Beberapa hari yang lalu, saya mencoba sesuatu yang unik dan berbeda dari yang lain. Saya mengunggah 3 foto saat saya tengah memberikan presentasi pelatihan di kantor.
Dibalut dengan caption yang mengunggah perjalanan saya selama SMA hingga kuliah dan kerja, saya berhasil menggaet rasa penasaran dan kekaguman dari teman-teman saya di Facebook.
Alhasil, jika selama ini likes dan comment di status saya tidaklah banyak, saya tiba-tiba dinotice oleh banyak teman. Mereka tiba-tiba menyukai postingan saya hingga tembus 83 likes.Â
Saya yang biasanya invisible di mata teman-teman Facebook, kini mendadak jadi bintang. Ya, itulah kiranya apa yang saya alami di media sosial tersebut. Eits tunggu dulu, bukan itu yang saya ingin pamerkan di sini.
Konteksnya, kira-kira seperti itulah yang sedang saya coba gali.Â
Saya ingin membuktikan, apakah benar orang-orang lebih tertarik dengan visual yang wow dan prestasi yang melejit dibandingkan saat kita menunjukkan diri kita apa adanya? Sayangnya, jawabannya adalah ya.
Selama ini, saya lebih suka menjadi diri sendiri. Tertutup dari dunia luar, tak suka dipuji dan lebih senang membagikan hal remeh temeh macam gambar kucing dan trailer film di Facebook.Â
Mengapa demikian? Saya akui itu semua karena sifat saya pribadi. Saya tak suka menjadi pusat perhatian. Meskipun saya tahu bahwa kontribusi saya banyak untuk organisasi dan juga perusahaan, saya tak mau itu semua menjadi konsumsi publik.
Alasannya sederhana. Biarlah Tuhan yang tahu. Bukannya muna, tapi memang begitulah alasannya.Â
Ada banyak orang yang masih jauh lebih baik daripada saya. Saya masih harus banyak belajar untuk menjadi wanita karir yang lebih moncer lagi.Â
Pengalaman saya masih minim, masih harus ditempa lagi. Dan tentunya, apa yang saya dapat bukanlah hasil saya sendiri melainkan dari Tuhan, sesuai dengan kepercayaan yang saya pegang.Â
Kadang, merasa berdosa apabila saya mengagungkan sesuatu yang saya tahu mungkin takkan selamanya jadi milik saya.
Melihat fenomena itu, saya sadar. Terkadang, kita memang disukai hanya karena paras kita, atau hanya karena prestasi, kehidupan yang mewah dan sedekah yang kita berikan.Â
Namun jika semuanya itu senyap belaka dan kita jadi diri sendiri seperti saya yang hobi share foto kucing, apa kata orang? Diam.
Mereka diam. Saya dianggap tak pernah ada di timeline Facebook. Mungkin ada, tapi hanya sekilas saja lewat di hadapan mereka.
Sosok ini tak penting, sosok ini tak bisa jadi patokan bahwa ia bisa dan punya kemampuan untuk memimpin atau punya prestasi yang bisa diagung-agungkan.
Setelah social experiment ini berakhir dan saya menghadapi perasaan tak nyaman karena terlalu dipuji, saya sadar bahwa apapun itu, adalah tetap lebih baik menjadi diri kita sendiri.
Jika kamu adalah sosok yang memang suka dengan atensi seperti itu, jadilah demikian apa adanya, sesuai kata hati nuranimu.
Namun, jika memang kamu ingin menjadi seperti saya yang enggan membranding diri menjadi sosok yang sukses, itu pun tak apa.
Atau, ambilah jalan tengah dengan sesekali memposting prestasimu di tengah riuhnya media sosial. Yang terpenting ialah, don't lose yourself in the process, listen to your heart and be yourself...(cyn)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H