Sejarah panjang Indonesia dalam bidang migas dimulai sejak tahun 1885. Pada saat itu cadangan minyak ditemukan di Sumatra Utara. Seiring berjalannya waktu, Indonesia kian eksis dalam dunia perminyakan sebagai eksportir ketika bergabung dengan OPEC. Namun pada tahun 2008, keanggotaan Indonesia dalam OPEC berakhir. Pertumbuhan permintaan akan energi disertai penurunan produksi dan minimnya investasi menjadi penyebab utama.
sumber: pwc report
Saat ini negara kita sedang dalam tahap perubahan orientasi produksi energi. Perubahan dari pemenuhan ekspor menjadi pemenuhan kebutuhan konsumsi energi dalam negeri. Sebagai mantan anggota organisasi negara-negara ekportir minyak bumi (OPEC) dan salah satu negara dengan penduduk terpadat di Asia Tenggara, Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan pengelolaan energi migas. Berkah berupa sumberdaya alam berupa minyak dan gas diharapkan menjadi adalan penghasil devisa serta pemasok kebutuhan dalam negeri.
Menurut laporan EIA tahun 2014, Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar pada tahun 2012 dan eksportir liquid natural gas (LNG) terbesar keempat pada tahun 2013. Sedangkan total konsumsi energi primer Indonesia secara total tumbuh sebesar 44% pada tahun 2002 dan 2012. Sementara itu, konsumsi batu bara hampir tiga kali lipat dan melampaui gas alam sebagai bahan bakar kedua yang paling banyak dikonsumsi.
Sebetulnya potensi sumber daya migas di Indonesia bisa dikatakan masih cukup untuk dikembangkan. Dikatakan cukup besar karena kita harus melihatnya secara keseluruhan dan bukan per satuan lokasi. Menurut data dari materi Kompasiana – SKKMigas, kawasan Indonesia Timur relatif belum optimal pengembangannya. Sedangkan sebagian besar cadangan migas lepas pantai (offshore) berlokasi di sekitar Papua, Maluku, Halmahera, Nusa Tenggara hingga Kalimantan Timur (Mahakam).
Menurut sumber tradingeconomics, masalah yang sedang negara kita hadapi adalah penurunan produksi minyak yang cukup signifikan, sedangkan penemuan cadangan dan lahan baru pun tidak mengalami kemajuan. Kondisi ini diperparah dengan penuaan infrastruktur, minimnya investasi karena birokrasi dan ketidakjelasan hukum. Namun demikian laju pengurasan minyak yang notabene merupakan salah satu sumber penerimaan negara tetap berjalan.
Kondisi konsumsi BBM dalam 8 tahun terakhir menunjukkan kenaikan sebesar 4.8% per tahun. Sementara itu dengan peningkatan jumlah penduduk, membaiknya kondisi ekonomi Indonesia maka konsumsi energi dalam negeri terus meningkat. Sektor transportasi menjadi pengguna terbanyak konsumsi BBM disusul rumah tangga, pembangkit listrik dan industri. Penyebaran permintaan BBM dapat ditebak wilayahnya, kemungkinan terbesar adalah di Jawa, Bali kemudian Indonesia Timur.
Peningkatan konsumsi energi yang sangat tinggi mengharuskan negara kita untuk segera melakukan beberapa hal diantaranya:
1. Meningkatkan rasio cadangan terhadap produksi migas dengan cara mendapatkan cadangan migas baru (new reserves) atau melakukan pencarian lahan baru (greenfields) guna melengkapi cadangan baru. Seperti yang telah diulas sebelumnya bahwa Indonesia memiliki cadangan minyak yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Cadangan minyak tersebut dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu possible (diyakini ada namun belum ditemukan),probable (diyakini ada dan sudah ditemukan lokasinya), proven (terbukti keberadaannya melalui studi dan dapat dieksplorasi). Namun kendala yang sering ditemui lapangan diantaranya; fasilitas rig pengeboran, perizinan, pembebasan lahan, dan yang paling penting adalah penguasaan teknologi tingkat tinggi agar mampu meningkatkan peringkat kelompokpossible menjadi proven.
2. Mengelola SDA Migas. Berbicara SDA migas tentu saja berkaitan dengan potensi migas Indonesia yang sifatnya given. Negara kita telah dikaruniai banyak potensi migas, tinggal bagaimana kita mengoptimalkan potensi tersebut secara berkelanjutan. Aspek yang bisa kita sentuh dalam rangka mengoptimalkan potensi migas adalah pengembangan industri pengolah utamanya pengembangan industri (hulu) migas. Mungkin kita harus belajar tentang pengelolaan dana hasil migas dengan saudara muda kita, Timor Leste. Saudara muda kita ini membuat Undang-Undang Dana Migas tahun 2015 dengan tujuan untuk memberikan kontribusi dari sumber daya migas untuk kepentingan generasi saat ini dan masa depan. Penerimaan migas sebesar 20% mereka masukkan dalam anggaran dan pendapatan negara. Sedangkan 80% sisanya digunakan untuk investasi pada generasi berikutnya.
Indonesia seharusnya mengadopsi sistem ini, misalkan 25% masuk dalam APBN sedangkan 35% nya digunakan untuk pengembangan sektor hulu (membiayai proyek, investasi teknologi) dan sisanya 40% lagi digunakan untuk investasi bagi generasi muda Indonesia (investasi SDM). Pengembangan sektor hulu sangat mendesak untuk dilakukan. Saat ini perusahaan minyak internasional terutama Chevron dan Total mendominasi sektor hulu minyak di Indonesia. Chevron sendiri memiliki tiga perusahaan teknologi yang mendukungcore bisnisnya, diantaranya ada Chevron Energy Technology Company, Chevron Information Technology Company dan Chevron Technology Ventures. Ketiganya bersinergi memberikan dukungan teknologi, data, jaringan yang digunakan sebagai dasar menentukan strategis bisnis.
Bagaimana dengan perusahaan migas kita?
Perusahaan energi milik negara dan utamanya BUMD harus dikembangkan untuk dapat merebut dominasi perusahaan asing tersebut. Blok Mahakam misalnya, cadangan migas lepas pantai (offshore) berlokasi di Kalimantan Timur ini dikelola oleh Total sejak tahun 1970. Kita harus dapat mengelolanya secara mandiri, tentu saja disertai dengan persiapan dibidang investasi teknologi dan SDM. Investasi teknologi dan SDM yang mendukung pengembangan sektor hulu migas secara tidak langsung merupakan bagian dari proses pengembangan industri migas Indonesia. (irf)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H