[caption caption="Cempaka Gondok Kuning yang kebetulan mekar penuh"][/caption]Untuk melestarikan sesuatu, tentu kita harus mencintai terlebih dahulu. Tapi bagaimana kita mencintai, kalau kita tidak mengenalnya?!
Kita mungkin masih berbicara mengenai Cempaka, tapi apakah kita benar-benar telah mengenal bunga-bunga Cempaka ini? Bunga Cempaka, bukan hanya satu macam lho!
Barangkali banyak diantara kita yang belum tahu, seperti apa bunga Cempaka itu atau pernah tahu, tapi sudah melupakannya. Sayang kan, apalagi kalau sampai punah... Saya berharap, setelah mengenalnya, semua pada jatuh hati dan segera berburu bibit bunga Cempaka.
Dulu, bunga Cempaka kita kenal dengan pohonnya yang tinggi besar. Begitu terkenalnya sampai Ibu Sud menciptakan lagu Burung Kutilang, yang liriknya, “Di pucuk pohon Cempaka, burung Kutilang berbunyi…”. Sekarang, Cempaka-Cempaka ini dapat ditanam di dalam pot, lho! Kabar baik, bukan?! Tidak perlu lahan yang luas. Dengan pengetahuan ini, apakah ada yang sudah mulai tertarik? Masih belum?
Kalau belum tertarik, berarti harus membaca kisah keseluruhannya, supaya dapat sungguh-sungguh mengenalnya. Saya sangat beruntung karena sempat mengoleksi lima macam Bunga Cempaka.
Ini dia bunga-bunga Cempaka penghuni kebunku.
[caption caption="Cempaka Gondok Putih"]
[caption caption="Cempaka Kuning yang sedang mekar dan yang masih kuncup"]
Pendatang ke-dua, adalah Cempaka Kuning.
Daunnya tidak setebal dan tidak sekaku daun Cempaka Gondok. Warna daunnya pun tidak segelap daun Cempaka Gondok. Bunganya juga sangat harum, tapi aromanya khas dia sendiri juga. Di Jawa disebut Kantil. Di Makassar dinamai Bunga Eja. Heran, kenapa Bunga Eja?! Warnanya, kan kuning, sedangkan eja dalam bahasa Makassar berarti merah.
Di Makassar tempo dulu, ibu saya sering membelinya pada pedagang keliling yang menjajakan memakai tampah kecil, untuk kemudian diselipkan pada konde atau sanggulnya. Ibu saya berbusana sarung dan kebaya, khas busana Perempuan Peranakan Tionghoa (baca juga Nostalgia Budaya...)
Ketika teman-teman saya melihat tanaman Cempaka ini di kebunku, mereka serempak berkata,” Tidak takutkah kamu, kalau nanti ada penunggunya?” Hehehe.., sampai sekarang ternyata nggak pernah ada, tuh!
[caption caption="Cempaka Mulya aromanya mengundang semut"]
Aromanya sangat spesifik, terasa aroma manis. Bunganya lebih kecil daripada Cempaka Putih maupun Cempaka Kuning. Daunnya pun lebih kecil, agak bulat dan agak mengkilat. Di Makassar kami menyebutnya Ang Siao.
Mau tahu kisah Ang Siao yang lain? Silahkan klik, Bunga Ang Siao yang Membuatku Sendu
[caption caption="cempaka putih"]
[caption caption="Cempaka Gondok Kuning dan bunganya yang gugur di atas rumputan"]
Bunganya lebih besar dan agak melonjong dibandingkan dengan saudaranya yang putih. Aromanya juga tidak setajam yang putih. Yang pasti, bunganya hampir tidak pernah mekar sempurna, sehingga bunganya akan gugur utuh, tidak terlepas kelopak demi kelopak.
Inilah aneka Cempaka penghuni kebunku. Cantik-cantik, lho. Terutama harum khas aromanya masing-masing, sangat menarik hatiku.
Sudah tertarik?
Ayo, kita lestarikan dengan ikut menanam! Pakai pot, sajalah…! Biasanya saya memanfaatkan ember plastik besar yang sudah bocor atau kaleng bekas cat. Hemat dan sekalian mengurangi limbah.
Entah, apa masih ada Cempaka yang lain? Kalau ada, mau...dong!!!
[caption caption="Cempaka Gondok kuning dan biji-bijinya."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H