Sinar matahari menyeruak masuk ke dalam jendela pesawat. Pagi itu terasa begitu terik. Jam menunjukkan pukul 10.00 waktu Penang, Malaysia.Â
Nampak sederet gedung kuno dari kejauhan sudah nampak di pelupuk mata. Â Saya membatin, "Oh, jadi seperti ini ya Penang yang sering dibicarakan orang itu."Â
Tak berapa lama, perjalanan pun berakhir di tujuan. Pesawat itu mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional Penang, Malaysia.Â
Ini adalah kedua kalinya saya menginjakkan kaki di negeri Jiran. Sebelumnya, saya pernah melakukan perjalanan dinas ke Johor Bahru pada tahun 2019 silam.Â
Saya beserta rombongan teman dari Solo, Jawa Tengah segera turun dan kami pun antre untuk pemeriksaan imigrasi dan mencari SIM Card. Selesai semua urusan, kami pun memesan taksi online dan mulai menjelajahi Penang.Â
Deretan bangunan kuno mulai nampak di sepanjang jalan menuju hotel tempat kami menginap. Bentuk bangunan di Penang sedikit mengingatkan saya dengan Singapura yang saya kunjungi sendirian di tahun 2023 lalu.Â
Deretan rumah susun (rusun) atau apartemen lawas seperti di film-film Hongkong zaman dulu menghiasi perjalanan kami. Mendadak, hujan turun meskipun langit tak mendung. Untungnya, tatkala kami sampai ke hotel, cuaca kembali panas menyengat hingga kami tak tahan untuk segera jalan kaki mencari segelas es teh atau es kopi.Â
Seakan kembali ke masa lalu, kami berjalan di sepanjang jalan yang kanan kirinya dihiasi ruko (rumah toko) yang unik. Bangunan di Penang memiliki ciri khas tersendiri. Masing-masing terdiri atas dua lantai dengan lantai pertama berfungsi sebagai restoran, kafe atau bahkan hotel.Â
Sementara di lantai dua, difungsikan sebagai rumah tinggal. Tak seperti di Indonesia yang dikenal dengan rumah dengan halaman yang luas dan penuh tumbuhan, rata-rata bangunan di pulau ini tak memiliki halaman sama sekali. Hanya ada teras dan juga pintu dan jendela serta atap yang didominasi budaya Cina. Bangunan itu pun memanjang ke belakang seperti kafe yang saya masuki saat makan siang di hari pertama menjelajahi Penang.Â
Saya mengamati bahwa ada akulturasi budaya Cina dan Barat yang nampak dari arsitektur setiap model rumah di Penang.Â
Ketika saya menelusuri website George Town World Heritage Incorporated, saya menemukan fakta bahwa model rumah di Penang awalnya dibangun dan digunakan oleh orang India sebelum akhirnya digunakan oleh imigran Cina. Pada tahun 1900, teknisi Eropa datang ke Penang dan dari situlah, model bangunan di Penang pun mulai dipengaruhi oleh arsitektur Barat.Â
Selama menjelajahi Penang, saya merasa terhibur dengan indahnya bangunan di pulau ini. Warna dari setiap bangunan pun beraneka ragam; hijau, merah, pink, kuning, putih berderet bersama di sepanjang jalan yang saya lalui. Unik dan menarik, saya tak habis-habisnya berhenti hanya untuk mengambil foto setiap sudut George Town yang berwarna-warni.Â
Nuansa itu sedikit berubah tatkala kami memasuki kawasan Little India. Nampak sederet toko menjual bunga warna-warni serta swalayan khusus barang dan makanan India yang cukup luas seluas 3 blok di seberang jalan. Tak nampak lagi aksen pintu dan jendela ala rumah Cina ataupun tulisan Mandarin di sana.Â
Begitu pula saat kami mampir ke Chew Jetty, sebuah kampung nelayan di George Town, Penang. Di sana, kami menemukan deretan rumah dengan aksen Cina yang dibangun di atas laut. Deretan rumah tersebut dibangun dari kayu dan memiliki halaman kecil yang dipagari di bagian depannya.Â
Nampak di bagian dalam rumah, masih ada altar persembahan besar yang terletak di ruang tamu. Sederhana namun unik, Chew Jetty seakan membawa warna tersendiri bagi setiap wisatawan yang menghabiskan waktu di Penang.Â
Wisata selanjutnya yang akan membawa kita ke masa lalu ialah Penang Peranakan Mansion. Rumah peninggalan pengusaha Cina kaya raya ini menyimpan segudang koleksi antik dari zaman dulu. Mulai dari sandal hingga ranjang serta peralatan makan dan juga lukisan, kursi, meja masih terawat rapi dalam museum ini.Â
Dulunya, Penang Peranakan Mansion dibangun pada akhir abad ke-19 dan digunakan sebagai rumah tinggal sekaligus kantor bagi Kapitan Cina Chung Keng Kwee bersama istri-istri, anak dan cucunya. Uniknya, museum ini juga dipengaruhi oleh budaya Barat. Melansir dari website resmi Penang Peranakan Mansion, beberapa bagian rumah seperti tangga dan ruang makan, dibangun dengan pengaruh Eropa yang kental.Â
Untuk Anda yang ingin mengunjungi museum ini, Anda bisa datang pada hari apa saja pada pukul 9:30 pagi sampai pukul 5 sore waktu Penang dengan membayar sebesar RM 25 untuk orang dewasa dan RM 12 untuk anak berusia 6 sampai 12 tahun.Â
Selain mengagumi arsitektur bangunan di Penang, kami juga menikmati sederet kuliner khas Tionghoa seperti char kwe tiaow dan Hainanese Chicken Rice yang akan saya bahas di lain waktu.Â
Tak terasa, empat hari sudah di bulan Juni 2024 lalu kami habiskan bersama-sama di Pulau Penang, Malaysia. Kami harus bertolak kembali ke Indonesia lewat Surabaya, Jawa Timur ke Solo, Jawa Tengah. Sampai jumpa dalam tulisan saya berikutnya! (cyn)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H