Jika surga belum pasti buat saya, untuk apa kuurusi nerakamu (Suster Monic, Ave Maryam, 2019)
Cinta. Satu kata yang mungkin terkesan indah dan penuh makna. Ya, cinta ada dalam setiap relung kehidupan kita sehari-hari. Cinta bisa menyapa siapa saja tanpa mengenal suku, agama dan profesi. Cinta bisa hadir, tanpa mengenal jarak dan waktu.
Tak terkecuali dalam film Ave Maryam. Film kontroversial yang hadir di bulan April 2019 ini merupakan karya tak biasa. Jika biasanya banyak sinemas dan produser yang mengangkat kisah tentang agama Islam, kini terbitlah sebuah karya yang didasari dari pergumulan kaum selibat di agama Katolik yakni antara romo dan suster.
Kisah indah nan mendayu ini diawali dengan sosok Maryam (Maudy Koesnaedi), seorang suster berusia 39 tahun. Ia hidup dan melayani para suster lanjut usia di kota Semarang, Jawa Tengah. Setiap hari, Maryam dan teman-temannya menyiapkan makanan, memandikan dan menjaga serta merawat para suster yang sudah renta. Terkadang, ia harus sabar apabila para suster tersebut lupa dan meminta bantuan untuk hal-hal sepele di kamar maupun ruang makan.
Kehidupan Maryam yang terasa monoton tiba-tiba menjadi berwarna tatkala seorang Romo bernama Yosef datang. Romo Yosef (Chicco Jerikho) diperbantukan untuk melatih paduan suara sampai Natal tiba. Dari sini, kisah keduanya pun dimulai. Romo Yosef jatuh cinta dan terus mengejar Maryam. Ia bahkan tak segan untuk datang terus menerus ke asrama demi mendapatkan hati sang suster. Maryam, seperti layaknya wanita lainnya, awalnya cuek kepada sang Romo.Â
Namun akhirnya ia luluh. Ia bersedia berkencan di kafe dan bahkan bertemu setiap hari demi menikmati senja dan dinginnya malam bersama sang Romo. Kisah cinta mereka berakhir di pantai, tatkala keduanya merayakan ulang tahun Maryam dan menjalani satu hari berdua di bibir samudra ditemani deburan ombak.Â
Maryam akhirnya pergi dari kota itu, namun dirinya masih terus terbayang sang pujaan hati hingga turun dari kereta yang hendak membawanya pergi. Tak tahan, Maryam akhirnya mengaku dosa di hadapan Romo yang tanpa sepengetahuannya ialah Romo Yosef sendiri.
Pun biara yang sederhana dan minim cahaya, tak menjadikan film ini seperti layaknya film horor. Biara tempat suster Maryam tinggal memberikan kesan hangat dan tenang, sepi namun syahdu. Sudut-sudut gereja yang ditampilkan saat misa pun menarik perhatian saya saat film diputar.
Berbagai kutipan dan frasa sastrawi pun menghiasi film dari awal sampai akhir. Beberapa di antaranya diungkapkan oleh Suster Monic yang dirawat oleh Maryam. Ia memberikan teladan dengan tidak menghakimi tindakan suster tersebut. Di sisi lain, Suster Monic juga setia memberikan nasihat kepada Romo Yosef untuk tak mengikuti hawa nafsu semata.Â
Meskipun dihiasi visual dan musik yang indah, film Ave Maryam pun memiliki kekurangan berupa inkonsistensi. Latar belakang dari era tahun 1998, tak didukung dengan munculnya beberapa mobil mewah, foto sekilas Paus Fransiskus I serta kereta modern yang ada di Stasiun Tawang.
Kita diminta untuk ikut memahami dan menyadari bahwa para kaum selibat dalam agama Katolik yang melayani kita setiap hari juga merasakan pergolakan batin dan permasalahan dalam kehidupan mereka. Termasuk di sini ialah, rasa cinta serta kesetiaan panggilan dalam pekerjaan, kehidupan berkeluarga maupun pelayanan.
Ave Maryam memberikan napas baru dalam dunia perfilman Indonesia. Tak hanya sekadar bercerita lewat suara dan visual, ia juga menyuguhkan kehidupan yang sarat nilai, pertobatan dan cinta.Â
Namun pada akhirnya, apakah kita akan belajar untuk berani menghadapi pergolakan batin, atau justru mengikuti keinginan sesaat dan melepaskan kesetiaan panggilan hidup, itu semua kembali kepada pilihan kita masing-masing. (Cyn)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H