Perayaan Kue Bulan atau Mooncake Festival tahun ini jatuh pada tanggal 21 September 2021. Tanggal Masehi nya tidak tetap karena mengikuti penanggalan Lunar yang selalu jatuh pada tanggal lima belas bulan delapan.
Jelang Perayaan Kue Bulan akan ditandai dengan bermunculannya penjual kue bulan terutama di Chinatown. Seperti apa kue bulan itu? Buat yang belum tahu, bisa melihat foto yang saya sertakan di sini. Kue bulan ini, hanya dibuat setahun sekali. Sesudah tanggal lima belas, maka kue bulan ini juga akan berakhir penjualannya. Unik, ya?!
Perayaan ini terkait dengan kisah legenda dua sejoli Hou Yi dan Chang E.
Kisah legenda ini mudah ditemukan di internet, maka saya rasa tidak perlu saya ceritakan di sini.
Yang akan saya kisahkan di sini adalah perayaan kue bulan di rumah keluarga kami pada masa kanak-kanak saya. Ingatan akan perayaan itu masih lekat terekam di dalam ingatan saya dan akan selamanya saya kenang.
Kami tinggal di Chinatown yang jalannya termasuk sempit. Namun, saat itu tidak saya sadari, rasanya biasa-biasa saja. Kami termasuk beruntung. Walau jalanan sempit, rumah-rumah di sana tidak berhimpitan karena kavling-kavling nya lumayan luas.
Rumah kami berlantai dua. Lantai atas rumah kami hanya sebagian yang dibangun, bagian belakangnya dibiarkan kosong sebagai ruang terbuka saja.Â
Lumayan luas. Area ini kami sebut langkang. Langkang, entah berasal dari bahasa apa ya? Zaman now biasanya disebut tempat jemuran. Nah, di langkang inilah banyak peristiwa yang penuh kenangan buat saya, salah satunya, nikmatnya perayaan kue bulan.
Perayaan kue bulan buat kami bersaudara begitu berkesan dan rasanya tidak akan saya lupakan. Pada malam itu orangtua kami akan melakukan ritual sembahyang kue bulan atau Tiong Ciu Pia yang artinya kue/pia pertengahan musim gugur.Â
Buat anak-anak, kami dibuatkan acara khusus semacam malam gembira bersama saudara-saudara sepupu. Kami makan-makan dan bermain di langkang sampai larut malam.
Amma'(panggilan kami kepada ibu) telah menyiapkan makanan kesukaan kami yang tidak dimasak buat makanan sehari-hari. Ada sate Nona-nona Mangkasara', Tedong Pallu/makanan daging kerbau berkuah, Pastel bakar dan masih ada yang lain.Â
Yang lain saya lupa karena yang teringat hanya makanan favorit saya, hehehe...
Yang pasti dihadirkan adalah katupa' leko' pandang/ketupat daun pandan. Jalangkote'/pastel goreng dan kroket Makassar pasti tidak ketinggalan.Â
Masih ada lagi, yang ini bukan buatan rumah, yaitu Es Mont Blanc, es krim potong yang sangat enak. Rasanya tidak kalah dari es potong zaman now.
Waduh, hampir lupa, kudapan utamanya tentu saja kue bulan itu sendiri. Sampai sekarang saya masih mendapat kiriman kue bulan dari keponakan yang di Makassar.Â
Spesifik, rasanya sudah terlanjur melekat. Sudah puluhan tahun langganan di sana, rasa khas kue bulan buatan mereka  yang menjadi patokan rasaku.
Selain makan-makan, kami bermain apa saja yang menarik minat kami. Oh iya, kami delapan bersaudara ditambah saudara-saudara sepupu, ya... jumlah kami lumayan banyak! Saya dan adik senang sekali bernyanyi, bermain tali dan bermain dende-dende/engklek, sedangkan yang lebih besar bermain catur dan halma. Yang tak kalah asyik, kami saling bercerita pengalaman masing-masing.
Sayang, saudara-saudara sepupu saya yang sering menginap untuk bersama-sama menikmati bulan purnama, tersisa satu. Yang lain sudah mendahului. Kakak saya pun dua orang sudah berpulang, kakak nomor dua dan kakak yang tepat di atas saya. Saya anak ke-enam. Kami yang masih tersisa ini juga sudah tidak seperti dulu lagi. Kami sudah pada tua...
Syukur puji Tuhan, saya belum merasa tua, hanya saja badan ini yang kadang-kadang protes.
Saat kami bermain harus berhati-hati agar tidak menyenggol mangkok besar Amma' yang berisi air yang telah diberi beraneka bunga terutama yang berbau wangi.Â
Kata Amma', Dewi Bulan akan turun ke rumah kami untuk membasuh wajahnya. Keesokan harinya kami pun disuruh mencuci muka dengan air itu supaya wajah kami bersih seperti wajah Dewi Bulan.
Sedangkan bunga-bunga bekas rendaman air akan dibawa Amma' ke rumah Uwa' Nona Toa Jamu, yang tinggal tidak jauh dari rumah kami. Dari panggilannya ketahuan, beliau ahli jamu. Namanya yang sebenarnya saya sudah lupa. Tetapi kalau saya pikir lagi perlahan-lahan mungkin saya akan mengingatnya kembali. Faktor U…!
Bunga-bunga itu akan dibuat menjadi bedak dingin. Haha... supaya sempurna seri wajah kami anak-anak Amma'. Walau tidur larut malam, saya yang pertama bangun dan segera membasuh wajah saya tanpa menunggu disuruh.Â
Kenapa ya? Saya biasanya suka bermalas-malasan dan susah bangun. Mungkin supaya air bekas tangan Dewi Bulan masih membekas... entahlah! Lupa saya.
Ritual air bulan masih saya lakukan sampai sekarang tapi bunganya, sayang, terpaksa saya buang kalau sudah kering. Soalnya sekarang saya tinggal di Jakarta dan Uwa' Nona Toa Jamu juga sudah lama berpulang.
Sebelum saya akhiri kisah kenangan saya ini, ada kisah lumayan menarik yang mungkin tidak banyak lagi yang tahu. Ada kebiasaan di kalangan orang Tionghoa untuk berburu tanggal 15 bulan 8 dijadikan hari pernikahan.
Waktu saya masih berdomisili di Makassar, saya Ingat betul bagaimana tanggal itu menjadi rebutan. Saya rasa bukan hanya di Makassar.Â
Mungkin ini ada kaitannya dengan kisah sejoli Hou Yi dan Chang E yang kisahnya diperingati pada tanggal tersebut. Bila salon dan restoran sudah fully booked, terpaksalah ganti tanggal, pokoknya masih bulan 8.Â
Mungkin juga karena mengacu pada kondisi di Tiongkok. Saat pertengahan musim gugur udara sejuk, sehingga orang lebih santai? Terus terang saya tidak tahu alasannya.
Saya sebetulnya heran kenapa tanggal itu demikian diburu untuk pernikahan. Karena menurut saya kejadian pada tanggal itu sebenarnya peristiwa tragis. Perpisahan antara dua sejoli.Â
Memang, menurut kisah, pada tanggal lima belas bulan delapan Chang E menjadi Dewi Bulan, tapi terpisah dari Hou Yi, suaminya.
Menurut cerita ibu saya, Hou Yi setiap tanggal lima belas bulan delapan akan memandang ke bulan, yang sangat besar dan sangat terang, dengan harapan bisa menyaksikan bayang-bayang istrinya sedang bermain kelinci atau sambil menenun.Â
Hehehe...lupa saya. Semoga saya tidak salah ingat, karena ada juga yang mengatakan Hou Yi dibunuh, dipanah oleh muridnya sendiri. Yaa...akhirnya saya cerita juga. Tidak apa ya, cuma bocoran dikit.
Sampai disini dulu, terima kasih sudah menemani saya bernostalgia. Selamat menikmati kue bulan sambil minum teh hangat tanpa gula.
Kenangan lainnya ada di:
Nostalgia Membuat "Bannang Gallasa"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H