Hingga saat ini pendidikan dipandang sebagai "obat mujarab" dalam percepatan pembangunan ekonomi dan perbaikan taraf hidup masyarakat. Jika pembangunan dituntut untuk dapat dilakukan secara merata, pun demikian dengan pendidikan. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, termasuk para penyandang disabilitas dan difabel. Mereka memiliki hak untuk mengakses dan mendapatkan pendidikan mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) BPS tahun 2012, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tercatat sebanyak 6 juta jiwa. Sekitar 5 persen dari jumlah tersebut merupakan hanya bisa menyelesaikan pendidikan dasar. Bayangkan apa yang akan terjadi saat mereka masuk pasar kerja. Â Mereka minim akan bekal keahlian. Tak jarang mereka menjadi tidak mandiri, hingga akhirnya dapat berujung pada pengucilan.
Secara legal, pemerintah telah banyak menetapkan peraturan terkait penerapan pendidikan inklusif, utamanya di pendidikan tinggi. Dimulai dari Permendikbud No.46 tahun 2014 tentang pendidikan khusus dan layanan khusus, hingga Permenristekdikti No.44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan tinggi pada pasal 37. Upaya lain dari Pemerintah adalah, rencana pemberian beasiswa pada para penyandang disabilitas yang ada di perguruan tinggi. Pada sisi ini, Pemerintah telah menunjukkan keberpihakan kepada peserta didik penyandang disabilitas.
Upaya pemerintah harus didukung oleh institusi pendidikan tinggi. Sebagai bentuk implementasi UU No. 8 Tahun 2016 dan Permendikbud No.46 tahun 2014, saat ini tengah dilakukan pemetaan mahasiswa disabilitas di seluruh PTN dan PTS di Indonesia. Perguruan tinggi wajib memberikan data yang benar. Mengingat hingga saat ini data mahasiswa penyandang disabilitas sangat minim. Kurang akuratnya data dapat menghambat rencana aksi dan tindakan yang harus dilakukan.
Hal tersebut menjadi sangat penting. Pendidikan inklusif seharusnya dibangun berdasarkan aksesibilitas dan terintegrasi. Aksesibilitas harus diartikan secara luas. Infrastruktur dan gedung perkuliahan adalah salah satu bagian saja. Ada hal lain yang perlu untuk mendapat perhatian juga. Sebagai contoh, kemudahan informasi terkait pendaftaran, pilihan dan profil program studi juga merupakan salah satu aspek dari aksesibilitas. Media yang disediakan terkait dengan semua hal tersebut harus bisa diakses oleh penyandang disabilitas. Misal, dalam bentuk audio dan visual.
Lebih jauh lagi, materi perkuliahan. Perguruan tinggi seharusnya menyediakan materi perkuliahan yang bisa diakses oleh penyandang disabilitas. Tidak cukup sampai disitu. Para dosen pun juga harus dibekali kemampuan khusus untuk mengajar. Pendekatan pengajaran yang dilakukan tentunya berbeda. Â Bahkan mungkin diperlukan penyesuaian terhadap kurikulum yang diterapkan. Idealnya, ada unit khusus yang mengurus pelayanan terhadap penyandang disabilitas di perguruan tinggi. Semua hal tersebut harus dirancang secara terintegrasi dan tertuang dalam sistem penganggaran atau RAPB universitas. Tentu saja dengan dukungan dari pemerintah.
Sudah sepatutnya kita memberikan apa yang menjadi hak mereka.
Jangan sampai mereka melihat pendidikan sebagai sebuah kemewahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H