Mohon tunggu...
Irene Maria Nisiho
Irene Maria Nisiho Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

Nenek 6 cucu, hobby berkebun, membaca, menulis dan bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Patung Natalku, Genap Berusia 48 Tahun

25 Desember 2015   20:22 Diperbarui: 25 Desember 2015   20:30 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah menikah, kami merayakan natal pertama di rumah orangtua saya.
Sesuai adat peranakan Tionghoa Makassar, pengantin laki-laki masuk ke rumah orangtua istrinya.

Natal pertama kami, biasa-biasa saja. Paling adik saya, seperti biasa, menghias potongan cabang cemara yang dia minta entah dari mana. Pohon natalnya hanya kecil dan sangat sederhana. Di rumah, kami tidak merayakan Natal secara khusus karena orangtua kami bukan penganut Kristiani, melainkan penganut Kongfusius.

Pohon Natal dan gua Natal kami yang pertama di Makassar

Sebelum anak pertama kami lahir, kami pindah rumah ke rumah kami sendiri di Jln. G. Latimojong. Pada natal tahun 1967, untuk pertama kali saya membuat pohon Natal dan kandang Natal.

Pohon Natal saya itu terbuat dari potongan batang pinus yang segar, yang kami beli dari ibu Anwar. Suami beliau dari Dinas Kehutanan.
Di pekarangan rumah bu Anwar yang luas, sudah tersedia puluhan pinus dengan berbagai ukuran. Kami boleh memilih, sesuai selera dan kebutuhan kami.

Sangat asyik lho, momen memilih-milih ini. Suasana ramai, karena bukan hanya kami saja yang sibuk memilih. Saya jadi teringat seperti di film Barat, dimana bapak-bapak memotong cemara untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing. Kami lebih beruntung karena kami tidak perlu lagi memotong, tinggal pilih, lalu menggotongnya pulang. Tentu dengan kendaraan roda empat atau roda tiga (tallu roda, bahasa Makassarnya) alias becak, tentu bisa jika pohonnya tidak terlalu besar.

“Ritual” ini berlangsung setiap tahun, dan kesenangan saya ini dari tahun ke tahun selalu bertambah. Terutama karena anak-anak kami juga telah bertambah dan mereka sangat menikmati pohon dan gua Natal yang saya buat. Ketika mereka beranjak besar, mereka turut membantu menghiasnya. Wangi pinus memenuhi ruang dimana pohon Natal itu diletakkan.

Menurut almarhumah suster Melchiada JMJ yang dulu mengajari saya agama Katolik, bagi umat Katolik lebih penting membuat kandang atau gua Natal daripada pohon terang. Karena itu, di bawah pohon Natalku, saya selalu membuat gua.

Gua Natal

Gua Natalku, saya buat dari kantong semen bekas. Untuk hasil yng lebih baik, seharusnya gua itu saya cat. Tapi karena merasa ribet, saya selesaikan begitu saja, tanpa cat. Kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang.

Ada pun patung-patung gua, saya lupa belinya di mana. Mungkinkah saya membelinya di Sekolah Pertanian Lontara, yang didirikan dan dikelola oleh almarhum pastor J. Hauben CICM?! Mungkin sekali, karena sudah tidak terpikir kemungkinan yang lain.

sepupu
sepupu
Ipar-ipar, keponakan-keponakan, dan sepupu-sepupuku berpose di depan pohon Natalku di Makassar tahun 1967

Ipar-ipar yang baru remaja, keponakan-keponakan, maupun sepupu-sepupu yang masih kecil senang berkumpul merayakan Natal bersama. Bukan acara pesta formil, hanya kumpul-kumpul dan bisa berulang berkali-kali, sampai pohon Natal dan gua Natal itu dibongkar.
Putri kami waktu itu baru berumur tujuh bulan.

Pindah ke Jakarta

Pada Juli 1974, kami pindah ke Jakarta. Tidak lama setelah kepindahan kami, terjadi krisis ekonomi. Hal ini sangat mempengaruhi ekonomi keluarga kami.

Seminggu lagi Natal akan tiba, anak-anak bertanya, "Di mana pohon Natal dan gua Natalnya?" Dengan berat hati saya mengajukan dua opsi; "Mau pohon Natal atau kue?" Karena kondisi keuangan kami hanya memungkinkan untuk salah satu pilihan tersebut. Mereka memilih pohon.
Jadi sepakat, kami akan Natalan dengan pohon terang tanpa kue.
Namun Tuhan mengasihani anak-anak kami, Dia memberi kue untuk kami, melalui tangan seorang Pater, yang merelakan rolltaartnya untuk anak-anak kami.

Terima kasih, ya Pater. Semoga Terang Natal membuat Pater bugar kembali.

Seminggu menjelang natal 2015

Menghias pohon Natal dan membuat gua Natal, baru saja rampung. Ini berkat bantuan asisten, kalau tidak dibantu, yaa…!
Saya merasa sedikit terusik, melihat gemerlap hiasan-hiasan pohon Natal yang telah menyertai dan menyemarakkan natal kami untuk ke-48 kalinya. Memang hiasan itu tidak semua berusia 48 tahun, namun patung-patung gua dari awal sampai sekarang tidak ada yang ditambah atau diganti.

Gua
Gua
Gua dengan patung yang berusia 48 tahun

Ketika saya memasukkan patung itu satu persatu ke dalam gua, ada sapi yang sudah kehilangan telinganya, gembala yang putus kakinya, yang terpaksa dibantu pemulihannya dengan lem. Belum lagi onta, sudah mengalami patah tulang dimana-mana. Mungkin karena onta cuma satu dan menarik, sedangkan tangan-tangan mungil anak-anak saya belum mampu menahan bobot onta tersebut, sehingga sering terjatuh. Kebiasaan ini kemudian berlanjut ke cucu-cucu.

Sekarang tinggal seorang cucu yang sangat menyukai pohon dan gua Natalku. Akankah masih tetap demikian pada Natal tahun depan? Entah ya…

Cucu
Cucu
Cucuku yang sangat senang melihat kerlap-kerlip pohon Natal

Yang pasti, patung-patung natal itu masih akan tetap setia, dengan segala macam cacat karena terjatuh dan terpaksa diamputasi.
Semoga anak-anak, maupun cucu-cucu kami, dengan kemajuan teknologi jangan sampai kehilangan makna pohon Natal beserta gua Natalnya.

“Selamat Hari Natal,” buat yang merayakan.
Damai dan Sejahtera menyertai semua yang berkehendak baik.

Semoga Kerahiman Illahi membawa kesembuhan bagi sahabat-sahabat saya, yang pada hari bahagia ini sedang menderita sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun