Mohon tunggu...
Irene Maria Nisiho
Irene Maria Nisiho Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

Nenek 6 cucu, hobby berkebun, membaca, menulis dan bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Dodoro' Cina, Nama Jadul Si Kue Keranjang

14 Februari 2018   17:24 Diperbarui: 14 Februari 2018   22:34 1788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang hendak saya kisahkan ini adalah salah satu ritual yang selalu terjadi dari tahun ke tahun di masa jadul di rumah kami, di kota Makassar.

Kami adalah keluarga keturunan Tionghoa, di mana kehidupan keseharian kami banyak dipenuhi oleh adat istiadat yang khas keluarga Peranakan Tionghoa Makassar yang dulu lazim disebut Baba-Baba dan Nona-Nona Mangkasara'.

Sebagai anak jadul, saya merasa sangat beruntung menjalani kehidupan kami yang penuh warna, setiap bulan pasti ada saja peristiwa yang akan diperingati di rumah.

Kenangan akan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kecil, sayang untuk dilupakan begitu saja. Sedikitnya hal-hal ini telah menyumbang pembentukan karakter kami, anak-anak, tanpa kami sendiri sadari.

Sebetulnya saya sama sekali tidak berpikir untuk mengangkat kisah ini. Namun, ketika teman saya, Kak Wen yang baik hati, mengirimi kue keranjang, saya merasakan suatu kerinduan akan masa lalu. Betapa ramainya rumah kami di seputar kegiatan menjelang Tahun Baru Imlek.

Saya jadi teringat akan kedua orang tua saya. Anak-anak memanggil Baba' untuk ayah dan Amma' untuk ibu kami. Saya pikir tidak ada salahnya kenangan ini saya tulis untuk kenangan sebelum saya pikun (semoga jangan sampai, ya!)

Supaya fokus, kisah ini saya batasi hanya seputar dodoro' Cina. Ya, itu sebutan dalam bahasa Makassar untuk kue keranjang. Dodoro' adalah bahasa Makassar yang berarti dodol. Mengapa ditambah embel-embel Cina? Ya, karena memang hanya orang Cina/Tionghoa yang membuatnya dan lagipula di Makassar kita mengenal juga ada yang disebut dodoro' Mangkasara'. Mangkasara' berarti Makassar. Hal ini akan saya ceritakan di lain kesempatan, ya.

Dodoro' Cina hanya dibuat setahun sekali, pada bulan terakhir penanggalan Imlek untuk menyongsong datangnya Tahun Baru Imlek. Dulu kami tidak mengenal istilah Kue Keranjang. Sampai sekarang pun di Makassar tidak memakai istilah itu.

Tapi kalau saya pikir istilah Kue Keranjang cukup relevan, karena dodoro' ini dibuat memakai wadah keranjang yang dianyam dari rautan bambu. Untuk mengukus dodoro' dibutuhkan kayu bakar yang banyak. Nah karena itu, menjelang bulan pembuatan dodoro', pedagang kayu bakar biasanya sudah pada datang menawarkan dagangannya.

Baba' biasanya akan membeli kayubangko,walau harganya lebih tinggi dari kayu-kayu yang lain, karena menurut Amma' hasil pembakaran kayubangko yang paling bagus.

Kayu-kayu itu akan ditumpuk di kampong kosong di sebelah rumah kami. Kampongkosong ini, adalah tanah kaveling yang dibiarkan kosong, untuk menjadi tempat kami bermain. Ya, a' karenabaguli (bermain kelereng), badminton dan apa saja, termasuk tempat untuk saya berlatih memanjat pohon.

Eei saya kurang fokus ya? Nggak apa-apa ya, sedikit saja kok. Biar tahu seperti apa masa kecil saya.

Kaveling ini tidak sepenuhnya kosong. Di bagian belakang dibangun dapur yang kami sebut Balla' Pallua yang berarti rumah dapur. Di dapur yang luas inilah segala kegiatan urusan dapur, termasuk menjadi ruang makan untuk kami anak-anak, berbeda dengan ruang makan Baba' yang terletak di rumah induk. Inilah dapur terluas yang pernah saya "miliki".

Menjelang hari pembuatan dodoro', ibu-ibu yang berprofesi sebagai penumbuk beras, juga akan datang menumbuk beras ketan untuk dijadikan tepung.

Wah sangat asyik melihat mereka menumbuk dan mengayak tepung. Kami anak-anak sama sekali tidak boleh menyentuh tepung itu, karena tepung bisa menjadi ka'ci, maksudnya berbau asam.

Keranjang dodoro' dan kuali besar mulai diturunkan dari tempat penyimpanannya diatas ga'dong berasa (kamar beras). Tempat ini salah satu tempat persembunyian kalau kami bermain Petak Umpet, permainan anak yang dalam bahasa Makassar disebut A'karenaCo'ko-Co'ko.

Amma' mulai merebus gula pasir untuk dibuat air gula yang banyak sekali. Baba' pun membeli daun pisang yang cukup banyak pula.

Daun pisang terlebih dulu dipotong- potong dan dicuci bersih lalu dicelupkan sebentar ke dalam wajan yang berisi air panas. Tujuannya supaya daun pisang itu menjadi layu sehingga tidak pecah ketika ditekuk sewaktu mengalas keranjang bambu.

Setelah semua siap, Amma' mulai mengalas keranjang dengan daun pisang, tentu dibantu oleh asisten-asistennya. Mereka juga akan membuat tungku dari batu bata tempat bertengger kuali yang sangat besar (pammaja' lompo).

Tungku ini dibuat di luar Balla' Pallua karena apinya akan panas sekali.

Setelah adonan siap, mulailah proses pengukusan yang akan memakan waktu yang sangat lama.

Entah berapa lama mengukusnya, makin lama mengukusnya makin cantik warnanya dan tentu saja semakin enak rasanya. Saya ingat sebelum Amma' masuk tidur, beliau akan mematikan api dan menyisakan bara dari kayubangko,sampai keesokan harinya, bara-bara itu masih panas...

Memanfaatkan abu panas itu, Baba' memasukkan ubi jalar (lamlamba') dan singkong (lamkayu). Asyik sekali menikmatinya setelah matang, namun tidak mengurangi keinginan keras saya untuk segera mencicipi dodoro' yang baru matang.

Saya sangat tidak sabar menunggunya matang, karena saya tahu Amma' membuatkan dodoro' kecil sebesar kaleng susu kental manis.

Maka begitu matang, saya tidak sabar menunggu dingin dan segera mengambil sendok dan mulai menyendok dodoro' yang saya rasa sangat nikmaaat... Mau ikutan mencicipinya?

Dodoro' yang masih terbungkus (foto pribadi)
Dodoro' yang masih terbungkus (foto pribadi)
Baba' menyukai dodoro' yang sudah dijemur, lalu diiris-iris kemudian dipanggang sebentar di atas bara arang. Ada yang suka dodoro' goreng, sebelum dicemplungkan ke dalam minyak terlebih dahulu dioles telur kocok, ada juga yang menambahkan wijen.

Yang mana pilihan Anda? Silahkan berkreasi sendiri...

Sayang kue keranjang sekarang banyak yang memakai plastik, tidak lagi memakai daun pisang. Padahal kebanyakan plastik tidak aman mewadahi makanan panas apalagi untuk dikukus selama berjam -jam.

Dodoro' yang masih baru biasanya tidak keras tampilannya (foto: pribadi)
Dodoro' yang masih baru biasanya tidak keras tampilannya (foto: pribadi)
Begitulah kenangan saya akan dodoro' Cina, yang di Jakarta lebih dikenal sebagai kue keranjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun