Kata Amma', Dewi Bulan akan turun ke rumah kami untuk membasuh wajahnya. Keesokan harinya kami pun disuruh mencuci muka dengan air itu supaya wajah kami bersih seperti wajah Dewi Bulan.
Sedangkan bunga-bunga bekas rendaman air akan dibawa Amma' ke rumah Uwa' Nona Toa Jamu, yang tinggal tidak jauh dari rumah kami. Dari panggilannya ketahuan, beliau ahli jamu. Namanya yang sebenarnya saya sudah lupa. Tetapi kalau saya pikir lagi perlahan-lahan mungkin saya akan mengingatnya kembali. Faktor U…!
Bunga-bunga itu akan dibuat menjadi bedak dingin. Haha... supaya sempurna seri wajah kami anak-anak Amma'. Walau tidur larut malam, saya yang pertama bangun dan segera membasuh wajah saya tanpa menunggu disuruh.Â
Kenapa ya? Saya biasanya suka bermalas-malasan dan susah bangun. Mungkin supaya air bekas tangan Dewi Bulan masih membekas... entahlah! Lupa saya.
Ritual air bulan masih saya lakukan sampai sekarang tapi bunganya, sayang, terpaksa saya buang kalau sudah kering. Soalnya sekarang saya tinggal di Jakarta dan Uwa' Nona Toa Jamu juga sudah lama berpulang.
Sebelum saya akhiri kisah kenangan saya ini, ada kisah lumayan menarik yang mungkin tidak banyak lagi yang tahu. Ada kebiasaan di kalangan orang Tionghoa untuk berburu tanggal 15 bulan 8 dijadikan hari pernikahan.
Waktu saya masih berdomisili di Makassar, saya Ingat betul bagaimana tanggal itu menjadi rebutan. Saya rasa bukan hanya di Makassar.Â
Mungkin ini ada kaitannya dengan kisah sejoli Hou Yi dan Chang E yang kisahnya diperingati pada tanggal tersebut. Bila salon dan restoran sudah fully booked, terpaksalah ganti tanggal, pokoknya masih bulan 8.Â
Mungkin juga karena mengacu pada kondisi di Tiongkok. Saat pertengahan musim gugur udara sejuk, sehingga orang lebih santai? Terus terang saya tidak tahu alasannya.
Saya sebetulnya heran kenapa tanggal itu demikian diburu untuk pernikahan. Karena menurut saya kejadian pada tanggal itu sebenarnya peristiwa tragis. Perpisahan antara dua sejoli.Â