SEBAGAI PEMILIH, KITA TIDAK PERNAH JERA
OLEH: IRENG MAULANA*
Memori kita pendek untuk mengingat ulang (re-call) prestasi, karya dan pencapaian wakil-wakil kita di tiap jenjang parlemen, baik di daerah (Kota, Kabupaten dan Provinsi) maupun di Senayan. Situasinya, kita lebih tidak banyak tahu tentang pekerjaan mereka. Banyak penyebab, antara lain: incomplete information atau kita hanya setengah tahu setengahnya meraba-raba. Kemudian, outreach yaitu daya jangkau informasi yang kita butuhkan tapi terhambat dan bahkan tidak menyentuh kita sama sekali. Selanjutnya, pattern atau pola komunikasi yang belum pas bagi sebagian besar kita karena pilihan media komunikasi yang cenderung seragam dan tidak peka zaman. Akibatnya, mereka (wakil-wakil kita di parlemen) merasa sudah banyak berbuat demi kepentingan kita—publik secara luas, namun kita merasa sepertinya mereka tidak bekerja. Kita lantas mencela dan menghujat mereka—wakil rakyat yang terhormat, dan sampai bersumpah untuk tidak lagi memilih.
Melihat distorsi ini, kita (Pemilih) kemudian menyadari bahwa memilih mereka adalah penyesalan bahkan sebuah kesalahan, tapi perasaan ini lantas surut dan berangsur berubah seiring jadwal Pemilu yang semakin mendekati kita. Penyesalan dan kekecawaan telah kita lupakan! Calon legislatif baru maupun para wakil rakyat petahana (incumbents) berlomba-lomba merebut hati kita dan kita pun terbuai dan termakan bujuk rayu mereka kembali. Sebentar lagi, magnet Pemilu 2014 tidak dapat kita tolak daya tariknya karena kita akan pergi ke TPS dan menentukan pilihan . Berharap penyesalan dan kekecawaan tidak lagi berulang.
Preferensi pilihan kita sekarang tidak lagi sepenuhnya kepada Partai Politik (Parpol) dan sudah terbelah kepada melirik figur. Parpol tidak lagi memiliki kekuatan magis yang mampu membius kita seperti pada masa paska revolusi kemerdekaan dan di zaman orde baru, karena Parpol sepertinya sekarang ini hanya ingin beralih menjadi kumpulan orang-orang yang cinta banyak kepentingan (group of interests). Argumentasi ini di dasarkan kepada beberapa fenomena seperti menguatnya oligarki, praktek transaksional, kader bajing loncat, hilangnya budaya malu dan takut tidak berkuasa.  Sepertinya figur seorang calon legislatif lebih kuasa daripada Parpol itu sendiri sehingga di mata pemilih hari ini parpol seperti second-commitment.  Keluar masuk orang di dalam parpol tidak lagi memperhatikan pola pengkaderan melainkan melalui perang intrik dan saling potong akses. Sedangkan, kita semua menyadari bahwa Partai politik adalah salah satu instrumen demokrasi yang tugasnya adalah memastikan regenerasi kepemimpinan berpindah kepada figur pembaharu sesuai kehendak zaman.   Ideologi sudah menjadi barang langka dan sudah tidak banyak orang-orang di Parpol memahami arti penting visi. Memperhatikan fakta ini, politik sebagai ilmu sudah tidak lagi mendapat tempat dan yang tersisa hanya keinginan berkuasa yang sudah melawati batas-batas sehingga pelakunya cenderung kompulsif dan mencoba segala cara.
Apabila figur yang kredibel dan kompeten berada di dalam Parpol yang mumpuni, kejadian ini sungguh sebuah penanda sakral bagi prosesi ritual demokrasi kita. Kita dapat dengan tenang melenggang memilih dan tanpa keragu-raguan, walaupun figur itu belum tentu mendulang suara terbanyak dan Parpol tersebut belum tentu pemenang Pemilu. Kalau sudah begini, sebagai pemilih kita hanya di hadapkan kepada dua pilihan, yakni figur berpeluang mendapatkan suara terbanyak atau Partai politik yang akan jadi pemenang Pemilu, karena suara kita (our vote) tentu saja tidak boleh berakhir kepada kesian-siaan. Golongan putih muncul tidak hanya di sebabkan oleh penyesalan dan kekecawaan terhadap pilihan lima tahun yang lalu, tapi juga lebih disebabkan kepada pahitnya dua pilihan tersebut. Mereka merasa suara  akan berakhir mubazir—banyak tapi tidak memberikan manfaat apa-apa . Pemilu memang tidak menyajikan situasi ideal kepada kita (pemilih) yang banyak berharap, karena Pemilu hanya ritual demokrasi untuk merayakan persitiwa bahwa kita perlu di wakilkan oleh sekelompok orang demi menjamin terpenuhinnya kepentingan kita sebagai Rakyat. Wakil rakyat hasil demokrasi angka harus kita terima walaupun bukan mereka yang kita inginkan. Kita tidak pernah jera memilih dan tidak pernah jeda pula untuk mempercayai.
Banyak pengamat, pakar bahkan orang-orang di sekitar kita berlagak memberikan saran dan tips untuk memilih figur yang tepat agar tidak membeli kucing didalam karung kata mereka. Padahal mereka tidak menyadari bahwa di dalam demokrasi angka sekarang ini suara professor, mahasiswa, orang miskin dan orang kaya hanya bernilai satu. Latar belakang sosial tidak punya pengaruh sama sekali karena satu pemilih, satu suaranya (one person one vote). Kemudian, tidak ada formulasi yang pas dan baku untuk menilai seorang kandidat yang tidak memiliki akar yang kuat terhadap ideologi atau visi Parpolnya. Mereka sama saja seperti ronin—samurai tanpa tuan yang dapat menebas siapa saja ketika mereka dapat terpilih dan duduk sebagai wakil rakyat di parlemen. Ideologi dan visi yang kuat sangat penting karena akan menjadi penunjuk jalan sekaligus pengingat ketika kerja mereka sebagai parlemen tidak lagi punya arah. Sekiranya caleg tidak berafiliasi penuh pada idelogi dan visi parpolnya, maka saran dan tips yang tepat adalah tidak memilih mereka. Tapi, beralih kepada memilih partai politik yang jelas ideologi dan terukur visinya. Barangkali, lebih mudah menentukan partai politik yang kompeten dari sudut pandang program kerjanya dari pada menilai sejumpah caleg dengan indikator moral dan janji-janji. Sesunggunya, moral dan janji caleg selalunya dinamis menurut saling silang kepentingan dirinya.
Lebih baik memilih parpol daripada ragu-ragu memilih caleg. Parpol lebih dapat bertanggungjawab sedikit daripada caleg terkait program kerja, karena parpol sebagai institusi mempunyai sumber daya organisasi yang cukup untuk mewujudkan visi dan program kerja mereka. Bahkan, parpol dapat memaksa legislator mereka yang duduk di parlemen untuk mendorong kebijakan selaras cita-cita parpol. Di sisi yang lain, Parpol juga tidan ingin kehilangan kesempatan untuk bersaing dengan parpol saingan untuk membuktikan kiprah dan karya mereka sebagai institusi yang kerdibel di mata publik. Perlombaan mewujudkan  cita-cita ideologis hanya dapat di lakukan parpol secara luas. Sebagai pemilih, kita lebih mendapatkan sedikit kepastian, ruang dan tempat terkait ketidakpuasan, komplain,aduan dan ketidaksenangan kita terhadap kinerja Parpol secara umum dan legislator mereka khususnya. Kedepan, Parpol sudah tidak dapat lagi menghindari berkomunikasi langsung dengan masyarakat untuk menerima keluhan dan masukan diluar suasana Pemilu, karena bangkitnya pemilih rasional yang rata-rata berasal darikelas menengah dan anak muda. Parpol yang tidak membuka diri untuk berinteraksi dengan mereka secara berkelanjutan akan mati suri dan hanya bergantung kepada pemilih tua yang rata-rata berumur 50-60 tahun keatas yang jumlahnya semakin berkurang.  Selanjutnya, dengan memilih parpol sebenarnya kita memberikan peluang kepada caleg-caleg kompeten dan kredibel yang luput dari seleksi kita. Suara kita lebih bermakna karena dapat menemukan sendiri caleg yang tepat melalui pilihan kita kepada parpol tertentu.
Akhirnya, barangkali kita jera untuk memilih caleg karena sebagian mereka tidak bisa di andalkan di lima tahun kebelakang. Supaya suara kita sedikit memberi makna di pesta demokrasi tahun 2014 ini, tinggalkan caleg dan coba memilah dan menyeleksi ulang parpol-parpol yang selama ini tidak kita lirik. Pilih satu parpol yang menurut kita bisa di andalkan memperbaiki kedewasaan politik bangsa Indonesia menyambut tahun 2020, yang diramalkan banyak pengamat sebagai tahun awal melesatnya kemajuan Indonesia. Jangan pernah jera memilih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H