosiasi