Berbuat baik. Ini adalah hal yang selalu saja diingatkan ketika kita masih kanak-kanak. Entah oleh orang tua, ataupun oleh guru-guru di sekolah. Seiring tumbuh dewasanya seorang pribadi, perihal berbuat baik tetap ditanamkan dalam diri kita. Bahkan, ketika kita sudah dewasa dan menjalani naik turunnya dinamika kehidupan pun, kita masih kerap diingatkan tentang perihal berbuat baik, meskipun makna "baik" itu kemudian berkembang menjadi berbagai macam versi.
Â
Masih dalam suasana Natal dan menyambut Tahun Baru, ijinkan saya menilik kembali pesan Paus Fransiskus ketika berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu.
Dalam misa akbar, salah satu pesan yang disampaikan Paus Fransiskus; jangan lelah bermimpi dan menebarkan jala.
Seringkali sebagai pribadi kita terjerat dalam situasi yang disebut social conformity. Situasi dimana ada konformitas sosial yang mungkin saja terjadi karena sebuah tekanan nyata atau tidak nyata. Bisa saja dilandasi asumsi semata. Situasi dimana seseorang mengubah sikap, perilaku, keyakinan, atau persepsinya agar sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
Dalam situasi sosial semacam itu, kita kadang tanpa sadar melakukan atau bertindak sesuai dengan persepsi yang diharapkan saat itu.
Nah, seperti apa situasi yang diharapkan? Apakah sungguh kita dapat menilai dengan tepat situasi tersebut? Apa yang menjadi pertimbangan akan situasi tersebut?
Seorang penulis dan dokter, Charles F. Glassman pernah mengatakan kindness begins with the understanding that we all struggle. Kita harus menyadari bahwa kita hanya mengetahui secuil dari kehidupan orang lain, sekalipun kita merasa sangat mengenal orang tersebut.
Misalkan kita tarik lebih luas, ke dalam arena politik dan tipe komunikasi di dalam dunia politik.
Tahun 2024 kita mengalami dinamika dan intensitas politik yang luar biasa dalam 3x pemilu (Pileg, Pilpres & Pilkada). Kita merasakan dimana masyarakat mengalami polarisasi yang luar biasa akibat perbedaan pilihan politik, yang menyerempet ke Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan. Ini tentu membuat kesadaran atau ketidaksadaran akan perilaku semakin juga terpolarisasi.
Jika melihat daya dan gaya perilaku yang bisa terjadi dalam kancah politik semacam ini, maka perilaku yang terarah mungkin sesuatu yang harus secara konsisten dipertimbangkan dengan sadar terus-menerus.
Hal lain yang menarik adalah ketika tidak ada lagi batasan bagaimana keputusan harus dibuat sehingga terjadi a sense of cognitive disonance. Disonansi yang terjadi karena keraguan yang mencuat. Disonansi yang terjadi karena konflik mental ketika keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang tidak selaras.
Sebagai masyarakat biasa yang hanya menikmati peran sebagai observer semata, disonansi juga bisa terjadi ketika harus membuat judgment yang tepat.