Perubahan iklim adalah tantangan global yang membutuhkan tindakan nyata dari berbagai sektor, termasuk sektor perkebunan. Sebagai salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar, Indonesia berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE). Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memainkan peran penting dalam mendukung pencapaian target ini dengan mengembangkan energi terbarukan dari sumber kelapa sawit.
Indonesia telah menetapkan target Nationally Determined Contribution (NDC) yang diperbarui untuk menangani perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 31,9% pada tahun 2030 dalam skenario business as usual melalui upaya mandiri, dan sebesar 43,2% dengan dukungan internasional. Selain itu, Indonesia berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Merujuk pandangan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang disampaikan dalam berbagai kesempatan: "Indonesia memiliki komitmen kuat untuk mencapai target net zero emission pada 2060, dan kelapa sawit adalah sektor yang sangat potensial dalam mendukung pencapaian ini melalui hilirisasi dan pemanfaatan biomassa secara berkelanjutan".
Indonesia optimis dapat mencapai nol emisi karbon (net zero emission) pada tahun 2060 atau lebih awal. Industri kelapa sawit di negara ini dianggap siap untuk memenuhi target tersebut. Pemerintah sedang mendorong penggunaan bensin sawit (Bensa) sebagai langkah untuk mempercepat pengurangan emisi karbon atau CO2. Indonesia menargetkan penurunan CO2 sebesar 358 juta ton pada tahun 2030, dengan tujuan mencapai nol emisi karbon pada 2060 atau bahkan lebih cepat.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencapai target net zero emission pada industri kelapa sawit di Indonesia, yaitu:
Pengolahan limbah kelapa sawit
Limbah sawit yang dianggap tidak berharga dapat diolah menjadi bahan baku bernilai tinggi, seperti bioethanol, asam organik, dan berbagai bahan kimia. Dalam pernyataan tertulis pada Rabu (11/9/2024), Putu Juli Ardika, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, menjelaskan bahwa "pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit melalui teknologi enzimatik memungkinkan pengubahan limbah ini menjadi bahan baku bernilai tinggi, seperti bioethanol, asam organik, dan berbagai bahan kimia yang dapat menggantikan impor."
Hilirisasi industri kelapa sawit
Pemerintah memiliki visi agar industri sawit Indonesia dapat menjadi produsen sawit terbesar dan mendorong hilirisasi atau pengembangan produk turunannya. Dengan mengolah limbah menjadi produk yang berguna, industri kelapa sawit dapat meminimalkan jejak karbonnya. "Roadmap hilirisasi telah disiapkan, antara lain yaitu peningkatan produktivitas, penunjang kegiatan hilir seperti oleofood, oleokimia dan biofuel, penciptaan ekosistem, tata kelola, capacity building dan pengembangan teknologi untuk pengembangan usaha kelapa sawit. Hal ini dilakukan agar kita bisa menjadi penentu harga ataupun price center bagi CPO global," jelas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Webinar dengan tema "Urgensi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk Mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional", yang diselenggarakan oleh The Iconomics.
Pemanfaatan kelapa sawit sebagai energi biomassa
Kelapa sawit menjadi salah satu alternatif bagi perusahaan perkebunan di Indonesia sebagai sumber energi biomassa. Proses operasional perkebunan sawit dan pengolahan minyak sawit mentah (CPO) biasanya menghasilkan biomassa, yang sering dianggap sebagai limbah industri sawit. Keberadaan biomassa ini sering kali menimbulkan masalah jika dibuang atau dibiarkan begitu saja. Namun, sebenarnya, biomassa sawit dapat memberikan manfaat untuk berbagai keperluan, seperti diolah menjadi bahan bakar ramah lingkungan, termasuk untuk pembangkit listrik.
Selain itu, BPDPKS turut berkontribusi terhadap penerimaan negara, menjadikannya sebagai aktor kunci dalam pembangunan berkelanjutan. Menurut Setiadi, nilai ekonomi sektor kelapa sawit dari hulu hingga hilir di tingkat nasional mencapai lebih dari Rp.750 triliun per tahun, setara dengan 3,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional yang diperkirakan mencapai Rp.20.892 triliun pada tahun 2023.
Dari anggaran yang telah dikumpulkan oleh BPDPKS, dana tersebut dikelola untuk berbagai pengeluaran. Sebagian besar dari pengeluaran ini dialokasikan untuk insentif biodiesel, yaitu sebesar Rp.110,03 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk menyalurkan 33,05 juta kiloliter biodiesel, yang bertujuan untuk menjaga stabilitas harga CPO, mendukung kemandirian energi, dan mengurangi emisi. Selain itu, anggaran juga dialokasikan untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR) sebesar Rp.6,59 triliun, dengan hasil dari pengeluaran ini berupa dukungan untuk 242,5 ribu hektar lahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H