Mohon tunggu...
Irene Sugiharto
Irene Sugiharto Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan / Trainer

Konsultan dalam bidang pengembangan kepribadian. Trainer in personality development.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Be kind. Bukan hanya sesaat, namun konsisten.

27 Desember 2024   16:13 Diperbarui: 27 Desember 2024   16:13 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbuat baik. Ini adalah hal yang selalu saja diingatkan ketika kita masih kanak-kanak. Entah oleh orang tua, ataupun oleh guru-guru di sekolah. Seiring tumbuh dewasanya seorang pribadi, perihal berbuat baik tetap ditanamkan dalam diri kita. Bahkan, ketika kita sudah dewasa dan menjalani naik turunnya dinamika kehidupan pun, kita masih kerap diingatkan tentang perihal berbuat baik, meskipun makna "baik" itu kemudian berkembang menjadi berbagai macam versi.
 
Masih dalam suasana Natal dan menyambut Tahun Baru, ijinkan saya menilik kembali pesan Paus Fransiskus ketika berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu.

Dalam misa akbar, salah satu pesan yang disampaikan Paus Fransiskus; jangan lelah bermimpi dan menebarkan jala.

Seringkali sebagai pribadi kita terjerat dalam situasi yang disebut social conformity. Situasi dimana ada konformitas sosial yang mungkin saja terjadi karena sebuah tekanan nyata atau tidak nyata. Bisa saja dilandasi asumsi semata. Situasi dimana seseorang mengubah sikap, perilaku, keyakinan, atau persepsinya agar sesuai dengan norma sosial yang berlaku.

Dalam situasi sosial semacam itu, kita kadang tanpa sadar melakukan atau bertindak sesuai dengan persepsi yang diharapkan saat itu.

Nah, seperti apa situasi yang diharapkan? Apakah sungguh kita dapat menilai dengan tepat situasi tersebut? Apa yang menjadi pertimbangan akan situasi tersebut?

Seorang penulis dan dokter, Charles F. Glassman pernah mengatakan kindness begins with the understanding that we all struggle. Kita harus menyadari bahwa kita hanya mengetahui secuil dari kehidupan orang lain, sekalipun kita merasa sangat mengenal orang tersebut.

Misalkan kita tarik lebih luas, ke dalam arena politik dan tipe komunikasi di dalam dunia politik.

Tahun 2024 kita mengalami dinamika dan intensitas politik yang luar biasa dalam 3x pemilu (Pileg, Pilpres & Pilkada). Kita merasakan dimana masyarakat mengalami polarisasi yang luar biasa akibat perbedaan pilihan politik, yang menyerempet ke Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan. Ini tentu membuat kesadaran atau ketidaksadaran akan perilaku semakin juga terpolarisasi.

Jika melihat daya dan gaya perilaku yang bisa terjadi dalam kancah politik semacam ini, maka perilaku yang terarah mungkin sesuatu yang harus secara konsisten dipertimbangkan dengan sadar terus-menerus.

Hal lain yang menarik adalah ketika tidak ada lagi batasan bagaimana keputusan harus dibuat sehingga terjadi a sense of cognitive disonance. Disonansi yang terjadi karena keraguan yang mencuat. Disonansi yang terjadi karena konflik mental ketika keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang tidak selaras.

Sebagai masyarakat biasa yang hanya menikmati peran sebagai observer semata, disonansi juga bisa terjadi ketika harus membuat judgment yang tepat.

Itu yang saya alami secara pribadi. Menavigasi perilaku yang ada, kadang terlalu dalam melihat bahasa yang digunakan, tanpa sadar nostalgia proses discourse analysis yang saya pergunakan puluhan tahun silam saat menyelesaikan disertasi menjadi proses pembuat keputusan.

Discourse Analysis atau analisis wacana adalah pendekatan analisis yang mengkaji cara bahasa yang digunakan dalam konteks sosial, budaya dan politik.

Analisis ini untuk membuat keputusan apa? Untuk menjadi pemilih dan menjadi warga negara yang baik. Ataupun keputusan lainnya dalam hidup bermasyarakat.

Segala pertimbangan sebagai individu, kepada individu, atau kelompok lainnya, akhirnya terkombinasi dari berbagai macam aspek dan sifat manusia. Kita juga dihadapkan pada satu situasi yang rasanya sudah mulai pudar kita alami dalam kehidupan sosial kita saat ini; berempati.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnyalah kita juga menyadari bahwa setiap individu memiliki tantangan kehidupannya masing-masing. Yang dinilai dan yang menilai.

Kita memiliki cara dan kemampuan tersendiri untuk menavigasi lautan kehidupan kita. Semua individu memiliki tantangan, keraguan, ketakutan dan kekhawatirannya tersendiri. Tak terkecuali.

Itulah sebabnya dalam situasi apapun to be kind kemungkinan besar tak pernah menjadi pilihan yang salah, walaupun seringkali hal ini tidak mudah, disertai godaan, bahkan membuat kita menjadi tidak sukses.

" Jangan lelah bermimpi dan menebarkan jala ."
Saya rasa, pesan Paus Fransiskus saat itu, bukan hanya untuk orang Katolik saja, namun pesan untuk kita semua. Sebuah kiasan yang memiliki banyak arti.

Saya ingin menangkapnya demikian; jangan lelah untuk berbuat baik. Apapun tantangan dan segala cobaan kita dalam seni kehidupan ini, marilah terus berdansa dengan ritme kebaikan. Niscaya kita dapat menemukan hakekat hidup yang sesungguhnya.

Selamat Natal penuh kasih dan Selamat Tahun Baru penuh harapan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun