Pasar Glodok merupakan salah satu tempat berbelanja paling besar di Jakarta. Berbagai suku danras terdapat disana. Sebagai salah satu pusat perputaran uang yang cukup besar di Ibukota tercinta ini, Pasar Glodok tentu memiliki daya tarik serta cerita tersendiri.
Kawasan yang telah menjadi salah satu landmark berbelanja di Jakarta ini sudah berdiri sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda. Mayoritas warganya merupakan warga keturunan Tionghoa dan pendatang dari luar Jakarta. Karena hal ini juga kerap menimbulkan stereotip pada kehidupan sehari-hari. Mereka yang tinggal di daerah Glodok akan di asosiasikan dengan warga keturunan Tionghoa, atau mereka yang terlihat seperti warga keturunan Tionghoa akan dikaitkan dengan daerah Glodok.
Padahal yang hidup dan mencari nafkah di Pasar Glodok bukanlah warga keturunan Tionghoa saja. Terdapat banyak warga non-keturunan Tionghoa yang mengais rezeki di Pasar Glodok. Hardian (23 tahun) merupakan salah satu contoh warga pribumi yang mengais rezekinya di Pasar Glodok. Sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, Hardi (demikian ia biasa dipanggil) telah membantu kedua orangtua nya berdagang kain di Pasar Glodok. “Senin sampai Jumat saya sekolah, lalu saat hari Sabtu atau Minggu saya ke Glodok untuk membantu orangtua.” Jelas Hardi. “Sampai saat kuliah saya juga masih sering membantu orangtua disana.” Tambah pemuda yang baru menyelesaikan pendidikan strata satunya di salah satu universitas swasta di ibukota ini.
Meskipun harus bekerja di hari libur, namun Hardi tidak merasa hal tersebut menjadi beban. “Disini orangnya asik-asik, jadi walaupun beda umurnya jauh tapi saya bisa tetap nyaman. Mereka juga mau mendengarkan yang muda, asal sopan saja sih.” Terang Hardi sambil menyeruput kopinya. Saat ditanya mengenai keinginan untuk berkarir dibidang yang telah dikuasainya Hardi menghela nafas panjang. Matanya terlihat kosong saat menjawab “siapa sih yang tidak mau memiliki karir yang lebih baik? Tapi kan di Jakarta sekarang ini mencari pekerjaan sangat sulit. Semenjak lulus saya sudah mengirimkan lamaran kesana kemari tapi belum mendapatkan panggilan kerja.” Paparnya. “Untungnya orangtua saya memiliki usaha disini, jadi kalaupun saya tidak mendapatkan pekerjaan, saya akan focus melanjutkan usaha ini.” Tambah Hardi sembari menggigit pisang gorengnya.
“Rata-rata orang sini udah turun temurun, jadi ya kalau orangtua punya usaha disini bisa tenanglah. At least ya bisa meneruskan usaha orangtua lah. Walaupun begitu sangat disayangkan ada beberapa orangtua yang tidak mengizinkan anaknya untuk kuliah, mereka beranggapan bahwa anak-anaknya harus melanjutkan usaha mereka jadi untuk apa mahal-mahal bayar kuliah?
Padahal itu pemikiran yang salah. Kalau kata orangtua saya sih, anak harus di support, karena kan belum tentu dia ingin menjadi pedagang. Orangtua saya merupakan salah sedikit dari orangtua yang open-minded, mereka selalu berdiskusi dengan saya mengenai apa yang ingin saya lakukan.” Terang Hardi bangga. “Disini banyak orangtua yang masih kolot kepada anaknya sendiri, mereka mendikte mengenai masa depan anaknya. Tidak jarang makanya anak disini kabur karena ingin memiliki kehidupan sendiri.”
Matahari sudah mulai turun, toko-toko di Pasar Glodok mulai bersiap untuk tutup. Hardi menawarkan untuk mengantar pulang. Setelah menolak tawaran Hardi, saya mulai beranjakuntuk pulang. Sembari menuju ketempat parkir saya melihat remaja-remaja dengan paras cantik dan tampan, bercanda sembari menjaga tokonya masing-masing. Saying sekali mereka tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan hidupnya. Walaupun beberapa seperti Hardi masih beruntung dapat melanjutkan pendidikan. Apabila ini terus terjadi, saya rasa kondisi di Glodok tidak akan berubah hingga beberap tahun kedepan.
#CreativeWriting
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H