Raditya, putra Tumenggung Jaya Lengkara pergi berburu di hutan ditemani sahabatnya, Umyang. Mereka kemalaman di jalan, lalu menginap di desa terdekat, Desa Jatisari, di rumah Ki Lurah. Di sinilah, Raditya bertemu dengan Sekar Kinanti, putri cantik Ki Lurah, dan jatuh hati pada pandangan pertama. Sepertinya begitu juga dengan Sekar Kinanti.
Ketika sedang mencuci kakinya yang kotor kena lumpu di sungai, Raditya begitu juga Umyang menjerit kaget. Mereka merasakan air sungai yang panas. Raditya juga melihat banyak pepohonan yang kering dan meranggas. Suasana pun senyap mencekam, seperi menyiratkan akan datangnya sebuah bencana.
Beberapa hari kemudian ketika mereka datang lagi ke hutan itu, Raditya melihat banyak hewan berlarian turun. Terdengar juga suara gemuruh dari perut bumi. Raditya dan Umyang pun segera memacu kudanya menjauhi hutan dan desa Jatisari yang sudah seperti desa mati karena ditinggalkan penduduknya. Ternyata seluruh warga desa Jatisari sudah disuruh mengungsi oleh Ki Lurah karena ada tanda-tanda Gunung Merapi akan meletus. Raditya lalu menawarkan diri untuk jadi relawan bagi para pengungsi. Di tempat pengungsian inilah cintanya bersemi dengan Sekar Kinanti. Raditya pun menikah dengan Sekar Kinanti, hal yang membuat kedua orangtuanya murka.
Penggalan cerita di atas adalah sinopsis dari sandiwara radio genre roman sejarah berjudul “Asmara di Tengah Bencana” besutan maestro sandiwara radio S. Tidjab. Sandiwara radio ini terobosan baru di tahun 2016 dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) sebagai sosialisasi siaga bencana alam. Diharapkan sandiwara radio ini menjadi alat yang tepat untuk menyampaikn edukasi tentang bencana dan dapat menjangkau ke pelosok daerah yang memang rentan terkena bencana alam.
Wow! Itu reaksi spontan saya ketika mengetahui program terbaru dari BNPB. Benar-benar tidak terbayangkan, suatu program yang kalau menurut saya out of the box. Kreatif sekali. Mengedukasi masyarakat melalui tayangan kreatif. Dulu, beberapa instasi pemerintah pun pernah melakukan hal yang serupa. Melalui media sinetron, beberapa Kementerian menyampaikan pesan-pesan kerjanya. Kementerian Kesehatan lewat sinetron “Dokter Sartika”, lalu Kementerian Transmigrasi lewat sinetron “Tembang Padang Ilalang’ yang masing-masing sinetron sangat hits di zamannya (yang nulis ketahuan angkatan tuwir ini, hehehe….).
Negeri Rawan Bencana yang Belum Tanggap Bencana
Ada beberapa faktor alam yang menyebabkan Indonesia sebagai daerah rawan bencana. Sebagai daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar (lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasific), Indonesia berada di atas jalur gempa. Negeri kita tercinta ini juga mempunyai banyak gunung merapi. Iklimnya yang tropis juga menyebabkan banyak tanah yang tidak stabil akibatnya sering longsor.
Selain faktor alam, faktor non alam juga berpengaruh besar. Jumlah penduduk yang padat terutama di Pulau Jawa dan Sumatera sehingga banyak masyarakat tinggal di daerah-daerah rawan gempa. Infrastruktur yang dibangun pun tidak disesuaikan dengan kondisi alam ini. Begitu juga bangunan rumah dan gedung-gedung publiknya.
Hal ini sesuai dengan pemaparan DR. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si.,APU, Kapusdatin Humas BNPB, masyarakat Indonesia secara umum masih belum siap menghadapi bencana. Berdasarkan 3 penelitian/kajian mengenai tingkat kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana ternyata hasilnya menunjukkan bahwa pengetahuan kebencanaan meningkat. Tetapi pengetahuan ini belum menjadi sikap, perilaku dan budaya yang mengkaitkan kehidupannya dengan mitigasi bencana.
Contohnya, setelah 10 tahun bencana tsunami Aceh, pemukiman kembali dibangun di lokasi bencana. Begitu juga banyak pemukiman yang dibangun di tebing dan lereng perbukitan yang rawan longsor.