Setiap 16 Juni, ribuan PRT dan aktivis buruh diseluruh Dunia memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional ‘International Domestic Work Day’. Hari tersebut merupakan puncak perjuangan panjang para PRT dari seluruh Dunia yang menuntut pengakuan dan hak-hak sebagai Pekerja sesuai standar Internasional. Pada Konferensi Ketenagakerjaan yang ke-100 di Jenewa, tepatnya 16 Juni 2011, puluhan PRT yang mewakili jutaan PRT diseluruh Dunia bersorak di tribun ruang konferensi saat didaposinya Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak bagi pekerja Rumah oleh 183 Negara Anggota ILO yang diwakili masing-masing oleh Pemerintah, Pengusaha dan Serikat pekerja/Buruh.
Lahirnya konvensi 189 tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi kerja dari 52,6 juta PRT di seluruh Dunia yang tidak mendapatkan pengakuan dan hak-hak dasar sebagai pekerja. Mereka tidak terdaftar dan bekerja dalam wilayah tersembunyi (privat) sehingga sulit mendapatkan perlindungan dan pengawasan terkait standar dan norma kerja. Konvensi ini mengamanatkan kepada Negara anggota untuk segera menyusun Peraturan tentang pelaksanaan kerja layak bagi sektor Pekerjaan Rumah Tangga.
Dalam sambutan pembukaan Konferensi tersebut, Presiden ke-6 ‘Soesilo Bambang Yudhoyono’ menyampaikan pidato resmi dan salah satu cuplikan adalah ‘Saya percaya bahwa Konvensi ini dapat memberikan panduan kepada pemerintah pengirim dan penerima untuk melindungi pekerja rumah tangga migran. [...] Para pekerja rumah tangga yang bekerja di Negara mereka sendiri juga harus diberikan perlindungan yang sama. Dengan demikian, Konvensi ini akan membantu kita merumuskan peraturan perundang-undangan dan peraturan nasional yang efektif untuk tujuan tersebut’.
Di Indonesia sendiri, sudah lebih dari 11 tahun Rancanagn Undang-Undang (RUU) Perlindungan PRT dibahas oleh DPR dan masuk pada Program Legislasi nasional (Prolegnas 2012-2014), namun pada Prolegnas 2015, RUU tersebut dikeluarkan dengan alasan skala prioritas. Ditataran Kementrian Ketenagakerjaan, diakui bahwa PRT perlu diberikan perlindungan tetapi masih merasa belum siap untuk mengatur sektor pekerjaan informal seperti PRT ini, sehingga tidak termasuk dalam UU Ketenagakerjaan No.13/2003. Meski Peraturan Menteri No.2/2015 menyebutkan perlindungan PRT tetapi isinya masih jauh dari nilai-nilai yang diamanatkan didalam Konvensi ILO-189.
Dengan masuknya Indonesia sebagai Negara berpenghasilan menengah, diakui atau tidak, keberadaan PRT sangat dibutuhkan dan strategis. Para majikan tidak akan bisa leluasa berkarir diluar rumah, seandainya masih harus melakukan pekerjaan Rumah tangga, terutama para istri yang berkarir diluar rumah. Peran PRT merupakan kompromi dari fungsi istri sebagai ibu rumah tangga dan istri dalam membantu ekonomi keluarga. Meski tidak langsung, PRT juga berkontribusi dalam Pembangunan Nasional melalui peningkatan pendapatan keluarga majikan dan peningkatan pajak penghasilan karena keleluasaan berkarir diluar Rumah tersebut.
Salah satu yang disoroti dalam konvensi 189 adalah standar upah. Pemerintah harus menetapkan standar upah bagi PRT yang bekerja didalam Negeri, minimal sesuai dengan kebutuhan hidup layak. Upah layak bagi PRT merupakan hal yang wajar, karena mereka bekerja untuk menghidupi keluarga dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Upah layak semestinya tidak dianggap sebagai beban tetapi sebagai upaya meningkatkan roda perekonomian Lokal/Nasional. Bisa dibayangkan seandainya PRT mendapatkan upah layak, daya beli mereka semakin besar, dan akibatnya produksi dalam Negeri akan terserap dengan baik.
Standar kondisi kerja lain yang disoroti dalam Konvensi tersebut adalah Jam kerja, istirahat dan cuti berbayar, perlindungan sosial, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan kebebasan berserikat serta perlindungan khusus bagi PRT yang tinggal dirumah majikan (live-in), PRT Anak dan PRT sebagai buruh Migran.
Terkait buruh Migran, Sudah semestinya Negara memberikan perlindungan lebih dulu kepada PRT yang bekerja didalam Negeri sebelum berbicara tentang perlindungan PRT yang bekerja sebagai buruh Migran (sekitar 80% buruh Migran bekerja sebagai PRT). Ketika PRT yang bekerja didalam Negeri sudah terlindungi dan memiliki standar upah dan kesejahteraan, maka Pemerintah akan mempunyai posisi tawar yang lebih baik kepada Negara Penerima TKI terhadap perlindungan PRT-nya.
Pekerjaan yang layak merupakan aspirasi masyarakat yang memberikan peluang memperoleh pekerjaan produktif dan memperoleh penghasilan yang adil, keamanan ditempat kerja dan perlindungan social bagi keluarganya. Konsep kerja layak perlu diperluas untuk mencakup sector informal termasuk PRT, dan berkontribusi mengatasi pengangguran di Indonesia. Bisa dibayangkan seandainya Pekerjaan Rumah Tangga diakui sebagi sebuah profesi pekerjaan, maka jutaan tenaga kerja akan terserap dan tersalurkan dengan baik, dan pada akhirnya PRT tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan rendahan.
Cukup aneh rasanya, jika masih ada pihak-pihak yang merasa belum siap untuk merealisasikan kerja layak bagi PRT setelah 70 tahun Indonesia Merdeka. Budaya lokal atau kekeluargaan masih menjadi alasan utama untuk menghindar dari zona nyaman selama ini. Padahal amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 2 dengan jelas menyatakan bahwa ‘Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ dan sila ke-5 Pancasila ‘Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk PRT tentunya. Pasal dan Sila tersebut hanya slogan yang menarik untuk bahan diskusi tetapi minim implementasi.
Selamat memperingati Hari PRT Internasional dan semoga cita-cita kerja layak bagi PRT dapat segera terwujud....!!!