Secara umum, pendidikan adalah wadah pembelajaran akan pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan bagi sekelompok orang yang biasanya diturunkan dari suatu generasi ke generasi berikutnya melalui metode pengajaran, pelatihan, dan juga penelitian. Pendidikan sendiri dapat dilakukan dan dapat terjadi di bawah atau dalam bimbingan orang lain. akan tetapi, pendidikan juga memiliki kemungkinan untuk dapat dilakukan secara otodidak.
Â
Seperti yang diketahui, bahwa pendidikan adalah tempat atau wadah untuk membentuk citra diri agar dapat berkembang seluruh potensi dirinya. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah tempat atau wadah untuk mengembangkan seluruh potensi diri yang ada pada diri manusia.
Â
Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa secara umum, pendidikan itu tidaklah hanya terbatas pada materi pelajaran saja, melainkan mencakup seluruh aspek yang memiliki keterkaitan dengan potensi diri manusia dalam hal pengembangan.
Â
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan berasal dari kata 'didik' yang artinya adalah memelihara dan memberi latihan. Jika diartikan, maksud daripada dasar kata ini adalah bahwa peran pendidikan itu adalah memberi latihan kepada peserta didiknya atau pelaku yang dididik. Dengan kata lain, pendidikan merupakan suatu wadah untuk dapat merubah sikap dan tingkah laku seseorang dengan tujuan mendewasakan individual tau kelompok melalui suatu pengajaran atau pelatihan.
Â
Secara khusus, pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan juga pendidikan informal. Jalur pendidikan formal sendiri berarti jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang. Di Indonesia sendiri, biasanya pendidikan formal terbagi menjadi pendidikan dasar (yang biasanya berupa Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah, atau yang sederajat lainnya), pendidikan menengah (yang terbagi menjadi dua, yaitu sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas), dan pendidikan tinggi (pendidikan tinggi adalah pendidikan yang diselenggarakan perguruan tinggi). Jalur pendidikan tinggi itu biasanya adalah pendidikan di perguruan tingg yang diatur oleh pendidikan tinggi, seperti contohnya program diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor. Jalur pendidikan formal bersifat wajib di Indonesia, sekurang-kurangnya adalah selama sembilan tahun.
Â
Pada jalur pendidikan nonformal, yaitu jalur pendidikan yang berada di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar sistem persekolahan dan merupakan aktivitas belajar pula. Contoh dari pendidikan nonformal adalah lembaga les, dan bersifat fleksibel karena menyesuaikan kebutuhan konsumennya. Pendidikan nonformalpun bersifat tidak wajib, dan hanya diikuti oleh sebagian kelompok masyarakat yang minat dan menginginkannya. Contoh lain lembaga pendidikan nonormal lainnya adalah TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) yang biasanya diikuti oleh anak-anak yang akan belajar Quran. Ini juga termasuk kepada pendidikan kesetaraan yang meliputi Paket A, Paket B, dan Paket C. Begitu pula dengan pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Â
Adapun jenis pendidikan lainnya yaitu pendidikan informal. Pendidikan informal sendiri dapat diartikan sebagai jalur pendidikan yang berasal dari keluarga dan lingkungan tertentu, pada kegiatan belajar yang memengaruhi individu dan dilaksanakan dengan tanggung jawab. Dengan kata lain, maka pendidikan informal ini didapatkan sejak lahir hingga nanti menutup usia, baik dari keluarga, maupun dari lingkungan dan pergaulan sehari-hari. Dalam pendidikan informal, tidak ada syarat khusus yang berlaku, karena tidak ada ujian yang harus diikuti dalam menjalaninya. Dengan kata lain, maka tidak ada hal pasti yang dapat diujikan, karena tidak adanya kurikulum yang berlaku dan tidak adanya jenjang pendidikan atau tingkatan pendidikan dalam pendidikan inormal ini. Oleh karena itu, pendidikan inormal tidak dibatasi oleh ruang dan juga waktu.
Berdasarkan penjabaran diatas, maka dapat dinyatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang penting untuk dilakukan bagi kehidupan bermasyarakat. Pendidikan berperan penting karena dengan pendidikan, seseorang mampu mengaktualisasikan dirinya dan memberikan kemajuan berpikir umat manusia. Hal inilah yang dapat mengangkat derajat maupun tara hidup manusia itu sendiri. Pendidikan sendiri memegang peran yang penting pula dalam upaya peningkatan sumber daya manusia dan membawanya menuju arah yang lebih baik. Pendidikan diharapkan dapat membantu umat manusia untuk dapat membentuk individu ataupun peserta didik yang dapat mengembangakan sikap, keterampilan, dan kecerdasan intelektual yang baik, sehingga diharapkan akan menjadi manusia yang terampil, cerdas, serta memiliki akhlak yang mulia. Dengan kata lain, pendidikan merupakan modal bagi masa depan manusia. Oleh karena itu, sesuai dengan perkembangannya zaman, maka pendidikan berubah menjadi sebuah sistem.
Â
Di Indonesia sendiri, pendidikan tentu mengalami perubahan, terutama ketika melihat pendidikan pada zaman sekarang yang sangatlah jauh dengan pendidikan pada zaman dulu, baik dalam segi tujuan sekolahnya, akses pengajarannya, sumber mendapatkan informasi, kurikulum acuannya, maupun sarana prasarana dan alat bantu belajarnya.
Â
Pada zaman dulu, akses untuk belajar di sekolah bagi para siswa sangatlah terbatas. Selain itu, mencari tenaga pengajar yang memiliki kredibilitas yang baik juga dikatakan cukup sulit. Berbeda pada zaman sekarang yang terasa mudah untuk mencari akses belajar.
Â
Setiap siswa tentu pasti memerlukan sumber informasi sebagai media guna mendukungnya dalam proses pembelajaran. Jika pada zaman dulu kesempatan untuk mendapatkan akses dan referensi tambahan sebagai media untuk belajar dan menambah ilmu (karena dulou media informasi hanya ada dari koran dan buku bacaan), maka pada zaman sekarang, untuk mencari ilmu, diperkuat dengan adanya internet yang dapat diakses dengan mudah, tidak terbatas ruang dan waktu.
Â
Perbedaan dalam tujuan bersekolah pada zaman dulu dan pada zaman sekarang juga dapat dirasakan. Pada zaman dulu, para orang tua menyekolahkan anak-anaknya dengan dasar dan tujuan untuk dapat mempelajari ilmu yang belum diketahui dan membentuk karakter dari para peserta didik untuk dapat bertanggung jawab, sopan dan santun, menjaga kedisiplinan, dan semangat dalam belajar, agar kedepannya, para peserta didik dapat membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk untuk dirinya sendiri.
Â
Namun, seiring berkembangnya zaman, nilai-nilai yang membentuk kepribadian dan sikap seorang individual itu memudar. Tujuan-tujuan pendidikan yang ada seperti sedia kala, kini seperti bukanlah hal yang utama daripada tujuan pendidikan itu sendiri. Berbeda dengan zaman dulu, pendidikan pada zaman sekarang, kebanyakan para pelajar justru hanya mementingkan nilai yang tercantum pada rapor, hasil tugas, dan ulangan tanpa tahu apa sebenarnya tujuan adanya pendidikan. Kebanyakan, peserta didik pada zaman sekarang, menganggap bahwa nilai-nilai akademis adalah media sebagai tolak ukur suatu keberhasilan.
Â
Banyaknya para pelajar yang lebih mementingkan nilai dibandingkan sebuah kejujuran. Biasanya, timbulnya permasalahan bahwa pelajar lebih mementingkan nilai akademis semata daripada kejujuran dari usaha yang dijalani karena adanya tuntutan dari orang tua kepada para pelajar untuk dapat menguasai seluruh bidang dalam pelajaran. Tidak hanya itu, kadang pula terdapat beberapa guru yang hanya akan memuji dan memerhatikan beberapa peserta didik yang mendapatkan nilai yang bagus. Tak jarang pula beberapa guru perpendapat bahwa nilai adalah yang paling penting dari segalanya. Inilah yang menyebabkan munculnya perilaku siswa yang lebih mementingkan nilai akademis daripada suatu usaha. Karena itulah, para siswa menjadi melakukan segala hal untuk mendapatkan nilai yang bagus.
Â
Ada beberapa point yang menjadi alasan terjadinya atau penyebab terjadinya tujuan pendidikan yang melenceng, alias tidak sama lagi seperti sedia kala. Yaitu dengan kurangnya motivasi belajar sang anak, yang mungkin saja terjadi karena lingkungan belajar yang tidak mendukung.
Â
Selain itu, banyaknya juga orangtua maupun guru yang terlalu fokus hanya pada hasil akhirnya saja dan lebih sering mengabaikan usaha dan juga proses yang dijalani sang anak atau peserta didik dalam mencapai usaha terbaiknya.
Â
Dengan sikap yang terbiasa membanding-bandingkan prestasi ataupun pencapaian yang diraih sang anak dengan anak yang lainnya juga bisa menjadi dampak terjadinya ketidak jujuran dan perubahan stigma atau pola pikir bahwa pendidikan bukan bagaimana cara menemukan potensi diri, melainkan bagaimana caranya untuk mendapatkan nilai akademis yang bagus.
Â
Kebiasaan untuk tidak memberikan wejengan atau nasehat kepada anak atau peserta didik (siswa) akan buruknya tindakan yang tidak menyertakan kejujuran juga bisa saja menjadi cikal bakal mengapa banyaknya siswa yang lebih mementingkan nilai akademisnya, sehingga perbuatan buruk seperti menyontek adalah suatu pilihan untuk dilakukan demi mendapatkan hasil yang baik.
Â
Salah satu faktor penyebab terjadinya stigma bahwa nilai adalah tolak ukur suatu keberhasilan, sehingga banyaknya para pelajar yang lebih mementingkan nilai akademis itu sendiri daripada tujuannya memulai pendidikan dan usaha yang selama ini dilakukan, adalah karena kurangnya apresiasi dari para pengajar. Tidak jarang pula, di zaman sekarang, banyak tenaga pengajar yang hanya mementingkan dan mengapresiasi  hasil nilai akhir daripada memberi apresiasi atas perjuangan atau jerih payah dari usaha yang telah dilakukan peserta didik.
Â
Kata apresiasi sendiri memiliki makna yang berarti mengindahkan atau menghargai (Aminuddin, 2009:34). Dalam artian yang lebih luas, apresiasi dapat diartikan sebagai pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan. Secara garis besarnya, apresiasi adalah suatu kegiatan yang di dalamnya melibatkan suatu pemahaman, pemanfaatan, ketertarikan, kesenangan, perhatian, dan partisipasi.
Â
Apresiasi merupakan bentuk penilaian atas suatu usaha atau pencapian, yang biasanya dengan cara apresiasi, efektif dapat diberikan dari seorang pengajar atau tenaga pendidik kepada peserta didiknya. Pemberian apresiasi dapat dilakukan dengan banyak hal dan dapat dimulai dengan hal-hal kecil seperti kata pujian, ucapan selamat, atau ungkapan kebanggaan atas suatu ketercapaian. Apresiasi sendiri memiliki manfaat kepada para penerimanya, antara lain dengan meningkatkan kepercayaan diri, merangsang para pendidik untuk dapat lebih inovatif dan berpikir lebih kreatif, melatih rasa peduli dan kepekaan terhadap lingkungannya, memantik jiwa yang kompetitif dan sportif, serta menumbuhkan perasaan bahagia.
Â
Apresiasi diyakini efektif untuk memantik semangat dari peserta didik, terutama apabila apresiasi tersebut datang dari pengajarnya sendiri. Karena dilakukannya apresiasi atas semua usaha yang dilakukan, akan meyakinkan para peserta didik bahwa usaha yang ditempuh akan membuahkan hasil yang baik dan menyenangkan.
Â
Pendidikan pada zaman sekarang dan tingkah laku dari para peserta didiknya merupakan cerminan atas apa yang memang sebenarnya terjadi. Munculnya atau lahirnya stigma dan pernyataan bahwa murid atau peserta didik akan lebih mementingkan hasil akhir yang berupa nilai daripada usaha jerih payah yang dilakukan adalah karena adanya perasaan kurang puas atas apa yang telah diraih dan reaksi seperti apa yang akan dilihat dari lingkungan sekitarnya.
Â
Untuk mengubah sudut pandang yang membawa kepada pernyataan negatif seperti ini, seorang tenaga pengajar atau tenaga pendidik dapat memulainya dari langkah yang paling kecil, yaitu mengapresiasi usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh peserta didik. Dengan memberikan apresiasi, maka peserta didik akan merasa bahwa apa yang diusahakan dan kemudian dapat dicapainya ternyata merupakan hal positif yang menyenangkan. Dengan ini, dapat memicu semangatnya dalam memberikan dan berbuat suatu hal yang lebih bermanfaat.
Â
Dengan ini, penulis berusaha untuk melakukan penelitian dengan metode wawancara secara tatap wajah. Wawancara dilakukan dengan tujuan agar dapat mengetahui berbagai sudut pandang yang sekiranya setiap orang memiliki tanggapan yang berbeda. Untuk mengetahui sudut pandang dari seorang pelajar, maka penulis memutuskan untuk mengadakan sesi wawancara Bersama salah seorang pelajar.
Â
Mengenai pentingnya apresiasi terhadap murid, maka penulis melakukan sesi wawancara bersama salah seorang narasumber yang dikenal atas prestasi yang telah ia raih. Narasumber yang bernama Ichwan Bagus Ernanda atau akrab dipanggil Ernanda adalah seorang siswa atau seorang pelajar yang berasal dari Kota Bogor. Prestasinya kerap disebut-sebut karena jelas telah mengharumkan nama sekolahnya. Prestasi yang ia dapat yakni juara satu dalam lomba yang ia sertai, IPB OSIS Fest tahun 2022. Lomba iniberhasil membawa Ernanda kepada masa jayanya, yaitu mendapatkan golden ticket untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri di IPB jalur ketua osis, dan dipastikan lolos denga jurusan yang sesuai dan sesuai dengan apa yang ia inginkan. Berikut adalah sesi tanya jawab serta beberapa tanggapan yang Ernanda berikan dalam sesi wawancara.
Â
Q : "Boleh perkenalkan diri terlebih dahulu. Nama, status, dan prestasi yang telah diraih,"
A : "Nama saya Ichwan Bagus Ernanda. Saya akrab dipanggil Ernanda. Status saya sebagai seornag pelajar di bangku kelas 3 SMA. Saya terhitung sudah dapat perguruan tinggi negeri lebih dulu karena mendapatkan golden ticket dari lomba yang saya ikuti pada IPB OSIS Fest 2022. Dengan mendapatkan juara satu, saya diberikan kesempatan untuk masuk kampus IPB dengan jurusan yang saya minati, yaitu diantara matematika, computer, dan aktuaria. Saya pribadi lebih berharap bisa lolos di aktuaria. Sampai saat ini belum ada pengumuman, tapi saya sudah dipastikan Insha Allah keterima. Doakan yang terbaik, ya."
Â
Q : "Jika boleh tahu, apakah ada satu atau dua hal yang membuat Anda menjadi semangat sekolah?"
A : "Untuk saat ini, saya rasa saya tidak punya alasan khusus dalam semangat untuk masuk sekolah,"
Â
Q : "Menurut Anda, apakah lingkungan sekolah yang Anda jalani setiap harinya menyenangkan?"
A : "Untuk saya pribadi, saya merasa bahwa lingkungan sekolah yang saya jalani kurang menyenangkan. Jatohnya, ya, biasa-biasa saja,"
Â
Q : "Selama Anda bersekolah, apakah Anda pernah mendapatkan paling tidak sebuah apresiasi dari suatu prestasi yang telah Anda raih?"
A : "Pernah, tentu pernah,"
Â
Q : "Dalam rangka apa apresiasi diberikan kepada Anda pada saat itu?"
A : "Pada saat itu saya mengikuti suatu lomba. Saya sering mengikuti perlombaan. Baik menang ataupun tidak menang, saya tetap mendapatkan apresiasi,"
Â
Q : "Anda mendapat apresiasi dalam bentuk apa pada saat itu?"
A : "Saat itu saya diberi apresiasi verbal dan apresiasi dalam wujud nyata, yaitu hadiah,"
Â
Q : "Perasaan apa yang Anda rasakan setelah mendapatkan apresiasi tersebut?"
A : "Saya sendiri pasti merasakan senang. Selain itu, saya juga merasa bangga terhadap diri sendiri."
Â
Q : "Apakah dengan diberinya apresiasi, itu dapat memantik semangat Anda untuk dapat berbuat lebih? Memotivasi Anda untuk lebih semangat melakukan hal-hal yang bermanfaat, mungkin?"
A : "Kalau saya pribadi, saya menyikapinya dengan melihat tergantung dari siapa apresiasi itu datang,"
Â
Q : "Namun, apakah Anda merasakan bahwa pada zaman sekarang, sangat minim apresiasi yang Anda maupun oranglain dapatkan dari guru atau jejeran pendidik? Bahkan dapat dikatakan kurang apresiasi,"
A : "Menurut saya, tidak dapat di generaliser. Tidak dapat dipukul rata. Karena pada dasarnya, ada beberapa guru yang masih sangat dan dapat mengapresiasi muridnya. Namun memang, dibalik itu, ada saja guru yang tetap tidak acuh dan bersikap bodo amat,"
Â
Q : "Dilihat dari sudut pandang Anda, apakah hal ini yang kemudian menjadi penyebab utama atau pemicu utama seorang pelajar atau seorang mahasiswa menjadi lebih mengutamakan atau mementingkan nilai akademis semata daripada usaha yang telah diperjuangkan?"
A : "Saya amat setuju. Saya menganggap ini betul. Karena ini membuat para pelajar di Indonesia jadi tidak mempercayai sebuah proses dan usaha dari sebuah keberhasilan. Hal ini yang menyebabkan tingginya persentase perbuatan licik di Indonesia seperti menyontek dan ketidakjujuran,"
Â
Q : "Kemudian, menurut Anda, apakah apresiasi itu penting?"
A : "Balik lagi, menurut saya, apresiasi dapat bersikap penting dan tidak penting, tergantung dari siapa apresiasi itu didapatkan."
Â
Q: "Kalau begitu, bagaimana contoh apresiasi yang Anda anggap atau Anda nilai sebagai apresiasi yang penting?"
A: "Ya, seperti apresiasi atas kerja keras dan usaha yang sudah dilewati, baik hasil akhirnya berhasil maupun gagal,"
Â
Q: "Apakah menurut Anda, tenaga pengajar yang masih suka memberi apresiasi terhadapt muridnya lebih banyak disukai oleh peserta didiknya?"
A: "Menurut saya pribadi, hal itu sih sudah jelas, ya."
Â
Q: "Mengapa demikian?"
A: "Kalo dari sudut pandang saya, sih. Ketika ada dua orang guru yang dibandingkan, yang satu suka memberi apresiasi dan  yang satu lagi bersikap tidak acuh, maka guru yang suka memberi apresiasi akan terkesan lebih menyenangkan dan senantiasa menghargai muridnya."
Â
Q : "Menurut Anda, sebagai seorang peserta didik atau pelajar, apakah apresiasi perlu diterapkan kembali pada pendidikan di zaman sekarang?"
A : "Menurut saya perlu untuk diterapkannya kembali pembiasaan apresiasi atas usaha yang sudah dilakukan seorang peserta didik oleh tenaga pengajarnya."
Â
Pada sesi wawancara diatas, jawaban dari sudut pandang Ernanda sebagai pelajar adalah ia menyatakan bahwa apresiasi itu cukup penting, dilihat dari siapa apresiasi tersebut datang. Apresiasi bisa dianggap penting apabila kerja keras dan usaha yang telah dilakukan tetap diberi penghargaan atau apresiasi, baik hasil yang keluarnya berupa berita baik ataupun sebuah kegagalan.
Â
Menurut sudut pandang Ernanda, apresiasi bisa menjadi salah satu pemicu semangat agar diri ini dapat berbuat lebih, sesuatu yang dianggap menguntungkan dan lebih bermanfaat. Selama ia bersekolah, menurut pengamatannya, pada zaman sekarang, tidak semua guru dapat memberikan apresiasi terhadap para muridnya. Ada guru yang senantiasa masih memberikan support atau dukungan juga apresiasi dan penghargaan terhadap para muridnya, namun ada juga guru yang bersikap acuh tak acuh terhadap atas apapun yang telah dilakukan oleh muridnya.
Â
Guru atau tenaga pengajar yang memiliki kebiasaan untuk senantiasa memberi apresiasi kepada peserta didiknya cenderung lebih disukai oleh para siswa. Hal ini dikarenakan para siswa yang diapresiasi tersebut lebih merasakan bahwa usaha dan kerja kerasnya dihargai. Dan perasaan bahagia atas dihargainya usaha ini adalah pemicu utamanya semangat itu tumbuh dari para peserta didik.
Â
Namun sayangnya, Ernanda berpendapat bahwa tidak semua guru bersikap acuh kepada muridnya. Tidak semua tenaga pengajar suka untuk memberi apresiasi kepada peserta didiknya, tidak lain adalah dengan bersikap tidak peduli. Hal ini bisa jadi cikal bakal atau faktor penyebab kurangnya semangat dari siswa pada zaman sekarang.
Â
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada zaman sekarang, banyak siswa-siswi atau peserta didik yang menganggap prioritas utamanya bukan lagi seperti tujuan uatama pendidikan, yakni memaksimalkan potensi diri dan membangun karakter diri. Melainkan, rata-rata dari para pelajar di zaman sekarang hanyalah mementingkan nilai akademis yang akan diraih. Baik guru maupun orangtua, biasanya akan menganggap hebat anak-anaknya apabila mendapatkan nilai yang tinggi.
Â
Jarang sekali guru-guru mengapresiasi usaha yang sudah diraih oleh sang peserta didik, walau hanya sekedar apresiasi karena rajin belajar. Hal inilah yang memicu siswa lebih semangat untuk mendapatkan nilai yang bagus, tidak peduli seperti apa nilai yang bagus itu didapatkan (apakah menggunakan cara yang tepat ataukah cara yang tidak benar), karena sebagian diantaraya, kebanyakan guru tidak mengapresiasi kerja keras yang dibuat dan hanya melihat seberapa besar nilai yang diraih pada hasil ujian ataupun tugas-tugas yang sudah dikerjakan.
Â
Memang mungkin tidak bisa sepenuhnya disalahkan dan dipukul rata bahwa semangat yang kurang dari peserta didik dan usaha yang tidak maksimal merupakan dampak, akibat, atau pemicu dari kurangnya apresiasi yang diberikan oleh tenaga pengajar kepada peserta didik. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini bisa saja menjadi salah satu penyebab turunnya semangat para peserta didik.
Â
Dengan ini, penulis menyimpulkan bahwa kurangnya apresiasi dapat berpengaruh kepada semangat belajar dan usaha kerja keras dari para pelajar. Dengan ini, maka pemberian apresiasi dari tenaga pengajar terhadap peserta didik perlu untuk diterapkan dan perlu untuk mulai dibiasakan.
Â
Bukan apresiasi semata-mata hanya karena mendapatkan nilai tinggi, namun apresiasi terhadap kerja keras dan usaha yang telah dilakukan itu juga penting, terlepas dari hasilnya, baik berupa hasil yang membanggakan maupun sebuah kegagalan. Karena sebenarnya, ketika seorang murid sudah melakukan suatu usaha terbaik yang dikerahkan, maka apresiasi akan menjadi penyemangat dan memotivasi, serta memberikan rasa bangga terhadap diri sendiri, terlepas dari hasil yang didapat, apakah sebuah keberhasilan atau sebuah kegagalan.
Â
Maka dari itu, demi membantu kembalinya tujuan pendidikan seperti sedia kala, yaitu membentuk pribadi dan karakter suatu individu serta memaksimalkan potensi yang ada pada setiap diri individu, maka pemberian apresiasi perlu adanya untuk diterapkan kembali. Inilah ringkasan dan respons dari pentingnya apresiasi guru terhadap peserta didik, jika dilihat dengan sudut pandang pelajar di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H