Mohon tunggu...
Irene Maria Nisiho
Irene Maria Nisiho Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

Nenek 6 cucu, hobby berkebun, membaca, menulis dan bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Nostalgia Budaya Peranakan Tionghoa Makassar

18 Desember 2015   16:49 Diperbarui: 1 Juli 2017   21:30 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angko adalah bahasa Tionghoa Peranakan Makassar yang artinya sama dengan mas atau abang.

Dengar-dengar angko Boeng Hao, adalah namabekennya bukan nama aslinya. Hehe… canggih juga, ya?!

Surprisedbanget! Walau hanya menampilkan Wayang Potehi yang sedang bernyanyi, tidak sempat bernarasi dengan gaya khas Wayang Potehi. Itu sudah cukup membawa saya bernostalgia ke masa kanak-kanak saya dulu di Makassar.

Waktu di Makassar dulu, bila kami ingin menyaksikan pertunjukan Wayang Potehi, harus sabar menunggu diadakannya perhelatan Pasar Malam, yang secara periodik selalu diselenggarakan di lapangan Karebosi. Mungkin saja selain di Pasar Malam, Wayang Potehi juga dipertunjukan di tempat lain, namun kami selalu menontonnya hanya di Pasar Malam Karebosi.

Ini sedikit gambaran mengenai wayang Potehi pada masa itu.

Wayang Potehi itu berupa boneka yang terbuat dari kain. Ketika akan dimainkan, tangan dimasukkan ke dalam boneka wayang dan memainkannya dengan jari-jari tangan. Bentuknya anda bisa menyimaknya melalui foto yang saya tampilkan.

Panggungnya kecil, berupa rumah panggung yang sederhana sekali, bertutup tirai untuk menutupi pemain atau dalangnya dari pandangan para penonton. Tinggi panggung sekitar dua setengah meter. Mungkin karena tontonan gratis, mereka tidak menyediakan kursi. Walau kami menonton sambil berdiri, tetap saja acara ini tidak pernah kami lewatkan bila berkunjung ke Pasar Malam.

Permainan wayang diiringi musik yang sangat merdu di telinga saya. Entah, kalau sekarang, saya menontonnya lagi. Akan semerdu itukah? Atau malah saya jadi pusing? Hehehe… saya tidak bisa menjawabnya. Atau mungkin tidak ada musik pengiring? Entahlah, masalahnya kejadian itu sudah berlalu sekitar enam puluhan tahun.

Menurut ingatan saya, narasi dan percakapan diantara tokoh-tokoh yang sedang dipentaskan, memakai bahasa Makassar Peranakan Tionghoa. Sebagai anak kecil saya hanya menguasai bahasa ini. Karena itu saya bisa menikmati dengan sangat baik.

Sayang, saya tidak mengingat lakon-lakon yang lain, selain lakon Sie Djin Koei (baca: Si Jin Kui) Dia adalah salah satu tokoh pahlawan dalam kisah-kisah Tiongkok kuno yang banyak dipentaskan di panggung Wayang Potehi. Kalau tidak salah, Sie Djin Koei hanya tokoh khayalan. Padahal dulu, saya sangat memujanya.

Mungkin sama seperti sekarang, cucu saya penggemar berat acara televisi yang bernama Pororo…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun