Oh iya, lesung kecil itu sekarang di mana ya? Siapa ya yang menyimpannya? Ini benda pusaka yang terlupakan.
Jika proses penghalusan sudah beres, para'ka'ku'kulu' dipanaskan supaya encer, lalu dicampur dengan pecahan beling yang sudah dihaluskan, diaduk supaya rata. Proses terakhir adalah memasukkan benang calon bannang gallasa'. Benang ini akan direndam semalaman untuk kemudian dijemur. Proses penjemuran inilah yang paling merepotkan.Â
Saya sendiri tidak pernah bisa menaikkan atau lebih tepat menerbangkan layang-layang. Dalam bahasa Makassar kami menyebutnya A' panaik layang-layang. Karena saya cuma tukang benang, jadi saya harus puas walau hanya dibolehkan memegang layangan saat angin tenang dan kalau sedang tidak ada lawan, dalam bahasa kami 'musuh di langit'.
Saya paling sedih kalau layang-layang kami A' kepa', artinya benang layangan kami putus dan terbang melayang. Lebih sedih lagi kalau benang yang ikut putus cukup banyak. Kekalahan ini tidak berarti benang gelasan kami kurang tajam tapi sering juga lawan bermain kasar alias curang. Ya... sedih banget, deh!
Tetapi untungnya hal itu jarang terjadi, karena benang gelasan kami super tajam.
Nyaris lupa, kami ini lebih sering bermain di teras lantai dua rumah kami, bukan di tanah lapang seperti dalam syair lagu tadi. Teras lantai dua itu cukup luas, kami sebut langkang. Entah dari bahasa apa pula itu. Kalau main di lapangan sudah pasti saya nggak boleh ikut.
Anak-anak zaman now, pasti banyak yang belum pernah memegang layangan. Apalagi membuat benang gelasan. Kalau anak-anak saya masih sempat belajar membuat layangan. Cucu-cucu belajar a' panaik layang-layang dengan Opa. Tapi tentunya mereka tidak belajar membuat bannang gallasa'.
Jadi asyik kan, kami anak-anak tempo dulu? Sayang saya tidak punya fotonya, zaman itu berfoto tidak semudah sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H