Dinas pertama pasti tidak mudah. Itulah yang terlintas di pikiranku tatkala aku menginjakkan kaki ke dalam kereta Malioboro Ekspress pada 30 Agustus 2018 lalu. Aku pergi ke gerbong eksekutif dan duduk di sebelah seorang ibu.Â
Suasana gerbong sudah ramai. Hampir setiap kursi sudah diisi dan kebanyakan di antara para penumpang di gerbongku adalah bule alias orang asing.
Kereta berjalan perlahan meninggalkan Stasiun Solo Balapan. Saat itu, jujur aku merasa sangat khawatir. Apalagi jika bukan karena ini adalah perjalanan dinasku yang pertama. Ya, aku dikirim sendirian oleh perusahaan di mana aku bekerja untuk meliput sebuah festival kuliner di sana.Â
Yang menjadi kekhawatiranku ialah aku belum pernah menjejakkan kaki di Malang dan aku adalah media pertama yang hadir di kota tersebut. Para awak media yang lain baru datang keesokan harinya karena kantor-kantor mereka ada di Jakarta, sementara kantorku terletak di Solo.
Perjalanan kali ini juga merupakan kali pertamaku naik kereta jarak jauh selama 8 jam lamanya. Sepanjang perjalanan, aku memesan makanan dan teh sembari menikmati pemandangan serba hijau di kanan dan kiriku. Aku masih ingat para bule yang segerbong denganku menyebarkan bau 'jahat' alias bau mie instan cup yang langsung membuat perutku memberontak saking kepengennya (hehe).
Dug..jedug..jedug...Kereta pun melambat. Tak terasa aku sudah sampai di Stasiun Malang Kota Lama. Saat para bule yang membawa tas-tas travel raksasa itu turun, aku pun sempat bingung.Â
"Lah, aku turunne damana yo ini?," batinku. Aku pun memberanikan diri bertanya ke ibu-ibu di sebelahku. Ia memberitahu bahwa yang tertulis di tiketku adalah Stasiun Malang Kota Baru, bukan Kota Lama. Kami pun sedikit bercerita sembari kereta kembali melaju.
Tepat pukul 16.00 WIB, aku dan semua penumpang pun turun. Aku berpisah dengan sang ibu sembari melambaikan tangan lalu memesan taksi online. Saat memesan, seperti biasa, ternyata taksi online masih dilarang menjemput penumpang tepat di depan stasiun.
Aku pun langsung diarahkan menuju ke sebuah pasar di samping kiri. Berjalan sedikit sambil tingak-tinguk, sang bapak taksi datang dan menawarkan bantuan untuk menaikkan tasku yang berat.
Taksi melaju dan aku mengagumi keindahan Kota Malang dari setiap sudutnya. Berbeda dengan Solo, jalanan Malang lebih padat meskipun ada banyak bangunan tua. Tak lama, perjalanan kami pun berakhir di sebuah hotel bintang 3 di dekat alun-alun kota.Â
"Wah, hotelnya baguuuuuss,"Â kataku di dalam hati. Saat masuk ke kamar, aku begitu kagum. Ternyata, kamarku langsung berhadapan dengan pemandangan kota berlatar Gunung Bromo yang berselimutkan awan putih tipis di tengah-tengah langit biru yang sempurna.
Seusai beristirahat sebentar, aku pun menyetel TV dan mandi. Nah, sejak di dalam kereta, sebenarnya aku penasaran dengan kuliner di kota ini. Aku pun memutuskan untuk pergi ke depot Gang Djangkrik yang tak jauh dari hotel.Â
Di sana, aku memesan satu mangkuk mie komplit super enak dan legendaris. "Duh, jarang-jarang makan beginian di kota orang," pikirku.
Esok paginya, setelah beristirahat, rupanya kawan-kawan media sudah datang. Kebetulan, aku sekamar dengan kawan media dari Surabaya.Â
Ia datang sembari celingukan mencariku yang tengah sarapan di bawah. Pada pukul 10.00 WIB, kami pun diantarkan naik mobil travel ke alun-alun kota untuk mengikuti pembukaan festival.Â
Saat berada di mobil, kami semua asyik berbincang, baik dalam dialek Jakarta, Suroboyo maupun Solo. Uniknya, kebanyakan dari mereka adalah senior yang sudah malang melintang di dunia media.Â
Mereka begitu excited saat membicarakan dinas mereka ke berbagai kota di Indonesia bahkan ke luar negeri secara gratis. Wuidihhh....
(Berlanjut ke Kala Dinas Sendirian ke Kota Malang Jilid 2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H