Politik Regional dan Penguatan Zakat Daerah***
Irfan Syauqi Beik**
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pembangunan zakat daerah adalah kondisi politik yang terjadi di daerah tersebut. Konstelasi dan konfigurasi politik regional selama ini telah banyak memberikan warna dan dinamika dalam sejarah pengelolaan zakat di Indonesia. Terkadang memberikan dampak positif, namun di sisi lain dapat pula memberikan dampak negatif. Pada kenyataannya, kondisi politik regional ini sangat ditentukan oleh komitmen, dukungan, dan perilaku politik yang ditunjukkan oleh kepala daerah dan DPRD setempat.
Fakta menunjukkan, ketika dukungan kepala daerah dan DPRD sangat kuat, maka pembangunan zakat akan terakselerasi dengan baik. Terjadi peningkatan jumlah zakat yang berhasil dihimpun dan peningkatan ‘coverage’ penyaluran zakat, baik dari sisi jumlah mustahik maupun cakupan wilayah penyalurannya. Sebaliknya, lemahnya dukungan kepala daerah dan DPRD akan berdampak pada lemahnya institusi zakat yang ada, sehingga potensi instrumen zakat menjadi tidak optimal. Kondisi ini mengakibatkan ketidakseragaman kinerja pengelolaan zakat di daerah, baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.
Untuk itu, di era pengelolaan zakat yang berbasiskan UU No 23/2011 ini, perlu dilakukan komunikasi politik yang efektif dengan para pemimpin di daerah, agar tercipta kondisi politik regional yang mendukung pembangunan zakat. Komunikasi ini harus dititikberatkan pada dua aspek utama. Pertama, aspek manfaat atau benefit terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat jika zakat ini dikelola dengan baik. Kedua, aspek regulasi atau perundang-undangan, dimana setiap daerah dituntut untuk melaksanakan segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara ini tanpa kecuali.
Terkait dengan aspek manfaat, para aktor politik di daerah harus dapat diyakinkan bahwa dana zakat merupakan instrumen yang memiliki potensi yang sangat besar, yang bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat, di samping memanfaatkan sumber dana yang berasal dari APBD. Zakat dapat menjadi instrumen komplementer yang bermanfaat dalam meningkatkan kualitas pembangunan di daerah. Sehingga, daerah tidak hanya bergantung pada dana alokasi dari pusat maupun PAD (Pendapatan Asli Daerah) semata, tapi juga bisa memanfaatkan dana zakat yang ada di masyarakat.
Selama ini, budaya yang telah berkembang selama ratusan tahun di masyarakat sejak zaman penjajahan adalah budaya dimana zakat selalu dikelola oleh institusi non-formal yang ada di masyarakat, seperti mesjid, pondok pesantren, majelis taklim, dan bahkan bergantung pada figur ulama atau tokoh setempat. Karena itu, dibutuhkan pendekatan yang bersifat persuasif dan edukatif terhadap masyarakat, agar dana zakat yang selama ini tersebar di banyak tempat, bisa dikonsolidasikan dengan baik oleh BAZNAS daerah, sehingga efek multipliernya menjadi lebih besar, tanpa harus menghilangkan kearifan lokal dan peran para pemimpin informal masyarakat selama ini. Proses ini akan berjalan lebih efektif ketika para kepala daerah, dengan didukung pihak DPRD, ikut terlibat aktif di dalamnya.
Sedangkan terkait dengan regulasi, komunikasi politik yang efektif perlu dilakukan agar suatu daerah tidak menghasilkan peraturan daerah yang bertolak belakang dengan aturan di tingkat nasional. Atau jangan sampai kepala daerah melakukan sesuatu yang kontra produktif dengan arah kebijakan pembangunan zakat nasional. Sebagai contoh, jika ada kepala daerah yang tidak mendukung BAZNAS provinsi atau kabupaten/kota karena alasan tertentu, dan lebih memilih untuk melakukan penghimpunan dan penyaluran zakat melalui pejabat struktural yang berada di bawah kendalinya secara langsung, maka dipastikan pembangunan zakat akan terhambat.
Hambatan ini terjadi terutama dari sisi penyaluran, karena biasanya pejabat yang bersangkutan tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendesain program pendistribusian dan pendayagunaan zakat secara tepat dan sesuai syariah. Secara hukum, tindakan seperti ini juga melanggar undang-undang yang ada. Oleh karena itu, agar kondisi seperti ini bisa diminimalisir, maka komunikasi politik yang strategis dan efektif, menjadi pilar penting yang perlu mendapat perhatian kita semua. Wallahu a’lam.
***Artikel di atas telah dimuat di harian Media Indonesia edisi 24 Februari 2014
**Penulis adalah Staf Ahli BAZNAS dan Kaprodi Ekonomi Syariah FEM IPB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H