Di usia lanjut ini saya sudah kehilangan banyak kawan dan sahabat. Teringat semua, kenangan pasti menggugah. Ada gembira dan ada sedih. Sementara saya mengetik ini, pikiran saya menjadi penasaran.Â
Saya ini sahabat siapa dan siapa sahabat sejatiku?Â
Setelah merenung cukup lama, saya tahu Suami sayalah sahabat sejati saya. Barangkali saya juga sahabat sejatinya. Entahlah, tapi semoga ya!Â
Bertengkar rasanya kami tidak pernah. Saya marah dan betul-betul marah, sering! Saya ini dulu sangat pemberang. Tetapi kemarahan saya itu selalu saya usahakan hapus secepatnya. Tapi susah.
Saya tidak tahu apa rasa suami saya bila saya sedang marah. Â Kalau dia sedang marah, saya menghindar dan tidak mau mendengarkannya. Saya anggap dia lagi kumat. Ssst...
Kalau amarah sudah hilang kami baikan lagi. Sahabat biasa, tidak mungkin bisa begitu. Sekali saja kita kasarin, maka sudah putus kawan.
Suami saya ini, sejak dulu sangat setia mengantar saya ke mana-mana. Menjemput kawan dan mengantarkannya pulang seusai acara. Sayang, sekarang sudah tidak bisa karena lalu-lintas yang macet sangat melelahkannya.
Sampai sekarang dia masih selalu rajin mengantar dan menemani saya ke Rumah Sakit.
Membantu menyiapkan kebutuhan saya, sementara saya kurang berdaya. Itulah definisi saya mengenai seorang sahabat sejati, dia tidak mengenal waktu, selamanya siap sedia. Â Â
Saya mendapatkannya pada sosok yang menjadi suami saya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H