Menilik kembali pada Gen Z yang berada di sekitar kehidupan saya, cara mereka mencari kebahagiaan memang terasa berbeda dari generasi-generasi pendahulunya. Namun mereka bukan anomali. Bersama jutaan Gen Z lainnya mengalami kegundahan yang serupa, demikian juga dengan sosok yang ada di dekat saya.Â
Dia pintar, cerdas, ingin trampil dalam banyak hal, tapi dunianya dunia gadget, berkomunikasi dengan sahabat-sahabatnya juga mencari cara yang praktis dan terasa menjadi addictive, yaitu bercengkerama melalui media online games. Keterampilan mereka melakukan multitasking tercermin saat mereka berkompetisi  dalam games dan bisa ngobrol tertawa terbahak-bahak pada saat yang bersamaan.
Saya bisa multitasking, tapi saat sedang di depan laptop tak mungkin saya bisa fokus kepada hal lain; bisa saja saya lantas menekan tombol yang salah.
Definisi kebahagiaan mereka; pada sesuatu yang mungkin menjadi slack atau praktis. Lalu apakah itu betul-betul sudah cukup untuk mereka?
As time goes by, kembali pada poin awal tulisan, tentang pilihan studi Gen Z, entah karena pilihan jurusan kuliah pada passionnya atau pada pilihan orang tua, benang merahnya jelas, Gen Z saat ini akan banyak mempertimbangkan hal, asalkan dekat dengan teknologi. Lapangan pekerjaan yang diincar pun akan tidak jauh dari teknologi, karena itu yang menjadi ikatan emosional mereka saat mereka tumbuh.Â
Sebagai dewasa muda, sosok yang dekat saya ini tumbuh menjadi talkative, full of ideas dan semangat yang membara beraktifitas pada dunia magangnya. Rasa memiliki uang sendiri dan bisa mengatakan; "..... don't worry I can pay for this.....", sangat mengharukan dan seperti ingin saya playback berkali-kali. Menjadi mandiri tentu kebahagiaan semua pihak, dan pada akhirnya, menjadi mandiri  juga menjadi formasi kebahagiaan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H